Menimbang Arah Lanjutan BI Rate: Antara Gas, Rem, dan Kredibilitas

Katadata/ Bintan Insani
Penulis: Fikri C. Permana
6/10/2025, 07.05 WIB

Menebak arah dan laju BI Rate memang selalu seru. Buat ekonom, bankir, analis, sampai investor, ini semacam hobi tersendiri. Bahkan pelaku usaha di sektor riil pun ikut menebak-nebak. Kenapa? Karena keputusan Bank Indonesia tentang suku bunga acuan ibarat mercusuar di tengah samudera. Sinyalnya bisa membuat pasar obligasi menyesuaikan imbal hasilnya, pasar saham merevisi ekspektasi pendanaan dan laba emiten, perbankan menghitung ulang biaya dana dan bunga kredit, sampai pasar valas menakar aliran modal asing yang keluar-masuk Indonesia. Pada akhirnya, semuanya bermuara pada rupiah dan stabilitas perekonomian di Indonesia.

Tapi tentu, BI tak bisa asal tekan tombol. Menetapkan BI Rate berarti menimbang banyak variabel, dari arah kebijakan The Fed, harga komoditas dunia, sampai gejolak geopolitik. Semua itu berinteraksi dengan kondisi domestik: inflasi, nilai tukar, neraca perdagangan, pasar tenaga kerja, pertumbuhan ekonomi, dan bahkan psikologi konsumen. Di sinilah letak asyiknya. Setiap pelaku ekonomi membaca data dengan “kacamata” berbeda, sementara ekonomi itu sendiri selalu bergerak dengan caranya, seakligus diwarnai dengan berbagai ketidakpastian.

Rupiah Masih Tertekan

Mari kita mulai dengan kabar segar. Pada Agustus 2025, Indonesia mencetak surplus perdagangan US$5,49 miliar—terbesar sejak Oktober 2022. Ini memperpanjang catatan surplus hingga 64 bulan berturut-turut. Secara akumulasi, hingga Agustus, surplus kita sudah US$30,7 miliar.

Sekilas, ini kabar baik. Sayangnya, cadangan devisa justru menyusut US$5,0 miliar dari awal tahun. Ditambah lagi, investor asing mencatat net sell di pasar saham sebesar Rp4,1 triliun dan di pasar obligasi pemerintah sebesar Rp40,7 triliun hanya di bulan September lalu. Hasilnya? Rupiah tetap tertekan. Selama September 2025, rupiah melemah 1,4%, dari Rp16.461 menjadi Rp16.692 per dolar AS. Meski indeks dolar AS nyaris tak bergerak atau stabil di level 97,77 pada awal September, dan ditutup di 97,78 di akhir September 2025 ini.

Di sisi lain, ada detail dari data surplus perdagangan di Agustus yang juga menyisakan cerita lain. Ekspor naik 5,78% year-on-year (YoY), tapi impor turun 6,56% YoY. Yang menarik, penurunan terbesar terjadi pada impor bahan baku dan penolong (raw/auxiliary materials) yang turun 9,06% YoY. Padahal barang-barang inilah yang dipakai industri untuk memproduksi barang jadi di dalam negeri. Kalau impor bahan baku melemah, artinya ada sinyal aktivitas produksi yang juga kurang bergairah.

Inflasi: Masih Aman, Tapi Waspada

Inflasi konsumen di September 2025 naik menjadi 2,65% YoY—tertinggi tahun ini, tapi masih dalam target BI (1,5%-3,5%). Sekilas ini memberi ruang bagi BI untuk menurunkan bunga lagi. Namun sekali lagi, detailnya patut dicermati. Inflasi inti terdorong harga emas dan biaya pendidikan, begitupun beberapa harga barang di pasar tradisional juga mengalami lonjakan. Secara rata-rata, di pasar tradisional Indonesia sepanjang September 2025, ada cabai merah yang melonjak 18,15% MoM, serta harga daging ayam broiler yang naik 7,06%. Secara bobot, mungkin kecil di keranjang inflasi, tapi dampak psikologisnya besar. Masyarakat langsung merasa hidup makin mahal. 

Belum lagi, Oktober 2025 membawa dua faktor baru: kenaikan gaji PNS 8-12% dan dampak injeksi SILPA Rp200 triliun ke bank-bank pemerintah (Himbara) bisa saja mulai semakin memperlihatkan dampaknya. Dua-duanya menambah likuiditas, daya beli, dan tentu saja risiko inflasi. Kalau inflasi naik di Oktober, BI bisa kehilangan kredibilitas bila terlalu cepat menurunkan bunga.

Kredibilitas, Konsistensi Waktu, dan Godaan Jangka Pendek

BI tahun ini sudah memangkas bunga lima kali, masing-masing 25 bps. Itu sinyal jelas stance pro-growth. Tapi di sinilah teori kredibilitas mulai diuji. Menurut teori ini, kebijakan moneter hanya efektif bila pasar percaya bank sentral konsisten. Kalau BI terburu-buru, pasar bisa ragu, dan itu melemahkan efektivitas kebijakan.

Lalu ada teori “time consistency” dari Kydland dan Prescott. Bank sentral sering tergoda melonggarkan kebijakan demi pertumbuhan jangka pendek. Tapi kebijakan itu bisa berbalik jadi inflasi tinggi dalam jangka panjang. Artinya, ruang pelonggaran mungkin ada, tapi kredibilitas jangka panjang harus tetap dijaga.

Chatib Basri pernah bilang, bank sentral bukan superhero. Ia tak bisa sendirian menyelamatkan ekonomi. Ada batasnya, ada trade-off. Suku bunga rendah bisa mendorong ekonomi, tapi kalau ekspektasi inflasi lepas, bunga rendah justru jadi bumerang.

Stance Baru BI dan UU P2SK

Posisi BI makin kompleks dengan hadirnya UU P2SK yang merevisi mandat mereka. Dulu fokus utama hanya stabilitas moneter. Kini, BI juga harus menjaga stabilitas sistem keuangan, mendukung pertumbuhan berkelanjutan, bahkan ikut menciptakan lapangan kerja.

Dengan mandat baru ini, BI tak bisa hanya memikirkan rupiah dan inflasi. Mereka harus memikirkan UMKM, pasar modal, sektor riil, hingga kredit perbankan. Singkatnya, tugas BI kini jauh lebih kompleks.

Melihat ke Depan: Gas atau Rem?

Bagaimana dengan faktor eksternal? Merujuk pada Fed monitoring tools dari berbagai institusi, saat ini lebih dari 90% investor memperkirakan The Fed akan menurunkan Fed Funds Rate 25 bps di Oktober dan lebih dari 60% lainnya juga kembali berharap The Fed menurunkan Fed Rate di Desember mendatang. Jika itu terjadi, tekanan Rupiah bisa mereda. Itu memberi ruang tambahan bagi BI untuk juga menurunkan Bi Rate. Tapi risiko global masih menumpuk: government shutdown di AS, harga emas naik, geopolitik panas, hingga capital outflow perlu diperhatikan.

Jadi, apakah BI harus menurunkan bunga lagi? Jawabannya: mungkin iya, tapi hati-hati. Ruang ada, tapi waktu dan komunikasinya krusial. Bayangkan BI sebagai sopir bus di jalan menurun. Kalau terlalu cepat injak gas, bus bisa melaju kencang tapi risiko rem blong (inflasi). Kalau terlalu hati-hati, penumpang bosan karena laju ekonomi lambat. Kuncinya ada di keseimbangan.

Mengutip pernyataan Chatib Basri, kebijakan ekonomi itu seperti menulis puisi. Tak cukup logika, harus ada rasa. Dan dalam puisi kebijakan moneter, BI dituntut menjaga harmoni antara pertumbuhan dan stabilitas. Hal yang relevan mengingat perekonomian juga memasukkan unsur ekspektasi, psikologi, kredibilitas, serta komunikasi dalam kerangka menjaga stabilitas.

Baca artikel ini lewat aplikasi mobile.

Dapatkan pengalaman membaca lebih nyaman dan nikmati fitur menarik lainnya lewat aplikasi mobile Katadata.

Fikri C. Permana
Senior Economist PT KB Valbury Sekuritas

Catatan Redaksi:
Katadata.co.id menerima tulisan opini dari akademisi, pekerja profesional, pengamat, ahli/pakar, tokoh masyarakat, dan pekerja pemerintah. Kriteria tulisan adalah maksimum 1.000 kata dan tidak sedang dikirim atau sudah tayang di media lain. Kirim tulisan ke opini@katadata.co.id disertai dengan CV ringkas dan foto diri.