BRICS dan Peluang Munculnya Tatanan Dunia Baru

Katadata/ Bintan Insani
Penulis: Mohammad Yoga Pratama
15/10/2025, 06.05 WIB

Rio de Janeiro mungkin dikenal karena samba dan pantainya yang hangat. Tetapi di awal Juli 2025 yang lalu, di tengah cuaca musim dingin yang bersahabat, kota ini mencatat sejarah penting dalam percaturan geopolitik dunia. KTT BRICS ke-17 yang digelar di kota tersebut bukan hanya menjadi ajang diplomasi tahunan, namun menjadi titik balik arah perjalanan forum ini. Mengusung tema “Strengthening Global South Cooperation for a More Inclusive and Sustainable Governance”, KTT ini menghasilkan Deklarasi Rio de Janeiro yang ambisius dan strategis, yang pada gilirannya menjadi peta jalan politik dan ekonomi baru bagi BRICS dalam membentuk tatanan dunia yang lebih setara dan inklusif, bertujuan memperkuat kerja sama negara-negara berkembang dalam menghadapi dominasi sistem global yang mapan.

Di pertemuan ini, para pemimpin negara anggota BRICS menegaskan komitmen mereka untuk berperan lebih aktif sebagai kekuatan global. Mereka tidak hanya ingin terlibat dalam perdebatan internasional, namun juga berhasrat memengaruhi arah kebijakan dunia. Dengan bergabungnya anggota baru di 2024 dan 2025 seperti Arab Saudi, Iran, Uni Emirat Arab, Mesir, Ethiopia, dan Indonesia, serta masuknya beberapa negara mitra seperti Belarus, Bolivia, Kazakhstan, Kuba, Malaysia, Nigeria, Thailand, Uganda, Uzbekistan, dan Vietnam, BRICS kini tampil sebagai koalisi yang lebih luas dan representatif dari Global Selatan. 

Deklarasi Rio secara tegas menyerukan reformasi menyeluruh terhadap sistem multilateral mulai dari (1) reformasi Dewan Keamanan PBB agar mencerminkan realitas geopolitik kontemporer; (2) reformasi kuota dan kepemimpinan IMF dan Bank Dunia yang dinilai terlalu lama mencerminkan arsitektur pasca-Perang Dunia II dan tidak relevan dengan proporsi ekonomi negara berkembang saat ini; hingga (3) perlawanan terhadap unilateralisme dan penolakan atas dominasi sepihak dalam kebijakan ekonomi global, termasuk sanksi sepihak, proteksionisme lingkungan, dan diskriminasi digital.

Salah satu sorotan utama deklarasi adalah desakan reformasi terhadap lembaga Bretton Woods (IMF dan Bank Dunia) agar lebih inklusif, representatif, dan kredibel. Proses seleksi pimpinan harus berbasis merit, inklusif, dan mencerminkan keberagaman regional serta partisipasi perempuan di tingkat manajerial. Di sisi lain, struktur tata kelola lembaga Bretton Woods harus mencerminkan perubahan ekonomi global dan meningkatnya peran negara berkembang. Negara-negara berkembang, yang saat ini justru menjadi lokomotif pertumbuhan dunia, merasa tetap dipinggirkan dalam proses pengambilan keputusan strategis. Kritik BRICS terhadap sistem global yang timpang ini bukan hanya retoris, tetapi juga disertai dengan langkah-langkah konkret.

Koalisi ini mulai membangun inisiatif tandingan mulai dari digital (BRICS Global Governance of Artificial Intelligence), kesehatan (BRICS Health Cooperation Platform), energi (BRICS Energy Research Platform), keuangan (BRICS Payment System & Contingent Reserve Arrangement/CRA), pangan (BRICS Grain Exchange), hingga diplomasi Multilateral dalam bentuk blok penyeimbang Global South, yang menunjukkan bahwa forum ini ingin naik kelas dan bertransformasi, tidak hanya sebagai penonton dan forum dialog ekonomi semata, namun menjadi perancang arsitektur global baru. Dalam jangka panjang, langkah-langkah ini diharapkan dapat memperkuat ketahanan ekonomi negara-negara berkembang dan memperluas ruang kebijakan fiskal nasional yang lebih mandiri. Jika berhasil diimplementasikan secara konsisten, upaya ini bahkan bisa menciptakan jalur integrasi ekonomi baru di luar jalur tradisional G7 dan OECD, yang lebih sesuai dengan kepentingan Global Selatan.

Gangguan terhadap Hegemoni Barat

Namun sebagaimana lazimnya, langkah-langkah baru tidak selalu berjalan mulus. Inisiatif yang dilakukan BRICS telah mengundang kekhawatiran dan menimbulkan kegelisahan di kalangan kekuatan mapan. Amerika Serikat misalnya, sebagai arsitek utama sistem Bretton Woods, tak lagi dapat mengabaikan implikasi geopolitik dan geoekonomi dari semakin kuatnya BRICS. 

Di satu sisi, sistem pembiayaan dan perdagangan global berbasis dolar AS kini mulai terancam oleh upaya de-dollarization. Di sisi lain, legitimasi moral dan normatif Barat dalam mendikte aturan main global mulai tergerus. Dari sudut pandang AS, BRICS kini bukan lagi sekadar forum marjinal, tetapi mulai berperan sebagai “pesaing sistemik” terhadap kepemimpinan global AS. Gangguan yang dirasakan AS dari keberadaan BRICS setidaknya terletak pada tiga dimensi utama: moneter dan finansial, legitimasi global, dan aliansi geopolitik alternatif.

Dari sisi moneter dan finansial, upaya BRICS untuk menciptakan sistem pembayaran lintas batas sendiri, mendorong pembiayaan dalam mata uang lokal, dan memperkuat New Development Bank berpotensi mengurangi dominasi dolar AS sebagai mata uang cadangan global (de-dollarization). Ini mengancam instrumen geopolitik utama AS, yaitu sanksi keuangan berbasis SWIFT dan sistem pembayaran dolar. 

Terkait legitimasi global, dengan BRICS menyerukan tata kelola global yang lebih adil dan demokratis, narasi normatif yang selama ini dikendalikan oleh Barat (demokrasi liberal, HAM, dan “rules-based order”) mulai terusik oleh narasi alternatif berbasis kesetaraan, kedaulatan, pembangunan berkelanjutan, dan solidaritas Global Selatan. Sementara untuk aliansi geopolitik alternatif, kehadiran negara-negara kunci Global Selatan seperti Indonesia, Brazil, dan India - yang memiliki hubungan strategis dengan Barat, namun kini memperkuat afiliasi dengan BRICS - berpotensi mengaburkan batas antara blok “Barat” dan “Non-Barat”. Dalam pandangan banyak pengamat, hal ini berpotensi memperlemah koalisi geopolitik AS di fora seperti G7 dan G20.

BRICS sebagai Blok Keseimbangan

Di tengah dinamika ini, BRICS sendiri sebenarnya belum bebas dari masalah. Mereka dihadapkan pada tantangan internal yang perlu dikompromikan segera. Keragaman kepentingan, latar belakang politik, dan tingkat pembangunan ekonomi antar-anggota bisa menjadi hambatan yang mengganggu kemajuan koalisi. Untuk itu, diperlukan tata kelola internal yang lebih solid dan mekanisme koordinasi yang mampu menjembatani perbedaan. Konsistensi dalam pelaksanaan agenda dan kohesi politik akan sangat menentukan apakah BRICS dapat bertahan sebagai kekuatan kolektif atau justru terfragmentasi oleh kepentingan domestik masing-masing negara. BRICS perlu menjaga keseimbangan antara fleksibilitas dan struktur yang kuat, agar tidak terjebak dalam disfungsi yang justru melemahkan daya saingnya.

Lantas, mampukah BRICS menjadi kekuatan penyeimbang yang efektif? Jawabannya bergantung pada kemampuan forum ini untuk membangun tata kelola yang kredibel, menghindari polarisasi baru, dan mendorong kerja sama yang benar-benar inklusif. Jika gagal, BRICS bisa terjebak sebagai klub politik tanpa arah yang jelas. Tapi jika berhasil, BRICS berpotensi menjadi episentrum baru dalam tatanan dunia multipolar.

Peran Indonesia, dari Pinggiran menuju Poros

Bergabungnya Indonesia ke dalam BRICS membuka peluang besar. Sebagai negara dengan tradisi diplomasi nonblok, peran aktif di ASEAN dan G20, serta pengalaman dalam berbagai forum multilateral, Indonesia bisa menjadi jembatan antara Global Selatan dan dunia maju. Keikutsertaan Indonesia memberi kesempatan untuk mendorong reformasi IMF dan Bank Dunia dari dalam, sekaligus memanfaatkan pembiayaan dari NDB bagi proyek-proyek nasional strategis tanpa mengorbankan kemandirian fiskal. Selain itu, Indonesia dapat memperkuat peran UMKM dan ekonomi hijau sebagai bagian dari agenda pembangunan BRICS ke depan. Indonesia juga dapat memainkan peran penting dalam mendorong agenda konektivitas antarnegara anggota, khususnya di bidang infrastruktur, perdagangan, dan transformasi digital.

Namun lebih dari itu, Indonesia dapat memainkan peran sebagai penjaga keseimbangan. Dalam dunia yang makin terfragmentasi, suara yang menjembatani – bukan memperlebar jurang – semakin dibutuhkan. Indonesia bisa memastikan agar BRICS tidak berubah menjadi forum tandingan yang konfrontatif, tetapi tetap menjadi platform kolaboratif yang mendorong reformasi sistem internasional secara damai dan terukur. Indonesia juga bisa mendorong agar agenda BRICS tidak hanya fokus pada isu makroekonomi, tetapi juga mencakup dimensi sosial seperti ketimpangan, pendidikan, dan kesehatan. Pengalaman Indonesia dalam mengelola pembangunan inklusif dan penanggulangan kemiskinan bisa menjadi kontribusi konkret dalam arah kebijakan BRICS ke depan.

Dunia saat ini sedang menyaksikan perubahan besar dalam lanskap global. Sistem yang lama mulai goyah, dan pondasi tatanan baru sedang dibangun. BRICS, lewat Deklarasi Rio, telah meletakkan batu pertama arah baru itu. Kini, terserah kepada para anggotanya, termasuk Indonesia, untuk memastikan bahwa jalan yang ditempuh bukan hanya menjanjikan perubahan, tetapi juga memberi harapan. Satu kenyataan hari-hari ini, dunia tak bisa lagi didikte oleh satu blok kekuatan saja. Mungkin kini saatnya bagi Global Selatan untuk tak hanya bersuara, tetapi ikut menentukan arah. Indonesia, dengan segala potensinya, berada dalam posisi strategis untuk menjadi bagian dari sejarah baru ini - sebuah dunia yang lebih setara, seimbang, dan berkeadilan.

Tulisan ini merupakan pendapat pribadi dan tidak mencerminkan pendapat institusi tempat penulis bekerja.

Baca artikel ini lewat aplikasi mobile.

Dapatkan pengalaman membaca lebih nyaman dan nikmati fitur menarik lainnya lewat aplikasi mobile Katadata.

Mohammad Yoga Pratama
Analis Kebijakan Madya, Direktorat Jenderal Stabilisasi dan Pengembangan Sektor Keuangan, Kementerian Keuangan

Catatan Redaksi:
Katadata.co.id menerima tulisan opini dari akademisi, pekerja profesional, pengamat, ahli/pakar, tokoh masyarakat, dan pekerja pemerintah. Kriteria tulisan adalah maksimum 1.000 kata dan tidak sedang dikirim atau sudah tayang di media lain. Kirim tulisan ke opini@katadata.co.id disertai dengan CV ringkas dan foto diri.