Pentingnya Pelonggaran Larangan Ekspor Nikel Mentah Secara Bertahap

Ilustrator: Joshua Siringo Ringo | Katadata
Penulis: Hasran
1/6/2023, 15.22 WIB

Pemerintah perlu merancang strategi pelonggaran ekspor nikel mentah secara bertahap. Strategi pelonggaran ini dibutuhkan ketika iklim investasi sudah terbentuk, investasi yang masuk sudah cukup banyak, dan efisiensi dalam produksi nikel olahan sudah tercapai.

Selain itu, pemerintah perlu mengevaluasi kembali rencana larangan ekspor komoditas timah, tembaga, dan bauksit. Rencana tersebut tidak akan berhasil seperti halnya pada komoditas nikel karena kapasitas produksi Indonesia relatif kecil. 

Apalagi, tren permintaan pasar pada komoditas-komoditas tersebut tidak akan sepotensial nikel yang ditopang oleh geliat pasar kendaraan listrik.

Gambaran Umum Hilirisasi dan Larangan Ekspor 

Untuk mendorong hilirisasi yang lebih masif, pemerintah melarang ekspor nikel mentah dan mewajibkan agar bijih nikel tersebut diolah sebelum diekspor. Kebijakan ini diharapkan dapat menghasilkan produk turunan nikel yang memiliki nilai tambah yang lebih tinggi.

Pelarangan ekspor nikel ini juga dijadikan sinyal untuk investor barang turunan nikel, seperti baterai kendaraan listrik, bahwa bahan baku yang mereka butuhkan akan selalu teresedia secara melimpah dalam negeri. 

Hilirisasi nikel itu sendiri membutuhkan pembangunan pabrik pemurnian atau smelter yang sangat mahal dengan modal besar. Hingga 2024, total investasi yang dibutuhkan untuk membangun 30 smelter nikel baru diperkirakan US$ 7,61 miliar.

Layaknya kebijakan proteksionis lainnya, pelarangan ekspor yang diterapkan Indonesia menuai kecaman global, terutama dari negara-negara yang bergantung pada pasokan nikel dari Tanah Air. Saat ini, Uni-Eropa telah menggugat Indonesia melalui forum WTO.

Sekalipun ada gugatan WTO, pemerintah sepertinya tetap melanjutkan kebijakan ini karena beberapa pertimbangan. Pertama, pemerintah mengklaim hilirisasi yang dibarengi dengan pelarangan ekspor bahan mentah telah meningkatkan investasi dan nilai tambah domestik, menyerap banyak tenaga kerja, menambah upah pekerja, dan mendongkrak nilai ekspor nikel sejak 2021.

Kedua, hilirisasi berpotensi dijadikan amunisi kampanye yang ampuh dalam pemilu presiden 2024 maupun saat presiden terpilih menjalankan pemerintahannya. Tidak dapat dipungkiri, hilirisasi yang mengusung konsep nasionalisme merupakan senjata kuat untuk menggalang simpati publik ketika ideologi dan cita-cita yang ditawarkan partai politik memiliki ketidakjelasan.

Ketiga, nikel merupakan komponen penting dalam agenda pembangunan ekosistem kendaraan listrik nasional. Agenda nasional ini akan membutuhkan hasil olahan nikel yang banyak yang ketersediaannya diharapkan ditopang oleh produksi dalam negeri. 

Sayangnya, nikel yang dihasilkan saat ini adalah olahan nikel kelas dua yang hanya bisa digunakan pada stainless product. Sedangkan untuk bahan baku kendaraan listrik berbasis baterai, olahan nikel yang dibutuhkan adalah olahan nikel kelas satu.

Indonesia akan terus menerapkan kebijakan larangan ekspor komoditas ini untuk menarik investasi pemurnian nikel hingga menghasilkan olahan nikel yang diharapkan.

Tidak hanya untuk penggunaan dalam negari, Indonesia berpotensi menyuplai olahan nikel kelas satu untuk Cina, Korea Selatan, dan Amerika serikat. Permintaan dari Cina dan Korea Selatan dapat difasilitasi melalui perjanjian kemitraan ekonomi RCEP. Sedangkan permintaan dari Amerika Serikat akan memanfaatkan perjanjian Indo-pasifik, dimana Indonesia dan Amerika sebagai anggotanya.

Keempat, selain gugatan dari Uni-Eropa, Indonesia sepertinya tidak begitu khawatir dengan retaliasi dari negara non-Uni Eropa. Negara-negara yang menjadi rumah bagi investor maupun perusahaan smelter, seperti Inggris, Korea Selatan, dan Cina kemungkinan besar tidak akan melakukan retaliasi mengingat investasi yang masuk dari negara-negara tersebut cukup banyak.

Dari empat alasan tersebut, alasan ekonomi merupakan pertimbangan yang paling sering dipakai oleh Indonesia saat ini untuk meyakinkan publik tentang kesuksesan pelarangan ekspor. Indonesia bahkan berencana memperluas cakupan kebijakan ini pada 21 komoditas utama termasuk bauksit, timah, dan tembaga.

Proteksionis Bukan Kebijakan Ideal untuk Jangka Panjang 

Walaupun demikian, kebijakan proteksionis seperti pelarangan ekspor tidak akan ideal jika dipertahankan dalam jangka waktu yang panjang. Pembangunan smelter membutuhkan investasi sangat besar yang bersumber dari asing.

Apabila ini terus berlanjut, peningkatan nilai tambah domestik yang dihasilkan dari hilirisasi hanya akan dinikmati oleh para investor asing.

Di sisi fiskal dan penerimaan, Indonesia tidak bisa terus-menerus kehilangan pemasukan dari pajak ekspor nikel mentah. Apalagi, Indonesia telah memberikan insentif berupa potongan atau pengampunan pajak bagi investor di industri turunan nikel yang pada akhirnya mengurangi penerimaan pajak penghasilan.

Dengan menggeliatnya tren kendaraan listrik dalam beberapa tahun ke depan, kebutuhan bahan baku bijih nikel juga akan semakin tinggi. Di saat seperti ini, harga nikel mentah dunia akan merangkak naik.

Kalau ekspor masih dilarang, maka dalam jangka panjang produsen tambang dalam negeri akan kehilangan produsen surplus akibat tidak bisa menjual nikel di pasar internasional pada harga yang lebih tinggi.

Dari sisi tenaga kerja, hilirisasi yang dibarengi dengan larangan ekspor kemungkinan besar tidak akan maksimal dalam menyerap tenaga kerja baru. Kebijakan ini hanya mengalihkan tenaga kerja dari sektor yang memiliki nilai tambah rendah seperti pertambangan ke sektor yang bernilai tambah tinggi seperti industri-industri hasil olahan nikel.

Dalam hal ini, ekspekstasi mengurangi pengangguran dengan pelarangan ekspor perlu dipertanyakan.

Perlu Strategi Pelonggaran Ekspor Nikel Mentah secara Bertahap 

Hanya saja, kebijakan yang sudah ada tidak bisa dicabut begitu saja mengingat investasi yang masuk atas klausul pelarangan ekspor nikel mentah juga sudah cukup banyak. Pencabutan secara mendadak akan menjadi sinyal bagi investor bahwa regulasi dalam negari penuh ketidakpastian.

Oleh karenanya, pemerintah perlu mempersiapkan strategi yang dapat diimplementasikan secara bertahap dalam melonggarkan ekspor nikel mentah. Tujuan awal dari adanya pelarangan ekspor adalah agar bahan baku tersedia sesuai yang dibutuhkan industri.

Selain itu, pelarangan ekspor juga ditujukan untuk menstimulus perusahaan tambang untuk membangun smelter. Dengan kata lain, maka tujuan utama dari adanya kebijakan ini adalah memaksimalkan penyerapan investasi.

Ketika iklim investasi sudah terbentuk, investasi yang masuk sudah cukup banyak, efisiensi dalam produksi olahan nikel sudah tercapai, maka kebijakan pelarangan ekspor sebaiknya mulai dilonggarkan secara perlahan.

Ini juga berarti bahwa rencana pemerintah untuk memperluas cakupan pelarangan ekspor ke komoditas lain seperti bauksit, tembaga, dan timah menjadi tidak ideal. Larangan ekspor pada komoditas tersebut tentu saja tidak akan semulus komoditas nikel karena kapasitas produksi Indonesia masih terlalu kecil untuk komoditas-komoditas tersebut.

Apalagi, tren permintaan pasar pada komoditas-komoditas tersebut tidak akan sepotensial nikel yang ditopang oleh geliat pasar kendaraan listrik.

Hasran

Catatan Redaksi:
Katadata.co.id menerima tulisan opini dari akademisi, pekerja profesional, pengamat, ahli/pakar, tokoh masyarakat, dan pekerja pemerintah. Kriteria tulisan adalah maksimum 1.000 kata dan tidak sedang dikirim atau sudah tayang di media lain. Kirim tulisan ke opini@katadata.co.id disertai dengan CV ringkas dan foto diri.