Konferensi perubahan iklim PBB ke-28 (COP 28) berakhir dengan komitmen di antara anggotanya untuk mengurangi emisi gas rumah kaca dengan "mengurangi" bahan bakar fosil. Beberapa negara di Asia Tenggara telah menetapkan tujuan ambisius tentang bagaimana mereka akan mencapainya. Indonesia, dalam hal ini berupaya mencapai bauran energi terbarukan sebesar 44% pada tahun 2030 melalui Just Energy Transition Partnership (JETP).
Namun, meskipun negara-negara besar di ASEAN bertujuan untuk beralih dari industri bahan bakar fosil yang merusak lingkungan, rencana mereka tidak diimplementasikan secepat tuntutan krisis iklim saat ini. Pendanaan iklim yang tidak mencukupi merupakan salah satu penyebabnya.
Sebuah laporan dari Bain & Company menyatakan ASEAN membutuhkan US$ 1,5 triliun pendanaan untuk mencapai tujuan iklimnya pada tahun 2030, dengan US$ 1,1 triliun dari jumlah tersebut akan digunakan untuk transisi energi. Angka ini jauh di luar US$ 30 miliar yang JETP janjikan untuk diinvestasikan dalam infrastruktur terbarukan di Vietnam dan Indonesia. Climate Action Tracker memberikan penilaian atas kinerja negara-negara Asia Tenggara, antara "Tidak Memadai" dan "Sangat Tidak Memadai," dengan Indonesia berada pada kategori terakhir yaitu sangat tidak memadai.
Dengan atau tanpa tambahan pendanaan, untuk mencapai tujuan iklim akan dibutuhkan penciptaan berbagai pekerjaan hijau. International Labor Organization (ILO) mendefinisikannya sebagai "pekerjaan yang berkontribusi untuk menjaga atau mengembalikan lingkungan" pada bidang-bidang seperti pertanian, industri, jasa, dan administrasi untuk "mengurangi emisi energi dan bahan baku, membatasi emisi gas rumah kaca, meminimalkan limbah dan polusi, melindungi dan memulihkan ekosistem, dan mendukung adaptasi terhadap dampak perubahan iklim."
Pekerjaan hijau dalam industri baru maupun yang sudah ada dapat memberikan tipe pekerjaan yang stabil, berkontribusi pada pertumbuhan ekonomi, dan memperkuat daya saing jangka panjang sekaligus membantu mengurangi gas rumah kaca dan polutan lingkungan lainnya. Sebuah laporan dari lembaga nirlaba Bridgespan menyebutkan bahwa energi surya, mobilitas listrik, lingkungan binaan, pertanian berkelanjutan, dan pengelolaan limbah adalah sektor-sektor penting dari ekonomi hijau.
Pentingnya pekerjaan hijau ini sudah secara resmi diakui. ASEAN Strategy for Carbon Neutrality menekankan "kebutuhan ASEAN untuk mengejar netralitas karbon sangat mendesak, dan dengan melakukan itu, akan membuka potensi besar dari transformasi hijau pada kawasan ini" selain itu disebutkan juga delapan target, salah satunya adalah "mempromosikan pengembangan dan mobilitas talenta pada sektor hijau."
Namun, untuk mengisi pekerjaan-pekerjaan tersebut diperlukan tenaga kerja terlatih, karena pekerjaan hijau umumnya memerlukan hard skill seperti pendidikan STEM (Science, Technology, Engineering, and Mathematics) dan soft skill seperti crisis response dan manajemen risiko, terutama terkait dengan dampak perubahan iklim dan krisis lingkungan lainnya, seperti polusi plastik.
Meskipun konsep tersebut masih relatif baru, namun sangat populer di Asia Pasifik. Survei Accenture tahun 2022 menunjukkan 77% penduduk Asia Pasifik berusia 15 hingga 39 tahun ingin bekerja pada sektor ekonomi hijau dalam waktu 10 tahun, jumlah ini lebih banyak dari Eropa atau AS.
Studi tahun 2021 oleh Institute for Essential Service Reform (IESR), lembaga think-tank yang berbasis di Indonesia, memprediksi "dekarbonisasi" dapat menghasilkan 3,2 juta pekerjaan baru di Indonesia pada tahun 2050. Sedangkan menurut laporan Asian Development Bank (ADB), pertumbuhan hijau di seluruh Asia Tenggara dapat menciptakan peluang investasi sebesar US$ 172 miliar setiap tahun dan menghasilkan lebih dari 30 juta pekerjaan pada tahun 2030. Peluang pertumbuhan ini sejalan dengan hampir 60% dari target-target Tujuan Pembangunan Berkelanjutan PBB.
Laporan Global Green Skills 2023 oleh LinkedIn menemukan pekerja dengan keterampilan hijau dipekerjakan dengan gaji lebih tinggi. Namun untuk menarik talenta terbaik, perusahaan harus melakukan pergeseran signifikan menuju lingkungan keberlanjutan dengan meninjau kembali peran-peran dan keahlian yang diperlukan untuk menyesuaikan kontrubusi pekerja pada pekerjaan hijau.
Para pemberi kerja juga dapat memprioritaskan karyawan saat ini dan calon pekerja yang kurang memiliki keahlian relevan, namun menunjukkan minat untuk sektor-sektor hijau seperti energi terbarukan. Sebab, antusiasme mereka dapat diterjemahkan menjadi kinerja yang lebih baik dalam program pelatihan dan di tempat kerja.
Meskipun jumlah pekerja terampil dalam sektor ekonomi hijau masih relatif sedikit, saat ini terdapat berbagai kesempatan di sektor-sektor terbarukan Indonesia. Menurut studi Greenpeace Indonesia, ekonomi hijau dapat menciptakan 19,4 juta pekerjaan pada tahun 2032, menyerap sebagian besar tenaga kerja baru di industri-industri seperti pertanian, kehutanan, dan perikanan, kelistrikan, pemrosesan, dan konstruksi.
Banyak dari pekerjaan-pekerjaan ini melibatkan pekerjaan fisik dan tidak membutuhkan gelar tinggi, hanya pelatihan teknis. Sebuah kemitraan bilateral dengan Pemerintah Jerman juga sedang berlangsung dalam mempersiapkan dan mengembangkan sumber daya manusia untuk peluang pekerjaan hijau.
Pada November lalu, Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional sedang mempersiapkan peta jalan untuk Pengembangan Pekerjaan Hijau yang berfokus pada tiga tantangan: memanfaatkan pendorong transformasi ekonomi, melakukan transisi pekerjaan hijau ke dalam kebijakan pemerintah, dan kebutuhan akan kolaborasi untuk menciptakan "ekosistem pengembangan keterampilan hijau" bagi masyarakat Indonesia.
Untuk melaksanakan peta jalan tersebut, pemerintah Indonesia dapat mempelajari praktik terbaik dalam pekerjaan hijau dari pengembangan yang telah dilakukan ILO di Indonesia. Hal ini melibatkan penciptaan ekosistem pendukung untuk mengadopsi sektor-sektor hijau seperti energi terbarukan melalui kebijakan dan regulasi yang menguntungkan, insentif dan subsidi, serta kampanye terkait manfaat teknologi ini bagi pekerja lokal, ekonomi Indonesia, dan lingkungan lokal serta global.
Dengan melakukan hal-hal tersebut, peluang bisnis menarik bagi investor dalam proyek-proyek hijau akan tercipta, sekaligus mengembangkan keterampilan dan penciptaan pekerjaan yang memiliki potensi untuk meningkatkan kesejahteraan pekerja, keluarga, dan masyarakat.
Dalam membangun ekosistem ini, pemerintah Indonesia dapat belajar dari inisiatif di Afrika, di mana lonjakan investasi memiliki potensi untuk menciptakan jutaan pekerjaan hijau. Global Energy Alliance for People and Planet (GEAPP) telah mengambil bagian dalam lonjakan ini, dengan program-program seperti "Women for Green Jobs" dan kemitraan dengan Youth Energy Summit (YES!) untuk menciptakan jaringan dalam meningkatkan keterampilan, koneksi, dan kesiapan bisnis para pemimpin energi baru Afrika.
Dalam suatu proyek lain di Afrika Selatan yang dapat dijadikan model, GEAPP tergabung dalam sebuah kemitraan untuk menciptakan fasilitas pelatihan untuk mendidik, melatih ulang, dan meningkatkan keterampilan karyawan di sebuah pembangkit listrik yang akan dinonaktifkan dan dioperasikan kembali dengan energi terbarukan. Fasilitas ini dijadwalkan akan dibuka sebelum pembangkit listrik mulai dinonaktifkan.
Seperti halnya di Afrika, GEAPP siap mendukung Indonesia melalui jaringan yang luas dan berbagi materi riset serta pembelajaran. Namun, untuk mencapai dampak yang lebih besar, penting bagi kita untuk berkolaborasi dengan pemain-pemain di seluruh ekosistem pekerjaan hijau untuk mempersiapkan tenaga kerja agar mampu berperan dalam ekonomi hijau masa depan.
***
(Lucky Nurrahmat, Country Delivery Lead, Global Energy Alliance for People and Planet (GEAPP) bekerja sama dengan Pemerintah Indonesia dan berbagai aktor di industri energi untuk mempercepat Just Energy Transition yang mendukung misi pengurangan karbon pada sistem energi sekaligus meningkatkan penghidupan masyarakat sebagai bagian dari transisi yang adil.)
Catatan Redaksi:
Katadata.co.id menerima tulisan opini dari akademisi, pekerja profesional, pengamat, ahli/pakar, tokoh masyarakat, dan pekerja pemerintah. Kriteria tulisan adalah maksimum 1.000 kata dan tidak sedang dikirim atau sudah tayang di media lain. Kirim tulisan ke opini@katadata.co.id disertai dengan CV ringkas dan foto diri.