Membedah Biaya dan Manfaat Implementasi Kebijakan B35

Komaidi Notonegoro
Ilustrator: Joshua Siringoringo | Katadata
Direktur Eksekutif ReforMiner Institute dan Pengajar Program Magister Ilmu Ekonomi Universitas Trisakti
Penulis: Komaidi Notonegoro
1/3/2023, 13.30 WIB

Dalam rapat kabinet 6 Desember 2022, pemerintah memutuskan bahwa pencampuran bahan bakar nabati jenis biodiesel ke dalam bahan bakar minyak jenis Solar ditingkatkan menjadi 35 % atau B35. Pada 2023, kebutuhan volume Biodiesel diproyeksikan 13,15 juta kilo liter atau sekitar 82,69 juta barel. Keputusan tersebut lebih progresif dibandingkan pentahapan implementasi kebijakan BBN yang diamanatkan oleh regulasi yang ada.

Pentahapan kewajiban minimal pemanfaatan Biodiesel sebagai campuran BBM diatur melalui Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Nomor 32 Tahun 2008 yang telah dilakukan perubahan ketiga dengan Permen ESDM No.12/2015. Berdasarkan regulasi tersebut, pentahapan kewajiban minimal pemanfaatan Biodiesel (B100) sebagai campuran BBM pada Januari 2020 – Januari 2025 ditetapkan 30 %.

Karena itu, dapat dikatakan bahwa implementasi B35 yang berlaku efektif per Februari 2023 telah melampaui pentahapan kewajiban minimal.

Pentahapan kewajiban tersebut diberlakukan untuk sejumlah sektor yaitu usaha mikro, perikanan, pertanian, transportasi, dan pelayanan umum (PSO). Lalu juga untuk transportasi non -PSO, industri dan komersial, serta pembangkit listrik. Masing-masing sektor diberikan pentahapan dalam mencapai porsi minimal Biodiesel yang harus dicampurkan dalam BBM dan kapan harus dicapai. 

Biaya dan Manfaat B35

Pemerintah menyampaikan, implementasi kebijakan B35 diproyeksikan akan memberikan manfaat terhadap indikator ekonomi, sosial, dan lingkungan. Implementasi B35 disebut bakal mengurangi impor solar, sehingga dapat menghemat devisa impor sekitar US$ 10,75 miliar atau setara Rp 161 triliun.

Kebijakan tersebut juga diproyeksikan dapat menyerap tenaga kerja sekitar 1,6 juta orang. Terkait aspek lingkungan, implementasi B35 akan mengurangi emisi gas rumah kaca hingga 34,9 juta ton CO2e.

Selain berpotensi memberikan sejumlah manfaat, implementasi kebijakan B35 juga berpotensi menimbulkan tambahan biaya dalam aspek fiskal, moneter, dan bagi badan usaha niaga BBM yang akan diberikan penugasan. Hal tersebut salah satunya karena rata-rata harga bahan baku Biodiesel (CPO) lebih mahal dibandingkan rata-rata harga minyak mentah.

Rata-rata harga CPO selama 2021-2022 sekitar 1,86 kali lebih mahal dibandingkan harga minyak mentah jenis Brent. Karena itu, jika komponen biaya-biaya yang lain diasumsikan sama, maka harga Biosolar akan lebih mahal sekitar 1,86 kali dibandingkan harga Solar yang diproduksi dari minyak mentah. Akibatnya, kebutuhan anggaran untuk subsidi Biosolar juga lebih besar dibandingkan anggaran untuk subsidi Solar.

Dari aspek moneter, terutama terkait dengan penghematan devisa impor dari implementasi B35 pada dasarnya tergantung pada sejumlah asumsi. Penghematan devisa secara riil akan diperoleh jika (1) realisasi rata-rata harga CPO dalam satuan yang sama lebih murah dibandingkan rata-rata harga minyak mentah, dan/atau (2) CPO yang dialokasikan untuk produksi Biodiesel merupakan hasil produksi yang tidak terserap atau tidak laku untuk ekspor.

Jika kedua asumsi tersebut tidak terpenuhi, penghematan devisa dari implementasi kebijakan B35 pada dasarnya tidak akan diperoleh.

Jika mengacu pada rata-rata harga CPO dan minyak mentah jenis Brent periode 2021-2022, devisa yang diperoleh dari ekspor CPO sebesar 1 barel pada dasarnya dapat untuk mengimpor minyak mentah jenis Brent sekitar 1,86 barel. Artinya, jika hanya memperhitungkan aspek penghematan devisa saja justru penghematan akan diperoleh ketika CPO yang dialokasikan untuk bahan baku Biodiesel diekspor.

Dengan volume kebutuhan Biodiesel 2023 yang diproyeksikan 82,69 juta barel dan mengacu pada rata-rata harga CPO tersebut, devisa yang dapat diperoleh jika CPO yang diekspor sekitar US$ 13,84 miliar. Sementara, bila Biosolar diganti dengan Solar hanya akan memerlukan sekitar US$ 7,44 miliar untuk mengimpor minyak mentah. Artinya, penghematan devisa yang berpotensi dapat diperoleh dengan pola tersebut sekitar US$ 6,40 miliar.

Selain terhadap aspek fiskal dan moneter, implementasi kebijakan B35 juga berpotensi memberikan tambahan biaya bagi badan usaha niaga BBM. Berdasarkan informasi yang ada, diperlukan tambahan biaya sekitar Rp 110 per liter untuk implementasi kebijakan B35.

Karena itu, jika mengacu pada ketentuan Kepmen ESDM 205.K/EK.05/DJE/2022 tentang Penetapan Badan Usaha BBM dan Badan Usaha BBN Jenis Biodiesel Serta Alokasi Volume BBN Jenis Biodiesel Untuk Pencampuran BBM Jenis Minyak Solar Periode Januari-Desember 2023, Pertamina Patra Niaga yang mendapatkan volume alokasi Biodiesel sekitar 10 juta KL paling tidak akan memerlukan tambahan biaya sekitar Rp 1,11 triliun untuk mengimplementasikan kebijakan B35 di 2023.  

Jika mengacu pada data dan informasi yang ada tersebut, implementasi kebijakan B35 memang berpotensi memberikan sejumlah manfaat. Akan tetapi, kiranya perlu dilihat lebih utuh dan proporsional di dalam menilai manfaat yang akan diperoleh.

Salah satu manfaat dari implementasi kebijakan B35 adalah kebijakan tersebut dapat menjadi salah satu instrumen untuk mencapai target EBT dalam bauran energi nasional. Meskipun terdapat sejumlah pihak yang menilai bahwa Biodiesel tersebut tidak dikategorikan sebagai EBT karena dihasilkan dari proses pertanian sawit yang tidak berkelanjutan.

Manfaat lain dari implementasi kebijakan B35 adalah berpotensi menciptakan nilai tambah ekonomi dalam proses penyediaannya, termasuk penyerapan tenaga kerja. Keberlanjutan dan dalam tingkatan tertentu kemandirian penyediaan bahan bakar untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri juga merupakan manfaat yang akan diperoleh dari implementasi kebijakan B35. Ketergantungan terhadap impor minyak mentah dan/atau BBM jenis Solar paling tidak dapat berkurang sebesar volume Biodiesel yang dapat diproduksikan di dalam negeri.

Selain manfaat yang berpotensi akan diperoleh, para pihak terutama para pengambil kebijakan juga perlu memperhitungkan adanya potensi tambahan biaya yang akan timbul dari implementasi kebijakan B35. Di antaranya adalah potensi bertambahnya subsidi BBM di APBN, berkurangnya secara relatif penerimaan devisa ekspor CPO, dan tambahan biaya bagi badan usaha niaga BBM.

Komaidi Notonegoro
Direktur Eksekutif ReforMiner Institute

Catatan Redaksi:
Katadata.co.id menerima tulisan opini dari akademisi, pekerja profesional, pengamat, ahli/pakar, tokoh masyarakat, dan pekerja pemerintah. Kriteria tulisan adalah maksimum 1.000 kata dan tidak sedang dikirim atau sudah tayang di media lain. Kirim tulisan ke opini@katadata.co.id disertai dengan CV ringkas dan foto diri.