Presiden Prabowo Subianto yang akan menjalankan tugasnya mulai 20 Oktober 2024 menargetkan pertumbuhan ekonomi hingga 8% per tahun selama lima tahun ke depan. Target ini terdengar ambisius, mengingat dalam 10 tahun terakhir ekonomi Indonesia hanya bisa tumbuh pada kisaran 4%-5% per tahun.
Indonesia pernah mengalami pertumbuhan ekonomi luar biasa pada dekade 1980-an dan 1990-an yang mencapai rata-rata 7%-8% per tahun. Prestasi ini membuat Indonesia dijuluki “Macan Asia” bersama dengan negara-negara Asia lainnya yang juga mengalami pertumbuhan ekonomi tinggi dan cepat seperti Korsel, Taiwan, Hong Kong, dan Singapura.
Mengapa negara-negara di dunia umumnya menargetkan agar ekonominya senantiasa tumbuh setiap tahun? Apa pentingnya pertumbuhan bagi perekonomian di setiap negara?
Pertumbuhan ekonomi merupakan salah satu indikator untuk mengukur keberhasilan ekonomi dan pembangunan suatu negara. Ini dapat diterjemahkan sebagai meningkatnya pendapatan per kapita atau per penduduk. Artinya, kesejahteraan masyarakat ikut meningkat, dengan asumsi bahwa pendapatan yang naik itu terdistribusi merata.
Pendapatan per kapita Indonesia pernah menunjukkan pertumbuhan yang signifikan. Dari US$50-70 pada 1950-an menjadi US$510 dan US$670 pada 1980-an dan 1990-an. Bahkan mencapai US$1.100 pada 1996. Ini berarti telah terjadi peningkatan 10-20 kali lipat selama kurun 50 tahun.
Keberhasilan pertumbuhan ekonomi ini tidak lepas dari beberapa faktor. Di antaranya booming minyak pada 1970-an, diversifikasi ekonomi melalui perkembangan sektor manufaktur dan ekspor non-migas, pertumbuhan investasi asing, serta pembangunan infrastruktur. Keberhasilan ini juga sejalan dengan transformasi ekonomi Indonesia dari negara agraris menuju negara industri.
Ekonomi yang tumbuh merupakan prasyarat untuk peningkatan kesejahteraan masyarakat. Namun, tidak akan berdampak bagi peningkatan kesejahteraan masyarakat apabila tidak diikuti dengan pemerataan. Hal ini dapat terlihat dari penurunan ketimpangan pendapatan, perluasan lapangan pekerjaan, serta pengurangan jumlah penduduk miskin.
Selama ini, dampak pertumbuhan ekonomi belum sepenuhnya merata. Ini terlihat dari koefisien gini, sebagai ukuran ketimpangan pendapatan, yang cenderung meningkat. Pada 1980-an, angkanya sebesar 0,34, meningkat menjadi 0,37 pada 1990-an. Bahkan menjelang berakhirnya pemerintahan Soeharto, koefisien gini naik lagi menjadi 0,38 pada 1996.
Pascakrisis ekonomi 1997-1998, angka ketimpangan pendapatan di Indonesia mulai turun. Selama 1997-2003 angka koefisien gini turun dari 0,38 ke 0,33. Namun sesudahnya, angka ini merangkak naik kembali bahkan mencapai 0,41 pada 2013-2014. Pada 2023 angka koefisien gini Indonesia adalah sebesar 0,38.
Ada fakta menarik yang bisa digarisbawahi ketika mengamati pergerakan data pertumbuhan ekonomi dan koefisien gini pasca 1970-an dan krisis ekonomi 1997-1998. Pertama, ketika ekonomi tumbuh rendah, angka ketimpangan pendapatan menurun. Sejalan dengan meningkatnya pertumbuhan ekonomi, angka ketimpangan pendapatan juga meningkat.
Kedua, selama 20 tahun terakhir pascakrisis ekonomi 1997-1998, ekonomi Indonesia tidak bisa tumbuh mencapai 7% atau lebih. Keadaan ini berbeda dengan situasi sebelum krisis ekonomi. Ketiga, ketimpangan pendapatan di Indonesia masih menjadi persoalan dan tantangan di setiap episode pergantian pemerintahan.
Masih perlukah pemerintah mengejar target pertumbuhan ekonomi 8% bila seiring meningkatnya pertumbuhan, ketimpangan juga meningkat? Sementara itu ekonomi Indonesia juga masih dihadapkan dengan persoalan struktural seperti deindustrialisasi, ICOR yang tidak efisien, menyempitnya lapangan pekerjaan formal, meningkatnya pengangguran terdidik, dan banyaknya penduduk usia muda yang tidak berkegiatan atau berada pada situasi NEET (Not in Employment, Education and Training).
Ekonomi memang perlu tumbuh, sebab tanpa pertumbuhan ekonomi tidak bisa meningkatkan kesejahteraan. Apalagi, secara natural populasi Indonesia akan terus bertambah. Populasi yang bertambah perlu penyediaan barang dan jasa baru untuk konsumsi. Barang dan jasa baru inilah yang diperoleh dari hasil pertumbuhan ekonomi, termasuk lapangan pekerjaan baru yang bisa diciptakan dari kegiatan produktif atau bertumbuhnya ekonomi.
Perlu diingat bahwa selama ini pertumbuhan ekonomi juga jangan dipandang hanya dari sisi terus bertambahnya output ataupun kenaikan pendapatan per kapita yang tinggi. Tetapi melupakan redistribusi hasilnya untuk mengurangi kesenjangan dan kemiskinan.
Kalaupun ekonomi Indonesia tetap tumbuh meskipun tidak mencapai 8%, sebagaimana ambisi Prabowo Subianto, banyak persoalan struktural ekonomi dan kompleksitasnya yang tetap harus diselesaikan pemerintah baru. Terlebih lagi bila berambisi mengakselerasi pertumbuhan ekonomi sampai dengan 8%.
Catatan Redaksi:
Katadata.co.id menerima tulisan opini dari akademisi, pekerja profesional, pengamat, ahli/pakar, tokoh masyarakat, dan pekerja pemerintah. Kriteria tulisan adalah maksimum 1.000 kata dan tidak sedang dikirim atau sudah tayang di media lain. Kirim tulisan ke opini@katadata.co.id disertai dengan CV ringkas dan foto diri.