Menanti Tesla di Indonesia

Ilustrator: Betaria Sarulina
Penulis: Ade Febransyah
Editor: Sorta Tobing
8/2/2023, 10.00 WIB

Jadikah Tesla ke sini? Kepastian masuknya Tesla berinvestasi di Indonesia masih dalam penantian. Kehadirannya disini dianggap mampu membangun eksosistem bisnis kendaraan listrik di Tanah Air.

Kalau memang Indonesia dipilih sebagai tempat salah satu pabrik giganya yang membuat mobil dengan target produksi hingga satu juta unit per tahun, diperkirakan ada perputaran uang sekitar US$ 36 miliar  di sisi suplai/membuat dari ekosistem bisnis kendaraan listrik (asumsi COGS rata2 1 unit Tesla = USD 36,000).

Dengan gross margin tipikalnya sekitar 25%, dan asumsi semua yang dibuat diserap pasar domestik, maka akan tercipta penciptaan nilai di  sisi demand per market sekitar US% 48 miliar atau sekitar Rp 720 triliun setahun.

Dengan mempertimbangkan segala perpajakan yang berlaku di sini yang membuat harga kendaraan bisa 1,5 kali lebih mahal dibanding harga di luar, penciptaan nilai di sisi permintaan (demand) bisa menembus Rp 1.000 triliun setahun.

Ini penciptaan nilai dari Tesla saja. Belum lagi penciptaan nilai di sisi support lewat penyediaan infrastruktur supercharging yang selama ini diadakan juga oleh Tesla. Tidak mengherankan jika perusahaan begitu dinantikan di sini. 

Tapi apakah angka-angka di atas cukup bagi Tesla untuk memutuskan  Go/No-Go decision untuk berinvestasi di Indonesia?

TESLA-CHINA/DELIVERY (ANTARA FOTO/REUTERS/Yilei S)

Perspektif membuat

Masalah keputusan membuat Tesla dapat didekati sebagai problem keputusan berkriteria jamak (multi criteria decision making). Ada beberapa perspektif dalam bisnis membuat. Pertama adalah perspektif pasar. Perusahaan apapun ketika memutuskan untuk menjalankan bisnisnya tentu akan melihat apakah pasar dari produk/layanannya benar ada. Demikian pula dengan Tesla, keputusan strategis membangun pabrik giganya di luar Amerika akan dijustifikasi dengan adanya dan seberapa besar pasar yang bisa dikuasai. 

Dengan target produksi mobil dari pabrik giga yang mencapai satu juta per tahun, pertanyaannya pasar mana saja yang akan dipenuhi oleh produk mereka. Melihat penjualan mobil penumpang di pasar Indonesia tahun 2021 di angka 650 ribuan unit turun dari 1 jutaan unit sebelum pandemi dan tingkat adopsi mobil listrik yang masih sekitar 0.1% (Statista, 2021). Sepertinya Tesla akan sulit menjadikan pasar RI sebagai target pasar mereka.

Dengan harga kendaraannya mulai dari US$ 44 ribu di Amerika Serikat atau di Indonesia bisa menjadi di atas Rp 1 miliar, akan sulit bagi Tesla merangkul mayoritas pemilik kendaraan di sini yang kemampuan membelinya di angka Rp 300 juta ke bawah (Gaikindo, 2022). 

Studi-studi menunjukkan harga kendaraan listrik yang masih belum terjangkau menjadi salah satu faktor perintang utama terjadinya adopsi kendaraan listrik. Kecuali Tesla mau memperkenalkan low-cost electric car yang terjangkau, pasar domestik di sini masih belum fit dengan produk mereka. 

Jika pasar Indonesia masih belum fit dengan kendaraan mereka, maka bagaimana dengan pasar di kawasan regional Asia-Pasifik?

Tiongkok, Jepang, India, Korea Selatan dan Australia merupakan lima negara teratas dalam penjualan kendaraan penumpangnya. Pada 2021, angka penjualan kendaraan penumpang di Tiongkok mencapai 21,5 juta, diikuti Jepang 3,8 juta, India 3,1 juta, Korea Selatan 1,5 juta dan Australia 753 ribuan unit.

Sedangkan tingkat adopsi kendaraan listrik di lima negara tersebut adalah Tiongkok di urutan pertama dengan 16,1%, lalu Korea Selatan 6,5%, Australia 2,9%, Jepang 1,2%, dan India 0,5% (Statista, 2022).

Terlihat dari perspektif pasar di Asia, baru pasar Cina yang prospektif bagi Tesla untuk membangun pabrik giganya. Dengan kapasitas pabrik giga di Shanghai yang mencapai 1,1 juta per tahun dan total penjualan Tesla di Tiongkok di angka 400 ribuan unit pada 2021 dan CAGR kendaraan listrik di Asia sampai 2027 sekitar 14%, keputusan Tesla untuk membangun pabrik giga barunya di Asia sepertinya  menjadi satu oportunitas yang pantas diperhitungkan.  Apakah memang demikian?

Kedua adalah perspektif jejaring suplai (supply network). Tesla dan pabrikan kendaraan listrik lainnya menyadari baterai adalah critical item yang memiliki nilai dan risiko tinggi bagi perusahaan. Meski sekarang ini pasokan battery cells datang dari pembuat baterai utama di dunia, seperti  CATL (Tiongkok), Panasonic (Jepang) dan LG Energy Solution (Korea Selatan), Tesla sudah menerapkan strategi direct sourcing terhadap mineral utama seperti lithium, nikel, kobalt langsung dari mulut tambangnya.

Ini sejalan dengan rencana mereka untuk bergerak ke hulu menjadi produsen baterai. Dengan nikel yang melimpah di bumi Indonesia, bisa saja gigafactory yang dibangun di sini adalah untuk  menyiapkan pabrik battery cells atau paling tidak battery packs seperti yang dilakukan di pabrik giga di Storey County, Nevada, Amerika Serikat maupun di Berlin, Jerman. Namun, untuk menyiapkan battery packs tersebut, Tesla masih bergantung pada  pembuat battery cells

Dengan keberadaan pabrikan giga Tesla sekarang ini seperti  di Fremont (California, USA),  Austin (Texas, USA),  Berlin (Jerman) dan Shanghai (Tiongkok) untuk memproduksi mobil listrik dan pabrikan giga di  Storey County (Nevada, USA) untuk menyiapkan battery packs dan komponen kendaraan listrik (EV), terlihat ada aturan berinvestasi dari Tesla.  

Mereka membuat pabrik besar untuk memproduksi mobil listrik yang berdekatan dengan pasar besar yang akan dilayani. Pabrik di Fremont dan Austin untuk memenuhi permintaan di pasar domestik USA yang memang berkontribusi terbesar terhadap penjualan mobil Tesla.

Mereka membangun pabrik giganya di Shanghai juga karena pasar Tiongkok berkontribusi besar terhadap penjualan mobil Tesla di luar pasar Amerika. Dan pabrikan di Berlin tentunya ditujukan untuk memenuhi permintaan di pasar Eropa.

Dan mereka bisa membangun pabrik giganya hanya untuk battery packs seperti di Nevada untuk memasok kebutuhan pabrikan pembuat mobil. Ke depan bisa saja Tesla membangun pabrik giganya untuk menyiapkan battery packs dan komponen mobil dan sekaligus merakit mobil listriknya. 

Terlihat ada aturan berinvestasi dari Tesla, paling tidak sampai saat ini.  Mereka akan bangun pabrik giganya untuk produksi mobil di lokasi yang berdekatan dengan pasar yang besar. Tapi mereka bisa membangun pabrik giganya untuk produksi battery packs maupun komponen mobil yang terpisah dengan pabrik pembuat mobil listriknya. 

Kalau dituliskan investment constraint dengan bilangan intejer biner, persamaannya seperti ini XB + XM ≤ 1. Jika Tesla membangun pabrik mobil, XM = 1, maka Tesla tidak memproduksi battery packs, XB = 0 di tempat yang sama, atau sebaliknya. Aturan investasi tambahan lainnya adalah XM ≤ MM, yang menjelaskan Tesla akan membangun pabrik mobilnya, XM = 1, jika pasar (market) dari mobil yang diproduksi di dekat lokasi tersebut ada, MM =1

Melihat decision rule seperti itu, kalaupun Tesla memilih berinvestasi di Indonesia, mereka lebih memilih membangun gigafactory yang memproduksi baterai untuk mengamankan pasokan dan mineral-mineral utamanya demi pertumbuhan jangka panjang mereka.

Namun, pilihan Tesla untuk membangun gigafactory di Indonesia untuk menyediakan battery packs bisa saja menjadi tidak feasible. Tesla sudah meneken kontrak pembelian nikel dari dua perusahaan Tiongkok, Zhejiang Huayou Cobalt dan CNGR Advanced Material, yang sudah membangun pabriknya di Indonesia.

Dengan kemitraan ini, Tesla tidak harus membangun gigafactory-nya di sini. Nikel yang sudah diamankan pasokannya dari kedua perusahaan Tiongkok tersebut bisa langsung dikirimkan ke pabrik penyediaan battery packs mereka yang sudah ada atau ke mitra strategis pembuat battery cell, seperti CATL, Panasonic, dan LG Energy Solution. 

Menggunakan fast thinking dengan memperhatikan kedua perspektif di atas,  preferensi Tesla untuk tidak berinvestasi di sini menjadi lebih besar ketimbang keputusan berinvestasi. Harus ada perspektif lain yang dilihat Tesla untuk bisa menjustifikasi keputusan berinvestasi di Indonesia.

Ketiga adalah perspektif regulasi yang berpihak pada pengembangan ekosistem bisnis. Tesla ingin berinvestasi di sini jika ekosistem bisnis kendaraan listrik di Tanah Air akan tumbuh besar dan sehat. Ekosistem bisnis akan tumbuh dan sehat jika sisi pasar atau demand-nya ada dan tumbuh terus.

Dari sisi suplai, Tesla dan perusahaan-perusahaan pembuat lainnya juga akan tumbuh jika permintaan akan mobil listriknya ada, besar, dan bertumbuh. Di sinilah peran pemerintah di sisi support dari ekosistem menjadi krusial untuk menciptakan pasar mobil listik lewat purchase subsidy

Tengoklah bagaimana pemerintah Cina dan Norwegia yang menghidupkan ekosistem bisnis kendaraan listrik lewat penciptaan pasar dengan purchase subsidy. Mobil listrik jadi lebih terjangkau bagi masyarakat agar adopsi kendaraan listrik menjadi tinggi.

Berbeda dengan Norwegia yang tidak memiliki industri pembuat di sisi suplai, sisi suplai eksosistem di Tiongkok dipenuhi banyak pabrikan lokal pembuat kendaraan listrik, baterai dan komponen. Kebijakan pemerintah di sana memberikan subdsidi juga diperuntukkan untuk menghidupkan para pembuat di sisi suplai dari ekosistem bisnis kendaraan listrik. 

Khusus kepada Tesla, Beijing memberikan berbagai keringanan mulai dari pajak penjualan hingga pendaanaan miliaran dolar untuk pembangunan pabrik giganya di Shanghai. Kehadiran Tesla dan segala kemudahan yang diberikan oleh pemerintah Tiongkok merupakan desain besar pemerintah di sana untuk sungguh-sungguh membangun ekosistem bisnis kendaraan listrik.

Kehadiran Tesla dapat menyerap pasokan komponen dari pembuat lokal. Dan pabrikan-pabrikan mobil listrik di Cina juga dapat terus meningkatkan kemampuan dengan adanya kompetisi langsung dengan Tesla di pasar domestik. 

Pertaruhan besar pemerintah Tiongkok dengan memberikan kesempatan kepada Tesla bukan tanpa persiapan. Para pembuat lokalnya diberikan kemudahan dalam riset atau pengembangan (R&D) lewat dukungan dana riset dari pemerintah ke perusahaan. Selain itu, pemerintah di sana juga memberikan kucuran dana besar ke universitas-universitas untuk menghasilkan invensi yang dapat digunakan langsung oleh pembuat lokal dalam pengembangan produknya. 

Ilustrasi Tesla (123rf.com/Lukas Gojda)

Pengorkestrasi jejaring suplai 

Bagi pembuat seperti Tesla, di mana pun mereka beroperasi, tujuan utamanya adalah untuk memaksimalkan penciptaan nilai dalam ekosistem bisnisnya. Karena Tesla berada di sisi suplai dari ekosistem bisnis, maksimisasi penciptaan nilai bisa diterjemahkan sebagai meminimalisasi total biaya yang terjadi di rantai suplainya.

Di sinilah Tesla menjalani proses  slow thinking dengan mendekati problem keputusan berinvestasi sebagai problem optimisasi untuk menentukan solusi optimal berupa pabrik apa yang dibangun (what), di mana dibangun (where), dari siapa ke siapa semua aliran barang dalam rantai suplai (who), dalam jumlah berapa (how many) dan bagaimana aliran barang tsb dikirim (how it is transported) untuk memenuhi permintaan globalnya secara tepat kualitas, waktu dan biaya.

Jika Indonesia dianggap yang paling cost-effective untuk mendukung pertumbuhan jangka panjangnya, bersiaplah. Tesla is coming here

Ade Febransyah
Guru Inovasi Prasetiya Mulya Business School

Catatan Redaksi:
Katadata.co.id menerima tulisan opini dari akademisi, pekerja profesional, pengamat, ahli/pakar, tokoh masyarakat, dan pekerja pemerintah. Kriteria tulisan adalah maksimum 1.000 kata dan tidak sedang dikirim atau sudah tayang di media lain. Kirim tulisan ke opini@katadata.co.id disertai dengan CV ringkas dan foto diri.