Komitmen Indonesia menurunkan emisi, yang tertuang dalam Kontribusi yang Ditentukan Secara Nasional (NDC), perlu lebih ambisius. Janji iklim saat ini belum cukup menghindarkan bumi dari pemanasan global. Janji dan ambisi itu perlu dipercepat karena pemanasan global bukan lagi ancaman tapi sudah di depan batang hidung kita semua.
Sering kehujanan jadi kebanjiran. Tak kunjung hujan langsung kekeringan. Di kawasan pantai utara Jawa, dari hulu mereka diterjang banjir. Dari hilir dihajar rob. Itulah kode alam kepada manusia. Dampak pemanasan global sudah sangat terasa.
Sayangnya masyarakat tampak enggan mengakui tanda alam ini. Di pemerintahan pun hanya sebagian yang peduli. Padahal, ada hubungan yang sangat kuat antara perubahan iklim, yang dipicu oleh deforestasi, hingga penggunaan energi fosil berlebih, terhadap bencana alam.
Indonesia merupakan negara yang telah meratifikasi Persetujuan Paris. Ini adalah kesepakatan negara-negara di dunia untuk mengurangi emisi gas rumah kaca secara bersama-sama. Negara-negara tersebut sepakat menahan laju pemanasan bumi secara global, agar tidak lebih dari 1,5 derajat celcius pada akhir abad ke-21 (2100 masehi), dibandingkan dengan suhu di akhir abad ke-19 (1900 masehi).
Apalagi Indonesia telah dua kali memperbaharui NDC-nya. Pada NDC Pertama target pengurangan emisi Indonesia sebesar 29% dengan upaya sendiri dan 41% dengan sokongan internasional pada 2030. Pemerintah selanjutnya memperbaruinya jadi Updated NDC pada 2021 dan Enhanced NDC (ENDC) pada 2022. Target emisi yang tadinya hanya 29% menjadi 31,89% dengan usaha sendiri, dan dari 41% jadi 43,20% dengan bantuan internasional.
Komitmen tertulis tersebut tampak ambisius. Namun pemerintah sebetulnya masih bisa lebih baik dari ENDC tersebut. Bukalah ruang diskusi dengan kelompok masyarakat sipil. Agar mereka punya kesempatan yang cukup untuk menyampaikan peluang-peluang perbaikan bagi komitmen iklim nasional.
Menjelang berakhirnya bulan Agustus ini, yang kabarnya merupakan tenggat penyelesaian komitmen baru itu, masyarakat sipil, terutama dari kelompok-kelompok rentan, punya kekhawatiran. Mereka mengirimkan surat terbuka kepada Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan agar melibatkan masyarakat dalam pembahasan NDC Kedua (Second NDC).
Yang masyarakat tahu, Direktorat Jenderal Pengendalian Perubahan Iklim (PPI) sedang menyusun Second NDC dan telah mengumpulkan kementerian dan lembaga yang terkait. Pertemuan yang dilakukan pada 21 Februari 2024 itu membahas berbagai perkembangan kebijakan sektoral saat ini, seperti Indonesia FOLU Net-sink 2030, Zero Waste Zero Emission dan kebijakan transisi energi. Dari diskusi tersebut, pemerintah berencana menambah sektor baru dalam Second NDC, yaitu kelautan. Pemerintah menargetkan Second NDC itu akan rampung pada September 2024.
Jika dokumen tersebut harus diselesaikan buru-buru, sempatkanlah untuk memasang telinga sepanjang dan setebal mungkin, guna menyerap aspirasi publik. Utamanya perwakilan dari kelompok rentan yang berpotensi paling terdampak dan bergantung hidupnya pada implementasi Second NDC. Memang dokumen Second NDC tidak akan memuat strategi mitigasi adaptasi secara detail. Tapi harus dipastikan sudah melalui proses yang transparan, inklusif dan adil.
Ingatlah bahwa Persetujuan Paris memandatkan pengumpulan NDC tidak hanya tepat waktu, tapi mesti melibatkan pemangku kepentingan secara inklusif dalam penyusunannya. Siapa saja pemangku kepentingan itu? Mereka yang paling terdampak terhadap perubahan iklim, seperti masyarakat adat dan lokal, perempuan, anak-anak dan lansia, penyandang disabilitas, petani kecil dan nelayan tradisional, buruh, masyarakat miskin urban dan kelompok rentan lainnya.
Apa jadinya jika mereka tak dilibatkan?
Penambangan nikel yang asal-asalan. Pemerintah mencanangkan penambangan ini untuk memproduksi bahan baku baterai mobil listrik, komponen inti transisi energi ramah lingkungan. Tapi yang didapat adalah hilangnya hutan adat dan ekosistem kehidupan masyarakat rentan. Lebih jauh, praktik tersebut justru memicu antipati dunia internasional terhadap produk nikel Indonesia.
Itu sebabnya, untuk mengatasi krisis iklim, prinsipnya harus dengan mengakui keadilan iklim. Keadilan ini berguna untuk menjawab empat masalah krisis iklim. Yaitu keamanan manusia (human security/ H), utang ekologis (ecological debt/ E), kepemilikan lahan (land tenure/ L), dan pola konsumsi produksi (production consumption pattern/ P).
Keamanan manusia sedang terancam karena krisis iklim. Ada utang ekologis dari kegiatan ekonomi yang merusak selama 300 tahun terakhir. Ada kehilangan akses kepemilikan tanah oleh masyarakat adat dan lokal. Serta ada pola produksi dan konsumsi yang tetap menggunakan pola ekstraktif.
Keadilan iklim ini mesti dijawab lewat keadilan rekognitif, distributif, prosedural hingga keadilan korektif-restoratif. Yaitu mengakui bahwa masyarakat terdiri dari berbagai kelompok dengan kebutuhan, kemampuan beradaptasi serta ketimpangan terhadap akses sumber daya dan pengambilan keputusan (rekognitif).
Kemudian memastikan perlindungan yang sama dan distribusi yang adil terhadap dampak kegiatan yang mengancam lingkungan atau manfaat dari program-program lingkungan (distributif). Lalu memastikan hak akses informasi, partisipasi, dan keadilan dalam setiap keputusan dan kebijakan pembangunan maupun aksi perubahan iklim (prosedural). Terakhir, memastikan upaya korektif mencakup restorasi dan reparasi atas kesalahan masa lalu dari model pembangunan ekstraktif (korektif-restoratif).
Dengan melibatkan semua kelompok dan perwakilannya, terutama kelompok rentan perubahan iklim, pemerintah tak perlu susah-susah mengklaim dokumen NDC kredibel dan sah. Bumi sudah darurat iklim. Second NDC akan lebih bagus jika menjadi dokumen yang tidak hanya sesumbar angka. Tanpa diskusi terbuka, akan susah rasanya menghasilkan dokumen Second NDC yang layak disebut sebagai komitmen nasional dan adil bagi semua.
Catatan Redaksi:
Katadata.co.id menerima tulisan opini dari akademisi, pekerja profesional, pengamat, ahli/pakar, tokoh masyarakat, dan pekerja pemerintah. Kriteria tulisan adalah maksimum 1.000 kata dan tidak sedang dikirim atau sudah tayang di media lain. Kirim tulisan ke opini@katadata.co.id disertai dengan CV ringkas dan foto diri.