Kehadiran kontrak bagi hasil atau PSC Gross Split dengan pola pembagian gross produksi sempat membuat heboh industri minyak dan gas bumi (migas) di Indonesia, khususnya di sisi hulu.
Hal itu terjadi karena beberapa alasan. Pertama, industri dan pelaku bisnis sudah puluhan tahun dan sudah sangat terbiasa dengan PSC Cost Recovery. Karena itu, terasa gamang ketika harus menggunakan model baru dan harus mulai lagi dengan berbagai konsekuensi.
Kedua, menggunakan PSC Gross Split memaksa perusahaan minyak menghadapi ketidakpastian dengan sepuluh variable split yang akan diberikan yang bergantung pada situasi lapangan. Demikian juga dengan tambahan split dari diskresi menteri energi dan sumber daya mineral (ESDM) yang secara praktik tidak mudah diperoleh.
Karena itu, menteri harus ekstra hati-hati dan sangat yakin tambahan split kontrakor layak dan harus diberikan. Setiap tambahan split kontraktor berarti sama dengan mengurangi split pemerintah.
Sedangkan pada variable kumulatif produksi, terasa redundant dengan ketentuan dalam PSC yang menyebutkan bahwa kontraktor akan memberikan bonus produksi pada jumlah kumulatif produksi tertentu.
Ketiga, variabel penentu split yang terdiri dari 10 variabel split dan tiga variabel progresif split, plus diskresi menteri, dalam pelaksanaanya membutuhkan effort yang luar biasa dalam hal pengendalian, pengawasan, pelaksanaan, dan pelaporan.
Pada ujungnya semua itu berpengaruh pada pertanggungjawabannya. Seringkali antar pihak pemerintah saling tarik-menarik.
Misalnya, tentang tingkat komponen dalam negeri atau TKDN. Jika mengacu pada Pedoman Tata Kerja atau PTK SKK Migas Nomor 066, peran penentunya ada di Kementerian ESDM. Namun, Kementerian bukan pelaku bisnis.
Dalam kondisi tersebut tentu Kementerian ESDM dapat menolak untuk mengerjakan. Kalaupun harus mengerjakan, maka Kementerian akan kehilangan marwah sebagai regulator.
Penyederhanaan PSC Gross Split
Usulan penyederhanaan PSC Gross Split sudah muncul segera setelah diluncurkan pada 2017. Kalaupun tidak dinyatakan secara eksplisit tapi keluhan SKK Migas dan kontraktor kontrak kerja sama (KKKS) sudah terdengar sejak awal.
Rupanya pemerintah sangat bijak, mendengarkan dengan seksama walau juga tidak tergesa-gesa merespon. Melalui kajian ke kajian, pada akhirnya tahun ini, di bulan ini, nampaknya waktu yang tepat untuk meluncurkan revisi ketentuan PSC Gross Split.
Diskusi awal dan sounding model kontrak yang baru itu sudah dikumandangkan. Ancang-ancang modelnya mulai diperkenalkan pada Mei dalam pertemuan ASEAN 2023 yang bertajuk ASEAN Matters: Epicentrum of Growth.
Perubahan pokoknya terjadi pada penyederhanaan variable split yang semula terdiri dari 10 item menjadi tiga item saja dan menghapus item progresif split kumulatif produksi yang memang redundant. Sementara Based Split dipertahankan relatif sama, yaitu split kontraktor untuk minyak 47% dan gas 49%.
Bila kita mencermati model yang lama, 10 item variable split tersebut sejatinya terdiri dari dua kelompok, yaitu tambahan variable split yang merupakan bentuk kompensasi biaya dan tambahan split yang bersifat intensif.
Misalnya, lapangan dengan produksi hidrogen sulfida atau H2S lebih besar dari 4 ribu ppm diberikan tambahan split 5% di atas base split. Jadi maksudnya 5% tambahan split tersebut dimaksudkan mengompensasi kondisi lapangan, yang dengan H2S tinggi maka kontraktor harus mengeluarkan tambahan biaya.
Hal ini berbeda dengan tambahan split untuk TKDN, yang bersifat insentif. Tambahan split diberikan karena kontraktor berkenan dan memilih menggunakan TKDN dengan besaran antara 70% - 100%.
Pada model baru nantinya hanya digunakan tiga item variabel saja, yaitu jumlah cadangan, lokasi lapangan dan ketersediaan infrastruktur. Pada masing-masing item juga hanya dibagi menjadi dua hingga empat item saja.
Lapangan dengan cadangan tinggi atau lebih 60 juta setara minyak (mmboe) diberikan tambahan split 12%, Lapangan dengan ukuran sedang yaitu 20 mmboe hingga 60 mmboe mendapatkan 13%.
Sedangkan lapangan kecil, kurang dari 20 mmboe mendapatkan 14%. Memang ketentuan perlu diperbaiki sedikit supaya tidak terjadi diskusi yang tidak perlu, yaitu untuk lapangan yang cadangannya pas sebesar 20 mmboe, akan menggunakan 13% atau 14%. Demikian juga untuk yang pas 60 mmboe, akan menggunakan 12% atau 13%.
Untuk posisi lapangan dibagi empat, yaitu lapangan di darat, lapangan di kedalaman 500 meter, 500 sampai seribu meter dan di atas seribu meter. Secara berturut turt diberikan tambahan split 11%, 12%, 13%, dan 14%.
Sedangkan lapangan yang berada dilokasi dengan infrastruktur diberikan tambahan split 10%, dan lapangan di lokasi tanpa ketersediaan infrastruktur yang memadai diberikan 13% tambahan split.
PSC dengan Pola Royalty & Tax
Bila dilihat lebih cermat, sebenarnya yang terjadi adalah perubahan yang hakiki. Secara tidak langsung telah dilakukan perubahan base split yang ‘terkamuflase’. Artinya, rumusannya sebenarnya bisa diubah dengan menambahkan base split masing-masing 30%.
Jadi, split kontraktor untuk minyak 77% dan gas 79%. Sehingga perbedaan besaran cadangan menjadi seperti ini. Cadangan besar lebih dari 60 mmboe cukup diberi tambahan 2%, kemudian yang sedang 3% dan 4% untuk yang kecil dibawah 20 mmboe.
Sementara untuk lokasi lapangan diberikan tambahan berturut turut 1%, 2%, 3% dan 4% untuk lapangan di darat, lapangan di kedalaman 500 meter, 500 hingga seribu meter dan di atas seribu meter. Sementara untuk lapangan yang sudah cukup dengan infrastrukturnya tidak diberikan tambahan split sedangkan kondisi sebaliknya diberikan tambahan 3%
Perbaikan ini sebenarnya semakin menguatkan tulisan saya sebelumnya (pada 2018) di media yang sama, yang menyatakan PSC Gross Split adalah model kontrak (KKS) yang isinya royalty and tax. Atau model royalty and tax yang ‘dibungkus’ dengan kontrak.
Seperti layaknya royalty rate, dalam kondisi normal, biasanya bagian pemerintah, sebagai pemegang kuasa pertambangan, mendapatkan royalty sebesar 10% atau kurang, dan maksimum 30%.
Misalnya, untuk batu bara berada di kisaran 14% sampai dengan 28% bergantung pada harga batubara acuan. Sedangkan tambang nikel royaltinya sebesar 2% sampai dengan 10% per ton, tergantung pada jenisnya.
Investasi Hulu Migas
Terlepas dari itu semua, perubahan ini memiliki maksud yang jelas, yaitu untuk meningkatkan competitiveness investasi hulu migas di Indonesia. Dan memang jika dibandingkan dengan model yang lama sangat berbeda.
Dengan Base Split yang terkamuflase tadi, yang besarnya minyak 77% dan gas 79%, memberikan tingkat kepastian yang lebih tinggi untuk penerimaan kontraktor. Persentase tersebut adalah kondisi yang ‘terburuk' atau bagian kontraktor terendah. Masih ada potensi tambahan bagian kontraktor untuk sampai di 85% untuk minyak dan 87% gas.
Dengan kata lain pemerintah rela menerima bagian yang besarnya 15% untuk minyak dan 13% gas. Ring potensi tambahannya hanya di 8% maksimum untuk minyak dan 6% gas, dan angka 8% dan 6% secara normatif masih masuk akal bagi investor.
Jadi jelas, model yang baru tersebut menunjukan pemerintah ‘pro’ investor, dan semestinya hal ini dapat ditangkap sebagai sinyal positif bagi investasi di Indonesia.
Walau memang investasi dan keputusan investasi bukan saja melulu masalah PSC dan split bagi produksi, atau bagi hasil. Namun, masih banyak persoalan lain yang mempengaruhi secara simultan sebuah keputusan investasi di sektor hulu migas.
Misalnya, masalah regulasi, yaitu Revisi Undang-Undang Migas, penegakan hukum, persoalan persepsi korupsi, masalah dilapangan terkait isu sosial dan politik, dan lain sebagainya.
Hanya harus diberikan apresiasi untuk pemerintah. Paling tidak di persoalan fiskal memberikan tanggapan positif, walau belum seluruh persoalan terselesaikan karena perpajakan migas masih menyimpan berbagai persoalan yang menggantung.
Catatan Redaksi:
Katadata.co.id menerima tulisan opini dari akademisi, pekerja profesional, pengamat, ahli/pakar, tokoh masyarakat, dan pekerja pemerintah. Kriteria tulisan adalah maksimum 1.000 kata dan tidak sedang dikirim atau sudah tayang di media lain. Kirim tulisan ke opini@katadata.co.id disertai dengan CV ringkas dan foto diri.