Di balik tiupan debu industri Morowali, terdapat aktivitas yang berlangsung tiada henti. Seakan matahari tak pernah benar-benar tenggelam, aktivitas dan lalu lintas kendaraan terus berdatangan. Ada yang baru tiba untuk memulai giliran kerjanya, ada pula yang pulang dengan lelah di wajahnya. Di antara suara mesin dan cahaya lampu pabrik yang tak pernah padam, kehidupan industri di Morowali seakan tak pernah tertidur.
Morowali kini menjadi simbol dari ambisi besar negeri ini, untuk membawa hilirisasi mineral ke tingkat yang lebih tinggi. Di atas kertas, keberhasilan ini tampak jelas: investasi besar mengalir, lapangan kerja terbuka, dan ekspor nikel olahan melonjak. Di tengah hiruk-pikuk itu, kita seolah sedang menyaksikan wujud nyata dari industrialisasi yang selama ini diimpikan.
Di tengah riuh industri yang seolah tiada henti, ada satu hal yang jarang disadari: tidak semua perputaran ekonomi yang tampak di permukaan benar-benar menghidupi daerah tempat industri itu berdiri. Mesin-mesin memang terus menyala, para pekerja terus berdatangan silih berganti, tapi tidak semua kehidupan berputar di sana.
Para pekerja datang dari berbagai penjuru negeri, bukan hanya dari daerah tempat perusahaan berdiri. Setiap kali mereka menerima gaji, sebagian besar dikirim ke kampung halamannya sendiri. Hanya sedikit yang berputar di sekitar tempat mereka bekerja, sekadar untuk makan, tempat tinggal, dan kebutuhan sehari-hari.
Begitu pula dengan perusahaan. Keuntungan besar yang dihasilkan dari kawasan industri ini sebagian besar mengalir ke kantor-kantor pusat atau pemegang saham di luar negeri. Di Morowali, yang tertinggal hanyalah jejak aktivitas pertambangan: lalu lintas kendaraan tambang, asap yang mencemari udara, dan permukiman yang terus meluas tanpa diiringi peningkatan kesejahteraan yang merata.
Satu yang juga krusial dari sisi pendapatan daerah. Pendapatan dari sektor pertambangan dan industri hilir juga lebih banyak terserap ke tingkat pusat. Porsi bagi hasil untuk daerah penghasil jauh lebih kecil dibandingkan nilai ekonomi yang sesungguhnya dihasilkan dari tanahnya sendiri.
Tingginya indeks penghisapan daerah di Kabupaten Morowali yang mencapai 0,98 poin mengonfirmasi fenomena ini. Hasil analisis CORE tersebut menunjukkan bahwa hanya sebagian kecil kekayaan ekonomi yang benar-benar dinikmati oleh masyarakat lokal. Sejak 2016, tren ini terus meningkat, memperlihatkan bahwa pertumbuhan ekonomi di daerah tersebut yang belum inklusif.
Dengan kata lain, meski geliat industri tampak begitu hidup, daerah penghasil justru menghadapi paradoks: menjadi episentrum kegiatan ekonomi nasional, namun menerima porsi yang tak sebanding dengan sumbangan yang diberikan.
Namun tentu, persoalan ini bukan sekadar tentang siapa yang datang dan siapa yang pergi. Bukan pula tentang melarang orang luar daerah untuk bekerja. Satu hal yang jauh lebih penting adalah memastikan agar masyarakat lokal tidak sekadar menjadi penonton di tengah arus besar hilirisasi yang sedang terjadi.
Fenomena seperti ini sesungguhnya tidak berdiri sendiri. Ia lahir dari struktur ekonomi yang sejak awal dibangun secara terpusat, baik dalam hal kebijakan fiskal, arus investasi, maupun kepemilikan aset.
Industri di daerah seperti Morowali tumbuh cepat, tetapi pertumbuhan itu lebih banyak digerakkan oleh modal, tenaga kerja, dan kebijakan yang datang dari luar daerah. Akibatnya, nilai tambah yang tercipta tidak banyak menetap di wilayah penghasil.
Dari sisi fiskal, desain penerimaan negara membuat porsi yang mengalir ke pemerintah pusat jauh lebih besar dibandingkan ke daerah. Dana bagi hasil (DBH) pertambangan misalnya, UU Nomor 1 tahun 2022 tentang hubungan keuangan pemerintah pusat dan daerah menyebutkan bahwa porsi untuk daerah kabupaten/kota penghasil hanya 8,9%, di luar itu provinsi asal sebesar 7,5%, dan 3,6% untuk daerah lain di provinsi tersebut. Sementara sebesar 80% menjadi milik pemerintah pusat.
Jumlah tersebut dirasa tidak sebanding dengan dampak yang ditanggung: beban sosial, hancurnya lingkungan, dan kerusakan infrastruktur justru ditanggung daerah. Terlebih lagi mereka harus berjuang dengan hilangnya mata pencaharian asli masyarakat lokal, kualitas air yang tercemar, tanah yang terus dikeruk, dan udara yang penuh debu.
Di sisi lain, struktur industri hilir juga masih didominasi oleh perusahaan-perusahaan besar yang terintegrasi secara vertikal. Kondisi ini menjadikan minimnya keterlibatan usaha kecil dan menengah lokal dalam rantai pasok industri. Akhirnya, daerah penghasil menjadi sekadar tempat beroperasinya mesin ekonomi nasional, tetapi tidak sepenuhnya menjadi bagian dari mekanisme pembagian nilai tambah.
Hilirisasi sejatinya bukan hanya tentang membangun smelter, meningkatkan ekspor, atau menambah nilai tambah pada komoditas. Ia seharusnya juga menjadi strategi untuk memperluas manfaat ekonomi bagi masyarakat di daerah penghasil.
Langkah pertama yang perlu diperkuat adalah memastikan keterlibatan masyarakat setempat dalam rantai nilai industri. Masyarakat lokal perlu menjadi bagian dari mata rantai produksi dan penyedia jasa penunjang bagi aktivitas pertambangan.
Kedua, skema fiskal dan pembagian hasil perlu dirancang ulang agar manfaat ekonomi tidak berhenti di tingkat pusat atau korporasi. Dana bagi hasil, pajak daerah, maupun program tanggung jawab sosial perusahaan (CSR) seharusnya diarahkan untuk memperkuat kapasitas ekonomi masyarakat lokal, sehingga mereka dapat menikmati hasil kekayaannya sendiri.
Ketiga, penting pula menanamkan perspektif keberlanjutan dalam setiap tahap hilirisasi. Ketika kawasan industri tumbuh tanpa perencanaan sosial dan lingkungan yang matang, maka biaya jangka panjangnya justru akan menggerus manfaat ekonomi yang diharapkan.
Dan pada akhirnya, ketika malam tiba di Morowali, lampu-lampu kawasan industri tetap menyala terang seperti siang yang tak pernah berhenti. Namun, satu hal yang perlu dipastikan adalah bahwa cahaya tersebut dapat menerangi kehidupan masyarakat di sekitarnya. Pembangunan sejatinya tidak diukur dari kilau pabrik dan angka ekspor, melainkan dari kemampuan menghadirkan keadilan ekonomi bagi mereka yang hidup di tanah tempat industri itu berdiri.
Catatan Redaksi:
Katadata.co.id menerima tulisan opini dari akademisi, pekerja profesional, pengamat, ahli/pakar, tokoh masyarakat, dan pekerja pemerintah. Kriteria tulisan adalah maksimum 1.000 kata dan tidak sedang dikirim atau sudah tayang di media lain. Kirim tulisan ke opini@katadata.co.id disertai dengan CV ringkas dan foto diri.