Masa Depan Transmigrasi dan Supremasi Sipil

Katadata/ Bintan Insani
Penulis: Anggalih Bayu Muh Kamim
6/11/2025, 07.05 WIB

Kementerian Transmigrasi di era Presiden Prabowo Subianto turut membawa nafas perluasan peran militer dalam urusan non-pertahanan. Hal ini dilakukan melalui program Transmigrasi Komponen Cadangan dan Transmigrasi Patriot. Program Transmigrasi Komponen Cadangan mengarahkan warga negara menjadi transmigran—yang dibayangkan menjadi bagian dari upaya memperkuat komponen utama pertahanan negara, yakni TNI. Keterlibatan ini  dibayangkan dalam produksi pangan sampai dengan “pembauran budaya sebagai bagian dari integrasi nasional.”

Sedangkan Transmigrasi Patriot mengarahkan individu yang berasal dari lulusan kampus. Mereka mendapatkan pendidikan dasar militer dan beasiswa asalkan berkomitmen melaksanakan pengabdian selama 10 tahun di lokasi transmigrasi. 

Kedua program tersebut merupakan upaya menyuntikkan “cara-cara militeristik” dalam adaptasi sosial antara transmigran dan penduduk lokal, sehingga terkesan mereka harus “menerima program begitu saja.” Hal tersebut juga membuat suara dari transmigran maupun penduduk lokal rentan “tidak didengar” dalam pengembangan kawasan transmigrasi.

Trauma Militerisme

Upaya untuk menyuntikkan militerisme kepada kehidupan sipil tidak dapat dilepaskan dari situasi pasca-1965, yang mana setiap suara dari masyarakat sipil di pedesaan dianggap sebagai “ancaman internal dalam pertahanan” (Davidson, 2018). Peran militer dianggap perlu diperluas dalam menyentuh kehidupan sehari-hari di pedesaan—termasuk transmigrasi pada masa Orde Baru—menjadi upaya menjaga legitimasi kekuasaan pemerintahan Soeharto untuk menopang agenda “pembangunanisme” yang mereka kampanyekan (Tirtosudarmo, 2007). 

Warga dari kalangan masyarakat adat bahkan “dipindahkan dari wilayah ulayatnya” melalui upaya “permukiman kembali” dengan alasan “mendekatkan dengan layanan dan tersentuh pembangunan.” Langkah tersebut sebenarnya hanya upaya penguasa merebut sumber daya di dalam wilayah, yang bagi warga setempat dianggap sebagai “hak ulayatnya” (Situmorang et al., 2017). 

Kejadian serupa juga terjadi pada masa pasca-Orde Baru dengan dalih pelaksanaan “transmigrasi lokal”. Namun, pelaksanaannya dilakukan dengan pengawalan ketat dari aparat keamanan dan pertahanan untuk memastikan warga menerima dan menjadi bagian dari “skema investasi yang dipaksakan” (Palupi et al., 2017). 

Kejadian terbaru misalnya muncul di salah satu daerah di kepulauan dekat Sumatra. Anehnya program yang “menggusur warga lokal” dari “wilayah ulayatnya” tumpang tindih dengan wilayah operasi perusahaan. Alhasil, dirasa perlu memindahkan penduduk dengan dalih “transmigrasi lokal dengan berbagai episode kekerasan sebelumnya” (Mardiana et al., 2025). 

Studi yang dilakukan penulis di salah satu daerah di Papua Barat menunjukkan, persoalan ini sudah terjadi sejak program ABRI Masuk Desa (AMD) yang diikuti dengan masuknya transmigrasi lokal untuk pengembangan ibukota distrik pada awal 1990-an. Pelaksanaan AMD yang disertai dengan pengerahan penduduk dari berbagai kampung secara bergantian dengan mengerahkan antara 6-9 orang yang “bekerja tanpa diupah” dengan bergilir setiap pekan dan “menyisakan trauma bagi warga yang dilibatkan.” 

Studi penulis menunjukkan bahwa penduduk lokal yang turut ditempatkan dalam pengembangan distrik pun mengaku tidak menginginkan lagi, jika ada kegiatan serupa. Warga menyimpan memori atas AMD dengan menyatakan bahwa prajurit yang “dianggap tidak disiplin” pun sampai “direndam selama berjam-jam pada malam hari di sungai.” Transmigran lokal yang ikut membangun ibukota distrik pun menyatakan bahwa badannya terasa sakit selama dilibatkan dalam AMD dengan ungkapan “kaki terasa mau pecah” untuk menunjukkan beban kerja yang ditekan dengan represi. Penduduk lokal pun menyatakan bahwa berbagai “ancaman” diberikan, apabila mereka enggan untuk dikerahkan. 

Realitas di atas yang kemudian membuat persoalan status lahan yang digunakan untuk pengembangan ibukota distrik menjadi tidak terselesaikan sampai saat ini. Kejelasan bahwa pernah dilaksanakan transmigrasi lokal baru terlacak setelah penulis melakukan kajian mendalam melalui penelusuran dokumen maupun pendalaman terhadap “pelaku sejarah yang masih hidup.” Hal tersebut menjadi salah satu penyebab pembangunan ibukota distrik dan pengembangan transmigrasi yang sebenarnya diinisiasi oleh “kalangan sipil” menjadi terus menyisakan pekerjaan rumah sampai saat ini, karena kemampuan dari institusi sipil dan warga sipil “dibiarkan lemah.”

Dari Rakyat untuk Perubahan Kebijakan

Studi penulis menunjukkan bahwa sebenarnya penduduk lokal dan sebagian besar tetua adat mendukung masuknya transmigrasi terutama “transmigrasi dari saudara-saudara yang berasal dari daerah luar Papua.” AMD yang begitu saja masuk menjadi salah satu penyebab para perintis ibukota distrik di lokasi studi dan para penduduk lokal saat itu tidak sempat mendorong kejelasan berkaitan dengan status ulayat dan penggunaan lahan untuk penempatan penduduk dari “Nusantara.” 

Studi penulis menunjukkan bahwa di sisi lain saat penempatan transmigran lokal yang berasal dari area sekitar ibukota kabupaten pun sudah ada upaya dari para tetua untuk menyediakan lahan seluas 2 hektare untuk berkebun dan lahan lainnya untuk membangun rumah dengan bantuan pemerintah terutama dinas sosial bagi penduduk yang ditempatkan. Rumah yang sudah dibangun pun dianggap sebagai “aset kampung secara komunal,” sehingga kala ada warga yang memilih kembali ke kota akan diserahkan ke pemerintah kampung dan diberikan kepada warga lainnya yang datang untuk mencari penghidupan di daerah setempat.

Realitas di atas menunjukkan bahwa sebenarnya tanpa “arahan dari militer pun” warga sipil mampu melakukan pembangunan dan pengelolaan secara partisipatif melalui dialog. Studi saya dalam buku yang baru diterbitkan dengan judul “Kawula Tani di Bawah Sepatu Lars: Potret Peran Militer dalam Program Pertanian di Indonesia” (2025) menunjukkan bahwa perluasan peran militer dalam urusan non-pertahanan justru menambah beban kerja dari prajurit itu sendiri dan justru memperlemah kelembagaan sipil seperti penyuluhan pertanian.

Temuan serupa, saya temukan saat meneliti di salah satu daerah di Papua Barat yang menghadapi kekurangan penyuluh pertanian untuk dapat diterjunkan di daerah yang akan dikembangkan sebagai wilayah transmigrasi. Penyuluh pertanian sendiri juga menghadapi kendala anggaran operasional, sebab pemerintah pusat melakukan “efisiensi untuk program populer lainnya.” Pemerintah Presiden Prabowo di sisi lain mengerahkan Batalion Pertanian di salah satu daerah transmigrasi “yang dianggap sudah maju,” sementara transmigran lokal di lokasi studi penulis justru menjerit dengan keterbatasan kehadiran penyuluh dengan berbagai kendala. 

Sementara, pengembangan lahan pertanian di kawasan lokasi studi juga terganjal masalah ulayat yang belum terselesaikan. Warga di lokasi studi sendiri berharap masuknya transmigrasi secara partisipatif untuk mendorong pertukaran pengetahuan secara setara seperti belajar bertani tanpa harus dengan instruksi satu arah apalagi tekanan. Mereka juga berharap ada langkah afirmasi dalam pengakuan hak ulayat, sehingga dapat memberikan jaminan penghidupan bagi transmigran yang sudah mereka anggap sebagai “keluarga/saudara.”

Baca artikel ini lewat aplikasi mobile.

Dapatkan pengalaman membaca lebih nyaman dan nikmati fitur menarik lainnya lewat aplikasi mobile Katadata.

Anggalih Bayu Muh Kamim
Peneliti Ekspedisi Patriot Kementerian Transmigrasi-IPB University

Catatan Redaksi:
Katadata.co.id menerima tulisan opini dari akademisi, pekerja profesional, pengamat, ahli/pakar, tokoh masyarakat, dan pekerja pemerintah. Kriteria tulisan adalah maksimum 1.000 kata dan tidak sedang dikirim atau sudah tayang di media lain. Kirim tulisan ke opini@katadata.co.id disertai dengan CV ringkas dan foto diri.