Dalam perhelatan Konferensi Perubahan Iklim Perserikatan Bangsa-Bangsa (COP26) di Glasgow tahun lalu, Pemerintah Indonesia turut menandatangani Prakarsa Metana Global (Global Methane Pledge).
Inisiatif ini ditandatangani oleh 111 negara yang mewakili lebih dari 70% ekonomi global dan hampir setengah dari semua emisi metana antropogenik. Prakarsa ini meminta negara-negara untuk mengurangi emisi metana antropogenik minimal sebesar 30% pada tahun 2030.
Metana diperkirakan 86 kali lebih merusak lingkungan daripada karbon dioksida (CO2). Selama COP26, organisasi think tank di bidang iklim dan energi, EMBER, merilis sebuah blog yang menjelaskan mengapa dunia harus segera beraksi untuk mengatasi metana tambang batu bara. Metana tambang batu bara memiliki dampak iklim jangka pendek yang lebih besar daripada semua emisi CO2 Eropa.
Sementara itu, produksi batu bara Indonesia meningkat lebih dari dua kali lipat dalam 10 tahun hingga 2019, mencapai 616 juta ton. Produksi batu bara Indonesia kini melebihi Amerika Serikat atau Australia. International Energy Agency (IEA) memperkirakan tambang batu bara Indonesia menghasilkan 1,18 juta ton metana, yang setara dengan 101 juta ton CO2. Jumlah ini hampir dua kali lipat emisi CO2 Jakarta.
Perkiraan metana ini hampir pasti merupakan perkiraan yang terlalu rendah, mengingat jumlah tersebut berasal dari penelitian meja (desk study) menggunakan penilaian mandiri negara dan perusahaan. Laboratorium Nasional Pacific Northwest Departemen Energi AS memperkirakan emisi metana tambang batu bara bisa sepertiga lebih tinggi dari perkiraan IEA.
Sebagian besar produksi batu bara Indonesia berasal dari tambang terbuka, bukan tambang bawah tanah. Namun, seiring berjalannya waktu ketika deposit permukaan habis, praktik penambangan bawah tanah meningkat.
Ini misalnya terjadi di lokasi tambang PT Gerbang Daya Mandiri di Kutai Kartanegara, Kalimantan Timur yang dimulai dengan tambang permukaan tetapi dipindahkan operasinya ke bawah tanah menurut Prakarsa Metana Global. Tren ini sejalan dengan proyeksi Perhimpunan Ahli Pertambangan Indonesia (PERHAPI) yang memperkirakan tambang bawah tanah akan mulai berkembang seiring dengan kenaikan biaya produksi tambang permukaan.
Kedalaman penambangan batu bara sangat mempengaruhi emisi metana. Sebagai aturan praktis, semakin dalam tambang, semakin banyak metana yang ditemukan. Satu ton batu bara yang dihasilkan dari tambang kaya metana mengeluarkan lebih dari sepuluh kali polutan super ini dibandingkan dengan kebanyakan tambang batu bara.
Peran Indonesia di G20
Meskipun kebocoran metana dari industri minyak dan gas terus-menerus diliput, kebocoran metana dari industri pertambangan batu bara pun sebesar kedua industri tersebut. Indonesia telah menjadi net importir minyak selama 20 tahun terakhir, dan menjadi eksportir gas moderat. Namun tren utama baru-baru ini di sektor energi Indonesia adalah pertumbuhan eksponensial produksi dan ekspor batu bara.
Pendekatan Indonesia terhadap industri pertambangan batu bara akan sangat penting dalam memenuhi komitmennya sebagai bagian dari kesepakatan Prakarsa Metana Global. Ini akan membutuhkan investasi dalam pemantauan, pelaporan dan verifikasi metana, mencegah penambangan lapisan batu bara yang paling banyak mengandung metana, dan memanfaatkan atau menghancurkan metana di tambang-tambang yang belum berhenti beroperasi.
Permintaan terhadap batu bara Indonesia kemungkinan akan mulai turun sebelum tahun 2030, sehingga upaya untuk mengakhiri industri yang sangat berpolusi ini harus mencapai tingkat urgensi yang baru.
Sebagai Presiden dari platform multilateral G20, Indonesia dapat memainkan peran utama dalam isu internasional yang penting ini. Apalagi isu ini juga juga telah menjadi fokus Presiden Amerika Serikat Joe Biden, para pemimpin Eropa, dan para pemimpin negara lainnya.
Menutup tambang dengan benar dapat mengurangi emisi metana, sekaligus memastikan bahwa tambang tidak mencemari air tanah setempat dan menyebabkan penurunan permukaan tanah di area pertambangan yang berpenduduk. Penggenangan area dengan air (flooding) selama ini merupakan pendekatan global yang banyak digunakan untuk pengelolaan metana di tambang yang terbengkalai. Namun, kesesuaian metode ini tergantung pada sistem air setempat.
Bahkan jika Indonesia menutup tambang batu bara, metana dapat terus bocor dari tambang yang terbengkalai selama bertahun-tahun. Ini tentu saja membutuhkan pengelolaan yang hati-hati. Masalah ini bisa diperparah dengan pasal baru yang dimuat dalam Undang-Undang Pertambangan Mineral dan Batubara (UU Minerba), yang memunculkan kekhawatiran tentang kewajiban pemulihan pascatambang dan proses reklamasi.
Ada pembelajaran bisnis yang menguntungkan untuk memulihkan dan menggunakan sebagian besar emisi metana. Metana, tidak seperti karbon dioksida, dapat ditangkap dan digunakan untuk menghasilkan panas dan listrik yang bermanfaat. Hal ini juga dapat membantu memberikan investasi baru kepada masyarakat penghasil batubara.
Membatasi metana tambang batubara adalah salah satu solusi termudah untuk memberikan dampak iklim positif secara langsung. EMBER menjabarkan enam langkah yang dapat diambil Indonesia dan negara lain untuk mengurangi emisi metana tambang batu bara. Pertama, memahami skala masalah. Kedua, mempercepat penyebaran energi bersih untuk mengurangi ketergantungan terhadap batu bara.
Ketiga, fokus untuk menutup tambang-tambang beremisi tertinggi terlebih dahulu. Keempat, berinvestasi untuk mengurangi emisi di tambang dengan intensitas emisi yang tinggi. Kelima, meneliti izin tambang batu bara baru terhadap risiko kebocoran metana. Terakhir, mengelola metana dari tambang yang ditinggalkan.
Kebocoran metana dari tambang batu bara adalah pengganda krisis iklim yang jarang dibicarakan orang. Perhitungan IEA memperlihatkan bahwa metana tambang batubara berdampak lebih besar terhadap perubahan iklim daripada gabungan emisi dari pelayaran dan penerbangan.
Analisis EMBER juga menunjukkan dampak iklim jangka pendek yang lebih besar. Indonesia, sebagai negara adidaya batu bara dan pemimpin G20, memiliki tanggung jawab untuk menunjukkan kepemimpinan iklim terhadap sumber emisi gas rumah kaca yang sesungguhnya tidak sulit ditangani.
Catatan Redaksi:
Katadata.co.id menerima tulisan opini dari akademisi, pekerja profesional, pengamat, ahli/pakar, tokoh masyarakat, dan pekerja pemerintah. Kriteria tulisan adalah maksimum 1.000 kata dan tidak sedang dikirim atau sudah tayang di media lain. Kirim tulisan ke opini@katadata.co.id disertai dengan CV ringkas dan foto diri.