Peluang Banding RI di WTO atas Ekspor Bijih Nikel

Katadata/Bintan Insani
Prof. Dr. Ariawan Gunadi, S.H., M.H. Pakar Hukum Bisnis dan Perdagangan Internasional
Penulis: Ariawan Gunadi
Editor: Dini Pramita
3/5/2024, 07.21 WIB

Sebelum kebijakan hilirisasi dan larangan ekspor nikel mentah diterapkan, nilai ekspor nikel Indonesia hanya mencapai angka US$ 2,1 miliar per tahun atau setara dengan Rp 30 triliun. Setelah hilirisasi dilakukan, nilai ekspor nikel Indonesia melesat berkali-kali lipat.

Sebagai gambaran, nilai bijih nikel meningkat 10 kali lipat ketika diolah menjadi feronikel. Apabila diolah lebih lanjut menjadi baja tahan karat, nilainya melonjak 19 kali lipat.

Hal ini dibuktikan melalui data Badan Pusat Statistik (BPS) yang menyebutkan sepanjang 2023, Indonesia mengekspor nikel sebanyak 1,26 juta. Secara kuantitas, jumlahnya meningkat 62,33% dibandingkan 2022 secara year on year/yoy. Nilainya ikut meningkat sebesar 14,75% (yoy) menjadi US$ 6,8 miliar atau setara dengan Rp 106,9 triliun.

Dari total volume ekspor tersebut, sekitar 1,12 juta ton atau 88,7% di antaranya dikirim ke Tiongkok. Jepang berada di peringkat kedua terbesar dengan porsi sebesar 7,4%, disusul Norwegia dengan porsi 2,5%, Belanda dengan porsi 1,1%, dan Korea Selatan di peringkat kelima dengan porsi 0,22%.

Peningkatan ini mengindikasikan kebijakan hilirisasi nikel berdampak besar bagi perekonomian Indonesia. Tidak hanya meningkatkan nilai tambah, tetapi juga membuka peluang untuk pengembangan industri dalam negeri yang terkait erat dengan industri pengolahan nikel dan menciptakan lapangan kerja.

Di sisi penerimaan negara, Indonesia mendapatkan pajak penghasilan, PPN, pajak karyawan, PNBP, dan bea ekspor untuk menambah pemasukan negara.

Polemik Kebijakan Larangan Ekspor Bijih Nikel RI

Pada November 2022 lalu, World Trade Organization (WTO) memenangkan gugatan yang diajukan oleh Uni Eropa di Dispute Settlement Body terkait larangan ekspor bijih nikel yang diberlakukan oleh Indonesia sejak awal tahun 2020.

Indonesia dianggap telah melanggar ketentuan WTO paska menerbitkan sejumlah peraturan perundang-undangan, antara lain: Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara, Peraturan Menteri ESDM Nomor 11 Tahun 2019 tentang Perubahan Kedua Atas Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Nomor 25 Tahun 2018 tentang Pengusahaan Pertambangan Mineral dan Batubara, Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 96 Tahun 2019 tentang Ketentuan Ekspor Produk Pertambangan Hasil Pengolahan dan Pemurnian, Peraturan Menteri ESDM Nomor 7 Tahun 2020 tentang Tata Cara Pemberian Wilayah, Perizinan, dan Pelaporan Pada Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral dan Batubara.

Sebagai respons terhadap hal ini, Pemerintah Indonesia telah mengajukan banding kepada WTO pada Desember 2022 lalu. Langkah ini menunjukkan upaya Pemerintah Indonesia untuk melindungi kepentingan ekonomi nasional serta mempertahankan kebijakan dalam sektor pertambangan nikel.

Sejak saat itu, proses banding RI ini tak kunjung dilaksanakan dan Appellate Body masih belum terbentuk. Alasannya, Amerika Serikat (AS) masih belum menyetujui pembentukan panel banding WTO. Staf Khusus Menteri Perdagangan Bidang Perjanjian Perdagangan Internasional Bara Krishna Hasibuan menyebutkan, Appellate Body WTO ini diperkirakan paling cepat terbentuk pada pertengahan 2024 atau bahkan awal 2025, sehingga butuh waktu lama sampai proses banding Indonesia dilaksanakan.

Penyebab Indonesia Kalah di WTO

Terdapat sejumlah penyebab yang membuat Indonesia dinyatakan kalah di Dispute Settlement Body, antara lain:

Pertama, sumber daya dan keahlian yang terbatas. Dibandingkan dengan Uni Eropa, Indonesia memiliki lebih sedikit ahli dan pakar dengan spesialisasi hukum perdagangan internasional. Bahkan dalam sebuah makalah penelitian yang menganalisis kekalahan Indonesia dalam sengketa pembatasan impor hortikultura, hewan, dan produk hewan melawan AS dan Australia disebutkan, penyebab Indonesia kalah adalah kurang memahami peraturan WTO.

Dengan begitu, terdapat kemungkinan hambatan yang sama dalam sengketa pelarangan ekspor bijih nikel dengan Uni Eropa.

Kedua, hambatan dalam mengumpulkan data dan informasi. Dalam artikel yang diterbitkan The Jakarta Post pada 2018 disebutkan Pemerintah Indonesia mengalami kesulitan mengumpulkan data dan informasi yang diperlukan untuk menganalisis kebijakan perdagangan. Tentu saja hal ini akan mempengaruhi rumusan argumentasi gugatan yang dibuat.

Ketiga, posisi tawar Indonesia yang lemah secara ekonomi dan politik dibandingkan negara maju di Uni Eropa. Dengan posisi tawar yang lemah, Indonesia terpaksa menerima penyelesaian yang kurang menguntungkan.

Menakar Peluang Menang di WTO

Meskipun Indonesia dinyatakan kalah atas gugatan yang diajukan Uni Eropa di Dispute Settlement Body terkait dengan larangan ekspor bijih nikel, Indonesia masih memiliki peluang menang di tingkat Appellate Body. Merujuk aturan WTO, memang seluruh negara dilarang untuk menerapkan hambatan dalam bentuk pelarangan ekspor, tetapi ada beberapa larangan ekspor yang diperbolehkan.

Karena itu, apabila Pemerintah Indonesia melakukan kajian terhadap peraturan WTO secara cermat dan teliti, Indonesia dapat memanfaatkan ketentuan-ketentuan dalam WTO Rules dan GATT untuk memperbesar peluang menang dalam banding ekspor bijih nikel melawan Uni Eropa.

Tawaran Strategi untuk Pemerintah Indonesia

Saya berpendapat, ada sejumlah strategi yang dapat dilakukan oleh Pemerintah Indonesia dalam menghadapi proses banding di WTO, antara lain:

Pertama, mengkurasi tim hukum yang berisikan negosiator andal dan memiliki kompetensi mumpuni dalam prosedur penyelesaian sengketa internasional. Ini akan membantu dalam menjalankan negosiasi yang efektif dan menghasilkan kesepakatan yang menguntungkan bagi Indonesia.

Kedua, pemerintah harus memperkuat posisi tawar negara dalam konteks perdagangan internasional. Ini menjadi penting mengingat Indonesia akan segera menjadi anggota OECD. Indonesia dapat meningkatkan diplomasi, kualitas produk dalam negeri, dan menyusun strategi pemasaran yang efektif dalam mempromosikan produk-produk dalam negeri.

Ketiga, mengembangkan sistem pengumpulan dan analisis data yang terpusat, yang dapat digunakan dalam merumuskan argumentasi hukum pada saat persidangan di Appellate Body WTO. Sistem ini dapat digunakan untuk mengumpulkan berbagai data yang relevan dari berbagai sumber, termasuk yurisprudensi pengadilan internasional sebelumnya, pertimbangan hukum, dan informasi terkini yang relevan dengan kasus yang sedang dibahas.

Dengan adanya sistem yang terpusat, tim hukum yang terlibat dalam persidangan dapat mengakses informasi dengan lebih mudah dan cepat, serta menganalisisnya secara komprehensif untuk mempersiapkan argumen yang kuat dan berdaya saing.

Keempat, strategi paling penting yang dapat dilakukan oleh pemerintah adalah dengan fokus pada percepatan kesiapan ekosistem industri nikel dalam negeri. Hal ini bertujuan untuk memastikan agar industri pengolahan nikel di dalam negeri sudah siap pada saat putusan WTO sudah bersifat final dan mengikat, yang mengharuskan Indonesia untuk membuka kembali ekspor bijih nikel.

Ariawan Gunadi
Pakar Hukum Bisnis dan Perdagangan Internasional

Catatan Redaksi:
Katadata.co.id menerima tulisan opini dari akademisi, pekerja profesional, pengamat, ahli/pakar, tokoh masyarakat, dan pekerja pemerintah. Kriteria tulisan adalah maksimum 1.000 kata dan tidak sedang dikirim atau sudah tayang di media lain. Kirim tulisan ke opini@katadata.co.id disertai dengan CV ringkas dan foto diri.