Di tengah hiruk pikuk digitalisasi, stabilitas inflasi, dan jargon sistem pembayaran modern, ada satu pertanyaan mendasar yang jarang kita ajukan secara utuh, apakah rupiah masih berdaulat di tanahnya sendiri?
Pertanyaan ini bukan retorika. Ia menyentuh inti relasi antara negara, uang, dan rakyatnya. Kedaulatan moneter bukan semata urusan teknis bank sentral atau neraca pembayaran, melainkan janji konstitusional bahwa alat tukar nasional hadir, dipercaya, dan bekerja dalam kehidupan seluruh warga, dari pusat kota hingga pelosok desa.
Secara hukum, kedaulatan moneter Indonesia sangat kuat. Undang-Undang Dasar 1945 menempatkan mata uang sebagai domain negara. Pasal 23B menegaskan bahwa macam dan harga mata uang ditetapkan dengan undang-undang, sementara Pasal 33 menempatkan kedaulatan moneter sebagai bagian dari kedaulatan ekonomi nasional yang tujuan akhirnya adalah kemakmuran rakyat.
Pada level undang-undang, UU Nomor 7 Tahun 2011 tentang Mata Uang menetapkan rupiah sebagai satu-satunya alat pembayaran yang sah, yang didefinisikan sebagai rupiah kertas, logam dan rupiah digital yang sampai saat ini belum diluncurkan. Alat pembayaran yang sah ini wajib digunakan di seluruh wilayah NKRI. UU Bank Indonesia kemudian memberi mandat kepada bank sentral bukan hanya menjaga stabilitas nilai rupiah, tetapi juga mengatur dan menjaga kelancaran sistem pembayaran serta peredaran uang.
Masalahnya, kedaulatan tidak diukur di atas kertas hukum semata. Ia diuji dalam praktik sehari-hari. Dalam beberapa tahun terakhir, kita menyaksikan gejala yang tampak sepele namun fundamental: berkurangnya cabang bank di daerah menyebabkan berkurangnya kanal peredaran rupiah fisik, dan belakangan “ada fenomena di beberapa tempat pedagang lebih memilih QRIS dan menolak uang tunai.”
Secara objektif, perlu diakui bahwa perluasan QRIS, e-money, dan sistem pembayaran digital adalah salah satu keberhasilan paling nyata kebijakan Bank Indonesia dalam satu dekade terakhir. Biaya transaksi turun, inklusi keuangan meningkat, UMKM masuk ke sistem formal. Data BI menunjukkan bahwa adopsi QRIS telah menjangkau puluhan juta pengguna dan jutaan pedagang, mencerminkan tingkat kepercayaan publik yang tinggi terhadap sistem keuangan nasional.
Namun justru karena keberhasilan itulah, batas konseptual dan hukum harus dijaga. Digitalisasi adalah cara membayar, bukan redefinisi apa itu uang. Konstitusi dan undang-undang tidak pernah memandatkan bahwa kemudahan teknologi dapat menggantikan alat pembayaran yang sah. Digitalisasi sistem pembayaran adalah kemajuan, tetapi bukan pengganti kedaulatan moneter.
Di sisi lain, kita juga perlu jujur melihat konsekuensi spasial dari digitalisasi, yang mendatangkan ironi. Penutupan kantor cabang bank, dan berkurangnya peredaran uang pecahan kecil di daerah bukan sekadar isu efisiensi, melainkan isu sirkulasi rupiah.
Berdasarkan data Statistik Perbankan Indonesia yang dirilis Otoritas Jasa Keuangan (OJK), jumlah kantor cabang bank umum di Indonesia menurun dari sekitar 30.733 unit pada 2020 menjadi 24.243 unit pada Maret 2024, sementara jaringan ATM, CDM dan CRM juga berkurang ribuan unit, mencerminkan tren penyusutan jaringan fisik seiring digitalisasi layanan perbankan.
Berbagai laporan media dan keluhan masyarakat juga menunjukkan bahwa uang receh makin sulit diperoleh di pasar tradisional dan wilayah non-perkotaan, sebagian karena preferensi sistem cashless dan rasionalisasi jaringan perbankan serta pengurangan jumlah ATM. Jika dibiarkan, target inklusi keuangan bisa berbalik menjadi pelucutan kehadiran fisik rupiah yang keabsahannya dijamin oleh UU. Di titik inilah kedaulatan moneter bocor secara diam-diam, bukan karena undang-undangnya dicabut, melainkan karena infrastrukturnya ditinggalkan.
Karena itu, Bank Indonesia perlu memikirkan insentif kebijakan bagi bank yang menutup cabang dan ATM-nya, agar tetap menjaga fungsi sirkulasi uang melalui kebijakan makroprudensial yang mendorong bank tetap menjaga layanan tunai dan kehadiran fisik di wilayah-wilayah yang secara ekonomi dan sosial membutuhkan seperti Laku Pandai, BRILink, agen bank, dan format lainnya. Dalam konteks ini, ini akan menjadi komplementer bagi program Ekspedisi Rupiah Berdaulat, memastikan sirkulasi uang terjadi.
Tidak semua warga berada pada titik kesiapan digital yang sama. Lansia, pekerja informal, dan masyarakat di wilayah dengan keterbatasan infrastruktur tidak bisa dipaksa masuk ke sistem. Inklusi yang dipaksakan justru berisiko menjadi eksklusi baru.
Dalam konteks inilah, independensi Bank Indonesia perlu dibaca kembali secara proporsional. Pasal 23D UUD 1945 tidak pernah menyerahkan kedaulatan moneter kepada bank sentral. Independensi adalah mekanisme kelembagaan, bukan tujuan, agar mandat moneter negara dijalankan dengan disiplin dan kredibilitas, bebas dari tekanan politik jangka pendek.
Independensi tidak boleh dimaknai sebagai penyempitan makna stabilitas menjadi sekadar inflasi. Justru independensi diberikan agar pengelolaan uang nasional menjaga kepercayaan publik, bahwa rupiah hadir, beredar, dan bekerja dalam kehidupan nyata.
Menakar kedaulatan moneter berarti menimbang ulang hubungan antara uang, ekonomi, rakyat, dan negara. Uang bukan sekadar instrumen kebijakan, melainkan medium kehadiran negara dalam aktivitas ekonomi warganya.
Kedaulatan rupiah yang sejati adalah ketika stabilitas makro bertemu dengan keadilan mikro, ketika rupiah stabil nilainya sekaligus mudah dipegang, diakses, dan digunakan oleh seluruh warga negara, dari Jakarta hingga Papua. Stabilitas yang hanya hidup di statistik adalah stabilitas yang timpang. Jika efisiensi justru membuat yang terluar terpinggirkan, maka amanat konstitusi belum dijalankan secara utuh. Sebab kedaulatan moneter bukan sekadar soal menjaga angka tetap jinak, melainkan memastikan negara benar-benar hadir melalui Rupiah yang hidup di tangan warganya.
Catatan Redaksi:
Katadata.co.id menerima tulisan opini dari akademisi, pekerja profesional, pengamat, ahli/pakar, tokoh masyarakat, dan pekerja pemerintah. Kriteria tulisan adalah maksimum 1.000 kata dan tidak sedang dikirim atau sudah tayang di media lain. Kirim tulisan ke opini@katadata.co.id disertai dengan CV ringkas dan foto diri.