Mengelola Langit Indonesia dengan Seimbang

Katadata/ Bintan Insani
Penulis: Rizky Triputra
10/10/2025, 06.05 WIB

Opini “Dilema Pengelolaan Ruang Udara” di Bisnis Indonesia (18/9/2025) menekankan pentingnya pertahanan. Tulisan ini menanggapi pandangan tersebut. Kedaulatan memang harga mati, namun ruang udara tidak semestinya diperlakukan semata sebagai ranah militer. Ruang udara juga merupakan infrastruktur publik yang menopang keselamatan penerbangan sekaligus menggerakkan roda ekonomi.

Kerangka hukum kita sudah menegaskan hal tersebut. UU Nomor 1 Tahun 2009 menyebut ruang udara berada di bawah kedaulatan negara sekaligus dimanfaatkan untuk kelancaran transportasi. PP Nomor 4 Tahun 2018 memberi dasar hukum bagi kawasan terbatas atau terlarang, tetapi tetap mensyaratkan koordinasi sipil–militer. Dengan kata lain, sejak awal regulasi Indonesia memang dirancang untuk menjaga keseimbangan.

Sayangnya, realitas di lapangan sering berbeda. Jalur sipil kerap dipersempit, pesawat terpaksa berputar, dan biaya operasional pun meningkat. CEO AirAsia pernah mengatakan, harga avtur di Indonesia 28% lebih tinggi dibanding negara tetangga. Struktur pasar avtur yang belum cukup kompetitif turut membuat harga sulit turun, sehingga biaya bahan bakar yang bisa mencapai 35% dari total biaya tiket maskapai menjadi salah satu faktor mahalnya tiket. Lalu harga fuel costs di Bandara Kualanamu pernah disebut termasuk yang tertinggi di Indonesia.

Dampaknya bukan hanya pada tiket. Dalam industri asuransi aviasi, rute yang lebih panjang berarti risiko semakin besar. Meningkatkan keausan komponen mesin, peluang keterlambatan meningkat, klaim lebih mungkin terjadi, dan premi pun ikut naik. Kebijakan ruang udara yang belum cukup adaptif akhirnya menambah beban bagi maskapai, penumpang, dan industri pendukung.

Padahal, sektor transportasi dan pergudangan menyumbang sekitar 6,24% dari Produk Domestik Bruto pada kuartal II-2024. Di lain sisi, sektor pariwisata menunjukkan tren positif pascapandemi dan terus diarahkan menjadi salah satu motor pertumbuhan ekonomi.

Praktik Internasional

Prinsip Flexible Use of Airspace (FUA) yang telah dikembangkan International Civil Aviation Organization (ICAO) dan diadopsi luas di Eropa menegaskan bahwa “airspace should no longer be designated as purely military or civil, but rather considered as a continuum in which all users’ requirements have to be accommodated” (ICAO Circular 330-AN/189, Civil/Military Cooperation in Air Traffic Management). Konsep ini dijalankan melalui mekanisme koordinasi harian sipil–militer, di mana ruang udara militer hanya digunakan sementara sesuai misi, lalu segera dibuka kembali bagi penerbangan sipil ketika tidak aktif. Mekanisme ini tidak mengurangi kesiapsiagaan pertahanan, karena prioritas tetap diberikan pada misi militer aktif, justru FUA memastikan jalur sipil dapat dikelola lebih prediktif dan efisien tanpa mengganggu fungsi pertahanan.

Implementasi FUA terbukti memberikan dampak signifikan. Studi Eurocontrol Performance Review Report menunjukkan penerapan FUA menghemat jutaan nautical miles penerbangan secara akumulatif setiap tahun, mengurangi konsumsi bahan bakar, serta menurunkan emisi karbon. Inggris, misalnya, melalui dokumen Airspace Modernisation Strategy (AMS) yang diterbitkan UK Civil Aviation Authority (CAA), membagi kawasan militer (Danger Areas) ke dalam beberapa segmen. Hanya segmen yang benar-benar diperlukan yang ditutup, sementara sisanya tetap terbuka untuk penerbangan sipil, khususnya di atas FL245 (Flight Level 245, setara dengan ketinggian jelajah sekitar 24.500 kaki). Hasilnya, rute lebih efisien, bahan bakar hemat, emisi berkurang, dan keterlambatan menurun.

Momentum Indonesia

Indonesia punya peluang besar. Setelah alih kelola Flight Information Region (FIR) Jakarta dari Singapura pada 21 Maret 2024, termasuk Sektor ABC yakni sekitar 249 ribu km&³2; di atas Kepulauan Riau dan Natuna, kini AirNav Indonesia mengendalikan lebih banyak ruang udara sendiri. Ini kesempatan langka untuk menerapkan FUA sebagai standar.

Sayangnya, publikasi kawasan terbatas melalui AIP (Aeronautical Information Publication, semacam buletin informasi penerbangan) atau NOTAM (Notice to Airmen, pemberitahuan singkat untuk pilot dan operator penerbangan tentang kondisi atau pembatasan tertentu di ruang udara) masih sering bersifat teknis, sulit diakses masyarakat, dan tanpa batas waktu yang jelas. Kawasan yang seharusnya bersifat sementara justru terasa relatif permanen bagi pengguna sipil. Faktanya transparansi penting agar maskapai dapat merencanakan operasi secara efisien, sementara publik perlu memahami alasan pembatasan.

Rekomendasi

Untuk mewujudkan ruang udara yang lebih adaptif dan efisien, ada beberapa langkah yang bisa ditempuh. Pertama, membentuk Airspace Management Cell permanen yang melibatkan Kemenhub, TNI AU, dan AirNav. Kedua, menetapkan mekanisme koordinasi harian dengan data real-time. Ketiga, memperbaiki publikasi kawasan terbatas dengan standar waktu yang jelas dan format yang lebih ramah pengguna. Terakhir, mengintegrasikan sistem digital sipil–militer untuk pertukaran data cepat dan transparan.

Ruang udara harus diperlakukan sebagai sumber daya nasional yang mendukung pertumbuhan. Dengan penerapan tata kelola yang fleksibel, Indonesia tidak hanya menjaga keamanan, tetapi juga menurunkan biaya operasional penerbangan, meningkatkan konektivitas, dan memperkuat daya saing ekonomi.

Baca artikel ini lewat aplikasi mobile.

Dapatkan pengalaman membaca lebih nyaman dan nikmati fitur menarik lainnya lewat aplikasi mobile Katadata.

Rizky Triputra
Anggota Komunitas Penulis Asuransi indonesia (KUPASI)

Catatan Redaksi:
Katadata.co.id menerima tulisan opini dari akademisi, pekerja profesional, pengamat, ahli/pakar, tokoh masyarakat, dan pekerja pemerintah. Kriteria tulisan adalah maksimum 1.000 kata dan tidak sedang dikirim atau sudah tayang di media lain. Kirim tulisan ke opini@katadata.co.id disertai dengan CV ringkas dan foto diri.