Mekanisme Hukum AS dalam Menindak Korupsi di Negara Lain

Sampe L. Purba
Oleh Sampe L. Purba
9 April 2025, 07:20
Sampe L. Purba
Ilustrator : Bintan Insani | Katadata

Ringkasan

  • Cerpen dan puisi
  • Perbedaan utama antara kedua karya tersebut terletak pada struktur dan bentuk tulisannya, di mana puisi menggunakan bait dan mengaplikasikan sudut pandang orang pertama, sedangkan cerpen menggunakan alinea dengan sudut pandang orang ketiga.
  • Kedua karya tersebut menggambarkan kisah kompleks dalam hubungan interpersonal antara tokoh-tokohnya, menciptakan gambaran persahabatan unik, konflik emosional, serta mengangkat tema pengorbanan, keterbatasan dalam menjalani hidup bersama, dan pengakuan bahwa cinta memiliki bentuk yang beragam.
! Ringkasan ini dihasilkan dengan menggunakan AI
Button AI SummarizeMembuat ringkasan dengan AI

Amerika Serikat telah mengambil langkah besar dalam memberantas korupsi lintas negara melalui National Defense Authorization Act pada akhir 2023. Salah satu ketentuan penting adalah Prohibition of Demand for Bribe (larangan meminta suap) sebagaimana diatur dalam Section 5101. 

Aturan ini secara khusus menyasar pejabat asing—termasuk politisi, pegawai pemerintah, atau individu lain yang bertindak atas nama organisasi resmi maupun tidak resmi—yang meminta atau menerima suap. Tindakan tersebut sekarang dikategorikan sebagai pelanggaran berat (offense).

Esensi FEPA

Foreign Extortion Prevention Act (FEPA) melarang secara tegas setiap pejabat asing untuk:

  • Meminta, menerima, atau menyepakati sesuatu yang bernilai, baik langsung maupun tidak langsung, untuk keuntungan pribadi atau pihak lain. 
  • Bertindak dengan pengaruh atau keputusan resmi demi mendapatkan keuntungan atau keistimewaan tertentu.
  • Menggunakan sistem komunikasi antarnegara, seperti email atau transfer elektronik, guna melancarkan aksi mereka.

Ketentuan ini berlaku bahkan jika tindakan terjadi di luar wilayah Amerika Serikat, karena yurisdiksinya adalah extraterritorial federal jurisdiction. Dengan ini, FEPA menjadi pelengkap Foreign Corrupt Practices Act (FCPA), yang sebelumnya hanya memidanakan pemberi suap.

Hukum dan Konvensi Terkait

FEPA bergabung dengan tiga undang-undang dan konvensi penting lainnya yang menjadi landasan hukum internasional antikorupsi:

  1. Foreign Corrupt Practices Act (FCPA) 1977
    Fokus FCPA adalah melarang perusahaan dan warga negara AS menyuap pejabat asing untuk mendapatkan proyek atau keuntungan bisnis. Ketentuan ini juga berlaku untuk perusahaan asing yang terdaftar di AS.
  2. UK Bribery Act 2010
    UK Bribery Act dikenal sebagai salah satu undang-undang antikorupsi terketat di dunia. UU ini tidak hanya menghukum pemberi suap, tetapi juga penerima suap, termasuk mereka yang gagal mencegah terjadinya tindakan tersebut dalam lingkup organisasi mereka.
  3. United Nations Convention Against Corruption (UNCAC) 2003
    Konvensi ini telah diratifikasi oleh hampir seluruh anggota PBB, termasuk Indonesia. UNCAC menargetkan harmonisasi hukum antikorupsi, meski implementasinya tergantung pada masing-masing negara.

Penerapan UK Bribery Act dan FCPA telah menunjukkan kinerjanya di masa lalu. Kasus Rolls-Royce (2017) melibatkan suap besar-besaran yang dilakukan perusahaan ini melalui perantara pihak ketiga di berbagai negara seperti Indonesia, Thailand, dan Nigeria untuk memenangkan kontrak bisnis. 

Dalam penyelesaian hukum di bawah UK Bribery Act, Rolls-Royce mengakui 12 pelanggaran dan mencapai Deferred Prosecution Agreement (DPA) dengan Serious Fraud Office (SFO) Inggris. Perusahaan dikenakan denda sebesar £497,25 juta, ditambah pembayaran global total hingga £671 juta, menjadikannya salah satu penegakan hukum terbesar dalam sejarah anti-korupsi Inggris.

Kasus Petrobras (2015) merupakan skandal besar Operasi Car Wash di Brasil, di mana eksekutif senior perusahaan minyak nasional (BUMN) ini menerima suap ratusan juta dolar dari perusahaan konstruksi sebagai imbalan proyek. Penyelesaian hukum di bawah Foreign Corrupt Practices Act (FCPA) menghasilkan denda sebesar US$853,2 juta, sebagian besar dialokasikan untuk reformasi anti-korupsi di Brasil. 

Skandal ini mengguncang politik Brasil, menurunkan nilai saham Petrobras, dan menjadi katalis untuk reformasi tata kelola perusahaan secara menyeluruh. Korupsi tersebut melibatkan Perusahaan Sub Kontraktor dan Perbankan yang berbadan hukum di Amerika Serikat. 

FEPA sebagai Bagian dari Pertahanan Negara 

FEPA berada di bawah National Defense Authorization Act (NDAA), menjadikannya undang-undang dengan relevansi strategis terhadap keamanan nasional Amerika Serikat. Penempatan ini menggarisbawahi keseriusan pemerintah AS dalam menerapkan hukum ini, tidak hanya sebagai instrumen antikorupsi tetapi juga sebagai langkah pertahanan ekonomi dan geopolitik.

Prioritas tinggi dalam penegakan hukum: Sebagai bagian dari NDAA, FEPA memiliki bobot signifikan dalam struktur hukum federal. Mekanisme penegakannya yang melibatkan Departemen Kehakiman (DoJ) menunjukkan bahwa undang-undang ini diprioritaskan untuk melindungi kepentingan nasional AS, termasuk integritas pasar dan pengaruh politik-ekonomi globalnya.

Dimensi geopolitik: FEPA digunakan tidak hanya untuk menangani korupsi. Melainkan juga untuk memastikan bahwa mitra internasional, termasuk pejabat negara lain, mematuhi standar etika yang mendukung stabilitas ekonomi dan keamanan global. Ini termasuk penggunaan berbagai saluran seperti tekanan diplomatik, perjanjian bilateral dan multilateral, hingga langkah ekonomi seperti sanksi dan pembekuan aset.

Ancaman hukuman dalam FEPA: FEPA menetapkan sanksi tegas bagi pelanggar hukum, yakni:

Denda maksimal: Pejabat yang terbukti bersalah dapat dikenakan denda hingga USD 500,000 atau lebih, tergantung pada tingkat pelanggaran dan dampak yang ditimbulkan. Dalam kasus yang melibatkan perusahaan, denda ini bisa mencapai jutaan dolar.

Hukuman penjara maksimal: Pelaku dapat menghadapi hukuman penjara hingga 20 tahun. Dalam beberapa kasus, hukuman ini dapat diperpanjang jika terbukti adanya pengaruh besar terhadap kepentingan Amerika Serikat.

Selain itu, aset nasional juga bisa mengalami pembekuan dan penyitaan aset dan properti di bawah yurisdiksi AS.

Prinsip Hukum Internasional

Doktrin jure gestionis menyatakan bahwa negara tidak dapat mengklaim kekebalan (imunitas) dalam tindakan yang bersifat komersial atau bisnis (acts of commercial nature), karena dianggap dilakukan dalam kapasitas non-sovereign (bukan sebagai negara yang berdaulat). Doktrin ini membedakan tindakan jure gestionis dengan jure imperii, yang merupakan tindakan negara yang bersifat kedaulatan atau pemerintahan. Oleh sebab itu, negara dapat dituntut di pengadilan asing jika terlibat dalam aktivitas komersial.

FEPA dan Investasi Indonesia 

Indonesia memiliki beberapa program penting di berbagai kementerian, lembaga, institusi dan sektor swasta yang memiliki keterkaitan dengan lembaga internasional, baik di Amerika Serikat, Eropa, atau di berbagai belahan dunia lainnya.  

Beberapa proyek tersebut antara lain adalah seperti pengadaan mesin dan instrumen di bidang migas, kesehatan, farmasi, ketenagalistrikan, energi, pertahanan, alat utama sistem persenjataan (alutsista), atau MRO (maintenance, Repair, and Overhaul) dalam industri seperti penerbangan, otomotif dan militer. 

Selain itu, Indonesia juga saat ini sedang menggencarkan proyek investasi berbasis kemitraan global seperti Lembaga Pengelola Dana (Sovereign Wealth Fund) Indonesia (SWF INA) maupun Badan Pengelola Investasi (BPI) Danantara. 

Implikasi kerjasama internasional: Para Pejabat Negara dan Korporasi harus berhati-hati dalam transaksi bisnis, terutama yang melibatkan perusahaan yang memiliki afiliasi atau dual listings di AS. Jika terjadi tindakan korupsi yang melibatkan pejabat atau entitas terkait, aset Indonesia, termasuk yang di bawah kendali atau kepemilikan Pemerintah dapat terekspos sebagai subjek penyitaan berdasarkan FEPA. Selain itu, Pejabat dan Pegawai atau Profesionalnya dapat diadili di dan dibawah hukum Amerika Serikat. 

Penegakan tata kelola: Untuk memitigasi risiko ini, Pejabat Pemerintah dan Korporasi yang berdimensi Internasional harus mengadopsi prinsip tata kelola yang kuat, termasuk Good Corporate Governance (GCG), business judgment rules, dan Governance, Risk, and Compliance (GRC). Pendekatan transparan dan akuntabel menjadi krusial untuk mencegah keterlibatan dalam pelanggaran hukum internasional.

Penutup

Kehadiran FEPA adalah pengingat bahwa standar internasional antikorupsi harus diikuti dengan disiplin. Program-program investasi Indonesia, khususnya di sektor energi, MRO, dan lainnya, perlu menerapkan tata kelola yang baik untuk memastikan keberlanjutan dan reputasi di panggung global. Prinsip-prinsip seperti GCG dan GRC adalah langkah penting dalam membangun transparansi dan mitigasi risiko.

Shakespeare pernah mengingatkan, “All the world is a stage, and all the men and women merely players.” [Dunia adalah panggung sandiwara, dan manusia adalah pemerannya]. Para pejabat dan pemimpin yang diamanahi harus memainkan peran dan melaksanakan baktinya dengan penuh integritas. Dukungan terhadap visi Presiden Prabowo Subianto untuk memperkuat investasi internasional menjadi langkah penting menuju Indonesia Emas 2045.

Baca artikel ini lewat aplikasi mobile.

Dapatkan pengalaman membaca lebih nyaman dan nikmati fitur menarik lainnya lewat aplikasi mobile Katadata.

mobile apps preview
Sampe L. Purba
Sampe L. Purba
Praktisi Energi Global. Managing Partner SP-Consultant

Catatan Redaksi:
Katadata.co.id menerima tulisan opini dari akademisi, pekerja profesional, pengamat, ahli/pakar, tokoh masyarakat, dan pekerja pemerintah. Kriteria tulisan adalah maksimum 1.000 kata dan tidak sedang dikirim atau sudah tayang di media lain. Kirim tulisan ke opini@katadata.co.id disertai dengan CV ringkas dan foto diri.

Cek juga data ini

Berita Katadata.co.id di WhatsApp Anda

Dapatkan akses cepat ke berita terkini dan data berharga dari WhatsApp Channel Katadata.co.id

Ikuti kami

Artikel Terkait

Video Pilihan
Loading...