Program Makan Bergizi Gratis (MBG) yang digagas Badan Gizi Nasional (BGN) seharusnya menjadi solusi strategis untuk meningkatkan gizi anak sekolah, ibu hamil, ibu menyusui, dan balita di daerah rawan stunting. Nyatanya, program ini justru menuai kritik karena kenyataan di lapangan jauh dari tujuan awal. Makanan sering tidak layak konsumsi, pengawasan lemah, dan anggaran ratusan triliun rupiah tampak sia-sia.
Meskipun disediakan makanan bergizi dengan protein, vitamin, dan mineral, distribusi dan pengawasan MBG terbukti gagal. Intervensi gizi tidak cukup hanya membagikan makanan; kualitas, keamanan, dan edukasi gizi anak harus dijamin. Publik pun mempertanyakan apakah program ini benar-benar mendukung pertumbuhan anak atau sekadar proyek konsumtif yang menguras anggaran negara.
Cakupan MBG diperluas dari anak sekolah ke ibu hamil, ibu menyusui, dan balita, namun koordinasi buruk dan minim pelatihan tenaga lapangan membuat makanan sering tiba basi atau tidak layak konsumsi. Akibatnya, tujuan utama program mencegah stunting dan meningkatkan kualitas generasi justru tertunda, bahkan menimbulkan risiko kesehatan serius bagi anak-anak di berbagai daerah.
Lebih miris, sebagian besar anggaran ratusan triliun rupiah digunakan untuk belanja barang, bukan pembangunan kapasitas guru dan tenaga gizi. Kritik kian deras ketika banyak purnawirawan TNI menempati posisi strategis di BGN, sementara fasilitator menjalani pelatihan semi-militer dan sarjana muda menganggur. Alhasil, program yang seharusnya menyehatkan anak-anak kini menjadi sorotan karena dianggap boros, salah prioritas, dan berisiko bagi kesehatan publik.
Anggaran Membengkak
Dalam APBN 2026, MBG menyedot dana hingga Rp335 triliun, dengan pagu resmi Rp268 triliun. Dari pagu awal Rp217 triliun, BGN mendapat tambahan Rp 50 triliun, sementara Rp67 triliun dialokasikan sebagai dana cadangan. Porsi terbesar, Rp223 triliun atau 83,4%, masuk ke sektor pendidikan, sisanya ke sektor kesehatan Rp24,7 triliun dan sektor ekonomi Rp19,7 triliun.
Yang mengkhawatirkan, 97,7% anggaran digunakan untuk belanja barang, terutama pengadaan makanan instan. Belanja pegawai hanya 1,4% dan belanja modal 0,9%. Dominasi belanja barang menunjukkan fokus program lebih pada pemberian makanan siap saji ketimbang pembangunan kapasitas tenaga gizi, guru, atau infrastruktur pendukung. Akibatnya, efisiensi anggaran publik terganggu dan manfaat jangka panjang program diragukan.
Dari Rp268 triliun, Rp34 triliun diarahkan untuk anak sekolah, Rp3,1 triliun untuk ibu hamil dan balita, Rp3,8 triliun untuk belanja pegawai, dan Rp3,1 triliun untuk digitalisasi sistem pengawasan. Dana sebesar Rp700 miliar hanya digunakan untuk pemantauan, sementara pelatihan tenaga gizi mendapat Rp3,8 triliun. Dengan skema seperti ini, pembangunan kapasitas guru dan tenaga gizi terpinggirkan, sehingga manfaat MBG dalam meningkatkan literasi gizi dan pendidikan anak menjadi sangat terbatas.
Kasus Keracunan Massal
Publik mulai mempertanyakan efektivitas program MBG menyusul serangkaian kasus keracunan massal di berbagai daerah. Berdasarkan laporan Kompas tanggal 26 September 2025, sejak Januari hingga 19 September 2025, sebanyak 5.626 siswa mengalami keracunan akibat makanan dari program ini. Kasus terjadi di sejumlah provinsi di Indonesia, termasuk Kupang, Nusa Tenggara Timur; Banggai Kepulauan, Sulawesi Tengah; Sumbawa, Nusa Tenggara Barat; Lebong, Bengkulu; Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta; Sragen, Jawa Tengah; dan Bogor, Jawa Barat. Fenomena ini menimbulkan kekhawatiran publik yang luas karena menunjukkan bahwa masalah keamanan pangan dan distribusi tidak hanya terjadi di satu wilayah, melainkan tersebar di berbagai provinsi, menimbulkan risiko kesehatan yang signifikan bagi anak-anak.
Penyebab utama keracunan ini adalah makanan basi akibat keterlambatan distribusi dan penyimpanan yang tidak sesuai standar keamanan pangan. Kondisi ini diperparah oleh minimnya pelatihan bagi tenaga lapangan, sehingga banyak yang tidak memahami standar sanitasi dan prosedur penyimpanan yang aman. Di beberapa daerah, makanan yang sudah rusak tetap dibagikan karena tidak ada mekanisme pengawasan ketat, ditambah lemahnya koordinasi antara penyedia makanan, sekolah, dan pemerintah daerah. Akibatnya, kepercayaan publik terhadap MBG menurun drastis, dan banyak orang tua mulai melarang anak-anak mereka mengonsumsi makanan dari program ini karena khawatir akan risiko kesehatan.
Efek pada Pendidikan
Pendidikan berkualitas adalah fondasi Indonesia Emas 2045, namun MBG justru mengalihkan fokus dari pembangunan mutu pendidikan ke distribusi makanan instan. Dari total anggaran Rp268 triliun, hanya 2,9% digunakan untuk belanja operasional, termasuk pelatihan guru dan tenaga gizi. Survei internal BGN 2024 menunjukkan 60% guru SD merasa tidak memiliki keterampilan memadai untuk mengintegrasikan edukasi gizi ke dalam pembelajaran.
Pertanyaan kritis muncul: mengapa dana sebesar ini tidak dialokasikan untuk sekolah gratis bagi anak bangsa di tengah persoalan pendidikan serius? Data BPS 2023/2024 mencatat angka putus sekolah SD 0,19%, SMP 0,18%, SMA/SMK 0,19%, sementara sekitar 3,9 juta anak masih tidak bersekolah. Sekolah kedinasan mendapat pembiayaan penuh, sedangkan jutaan anak miskin kesulitan mengakses pendidikan. Jika anggaran MBG dialihkan, dana ini cukup untuk membiayai sekolah gratis atau menyediakan beasiswa masif, sehingga alokasi MBG dinilai kurang tepat sasaran.
Peran Ganda Fasilitator
Kontroversi lain muncul karena dominasi purnawirawan TNI di BGN dan keterlibatan militer dalam operasional MBG. Fasilitator/SPPI direkrut untuk mendukung distribusi makanan, namun diwajibkan mengikuti pelatihan semi-militer sebagai bagian Komcad. Kritik publik menilai orientasi pelatihan tidak sejalan dengan tujuan program gizi; alih-alih semi-militer, fasilitator seharusnya dibekali keterampilan praktis seperti penyusunan menu sehat, pengolahan makanan bergizi, keamanan pangan, dan pemantauan status gizi anak.
Kapuspen TNI Mayjen Hariyanto menegaskan dukungan TNI melalui distribusi logistik, penyediaan lahan, serta monitoring dan evaluasi dengan melibatkan Kodim, Lantamal, Lanud, dan sekitar 2.000 SPPI. Namun kritik muncul karena TNI sejatinya memiliki tugas pokok di bidang pertahanan, sementara sarjana dan anak muda menganggur. Data BPS Februari 2025 menunjukkan pengangguran nasional 7,28 juta orang, hampir setengahnya usia 15–24 tahun. Kondisi ini menimbulkan pertanyaan mengapa program menekankan pelatihan semi-militer bagi fasilitator, padahal banyak sarjana bisa diberdayakan untuk memperkuat kapasitas gizi dan kesehatan masyarakat, terutama setelah kasus keracunan massal mengindikasikan lemahnya pengawasan MBG.
Solusi Menyeluruh
Agar MBG benar-benar bermanfaat, diperlukan reformasi tata kelola, pengawasan, dan implementasi. Pertama, pemerintah harus mengalihkan sebagian anggaran dari belanja barang ke belanja modal dan pembangunan kapasitas, termasuk pelatihan tenaga gizi, guru, dan infrastruktur sekolah (15%-20% dari total anggaran).
Kedua, standar keamanan pangan harus diperketat. Sistem rantai dingin perlu diterapkan agar makanan tetap segar, semua penyedia wajib sertifikasi keamanan pangan, dan sanksi tegas diberikan bagi pelanggar. Pengawasan harus independen, melibatkan BGN, BPOM, dan Lembaga Perlindungan Konsumen.
Ketiga, distribusi makanan harus dipangkas dari rantai birokrasi panjang. Digital tracking dapat memantau pengiriman secara real-time dari produksi ke sekolah, meminimalkan risiko makanan basi.
Keempat, peran fasilitator perlu diperjelas. Mereka fokus pada pendidikan dan pengawasan gizi, bukan pelatihan semi-militer. Tenaga profesional dengan latar belakang gizi, kesehatan masyarakat, atau pendidikan anak sebaiknya direkrut. Pelatihan semi-militer tetap dapat dilakukan oleh unit TNI khusus tanpa mengganggu peran fasilitator.
Kelima, indikator kinerja transparan harus ditetapkan. Keberhasilan MBG tidak hanya diukur dari jumlah makanan yang dibagikan, tetapi juga penurunan stunting, peningkatan literasi gizi, dan perbaikan kesehatan anak. Laporan kinerja wajib dipublikasikan agar masyarakat dapat memantau dan memberi masukan.
Keenam, partisipasi masyarakat dan sektor swasta perlu ditingkatkan. Koperasi lokal, UMKM pangan, dan komunitas petani dapat dilibatkan sebagai penyedia bahan baku, sehingga MBG tidak hanya meningkatkan gizi tapi juga memperkuat ekonomi lokal.
Dengan langkah-langkah tersebut, MBG dapat berubah dari sekadar proyek pembagian makanan menjadi instrumen strategis pembangunan manusia. Jika tata kelola diperbaiki, anggaran besar tidak akan sia-sia, dan tujuan jangka panjang Indonesia untuk membangun generasi sehat, cerdas, dan produktif bisa tercapai.
Catatan Redaksi:
Katadata.co.id menerima tulisan opini dari akademisi, pekerja profesional, pengamat, ahli/pakar, tokoh masyarakat, dan pekerja pemerintah. Kriteria tulisan adalah maksimum 1.000 kata dan tidak sedang dikirim atau sudah tayang di media lain. Kirim tulisan ke opini@katadata.co.id disertai dengan CV ringkas dan foto diri.