Dilema Ekspor Benih Lobster dan Pro-Kontra yang Mengiringinya

ANTARA FOTO/Budi Candra Setya
Petugas memeriksa benih lobster (benur) hasil tangkapan di Mako Polair Banyuwangi, Jawa Timur, Senin (13/3). Menteri Kelautan dan Perikanan Edhy Prabowo berencana membuka keran ekspor benih lobster.
Penulis: Sorta Tobing
19/12/2019, 10.30 WIB

Senada dengan Edhy, Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman Luhut Binsar Pandjaitan mendukung wacana dibukanya keran ekspor. “Daripada sekarang diselundupin 80%, kan lebih bagus dikontrol,” katanya.

Dari grafik Databoks di bawah ini terlihat selama periode 2015 hingga Juni 2019 terjadi 254 kasus penyelundupan benih lobster. Total yang berhasil diselamatkan mencapai 8,6 juta ekor atau senilai Rp 1,2 triliun.

Aksi penyelundupan yang berhasil digagalkan terbanyak terjadi pada 2017, sebanyak 100 kasus. Tapi kalau dihitung secara nilai, pada 2018 mencatat rekor paling besar, mencapai 2,5 juta ekor atau setara Rp 463,3 miliar.

(Baca: Nelayan Khawatir Stok Dalam Negeri Menipis jika Benih Lobster Diekspor)

Tak Cukup Hanya Larangan Ekspor Benih Lobster

Setelah larangan ekspor benih lobster muncul memang masalah baru muncul. Hal ini tertulis dalam Jurnal Kebijakan Perikanan Indonesia Volume 8 Nomor 2 November 2016 berjudul Status Pengelolaan Sumber Daya Benih Lobster untuk Mendukung Perikanan Budidaya: Studi Kasus Perairan Pulau Lombok. Laporan ini dapat diakses langsung di situs Kementerian Kelautan dan Perikanan.

Dalam jurnal yang ditulis oleh Erlania, I Nyoman Radiarta, dan Joni Haryadi itu menyebut selain dampak ekonomi, larangan penangkapan benih lobster juga menyebabkan dampak sosial ke masyarakat. Jumlah pengangguran meningkat dalam relatif singkat.

Masyarakat penangkap benih lobster di Lombok, terutama bagian tengah, tidak memiliki mata pencaharian lain. Aktivitas seperti budidaya rumput laut dan menangkap ikan umumnya sudah ditinggalkan sejak maraknya usaha penangkapan benih lobster.

Ada 5.623 orang penangkap benih lobster di seluruh provinsi Nusa Tenggara Barat. Mereka kehilangan potensi pendapatan yang diprediksi mencapai Rp 281 miliar sampai Rp 433 miliar  per tahun.

Dampak lainnya, yaitu maraknya penyelundupan benih lobster. Mahalnya harga benih dan larangan penangkapannya di laut juga membuat aktivitas budidaya pembesaran lobster terhenti. Sampai sekarang belum ada suplai benih yang berasal dari aktivitas pembenihan.  

(Baca: Sanggah Menteri Edhy, Pengamat: Produksi Lobster Masih Andalkan Alam)

Sebenarnya masalah ini tidak akan rumit-rumit amat jika Indonesia bisa memanfaatkan benih lobster dengan baik. Namun, kendala utama budidaya hewan laut itu adalah soal pakan, penyakit, dan waktu pembudiyaan yang lama.

Sampai sekarang belum ada pabrik yang memproduksi pakan lobster. Riset untuk menghasilkan makanan ini pun masih sedikit sehingga sampai sekarang belum ada solusi. Pencarian makanannya bisa melalui sumber lain, seperti ikan rucah. Ikan berukuran kecil ini sering juga disebut ikan teri yang memiliki kandungan protein dan lemak tinggi.

Untuk membesarkan satu kilogram lobster dibutuhkan setidaknya 50 kilogram ikan rucah untuk pakan. “Artinya, kalau dilakukan akan ada eksploitasi besar-besaran yang mengancam sumber daya ikan lainnya,” kata Tenaga Ahli Individual Bidang Ekonomi Kelautan dan Perikanan Suhana.

Indonesia melarang penangkapan ikan rucah menggunakan jaring trawl. Berbeda dengan Vietnam yang mengizinkan nelayan memakai jaring tersebut sehingga pasokannya berlimpah.

Akibatnya, industri lobster di negara itu dalam sepuluh tahun terakhir berkembang maju. Menurut Vietnamnews.com, nilai ekspornya dalam empat bulan pertama 2019 mencapai US$ 2,5 miliar atau naik 2,4% dibandingkan tahun sebelumnya.

(Baca: Marak Penyelundupan, Kadin Dukung Ekspor Benih Lobster Dibuka Kembali)

Ilustrasi benih lobster ilegal. (ANTARA FOTO/Didik Suhartono)

Masalah budidaya lobster tak semata terjadi di Indonesia. Data Organisasi Pangan dan Pertanian (FAO) menunjukkan dalam periode 2010-2016, produksi lobster dunia 99,54% berasal dari perikana tangkap. Sisanya berasal dari hasil budidaya.

“Artinya, budidaya lobster di dunia sampai saat ini tidak berkembang dengan baik. Produksi lobster masih mengandalkan alam,” ucap Suhana. Karena itu, lobster sebaiknya dibiarkan berkembang biak di alam bebas.

Hal itu sekaligus membantah pernyataan mengenai kelangsungan hidup atau survival rate (SR) lobster yang hanya berkisar di 1%. Suhana menilai, untuk menghitung atau meneliti peluang hidup lobster sangat sulit.

(Baca: Meski Tuai Polemik, Menteri Edhy Tetap Izinkan Ekspor Benih Lobster)

Lantas, bagaimana negara-negara maju, seperti Kanada, Amerika Serikat, dan Australia, bisa menjadi negara pengekspor lobster terbesar di dunia?

Kuncinya, penangkapan berkelanjutan. Di Kanada bahkan ada badan khusus menangani masalah ini. Dikutip dari situs lobstercouncilcanada.ca, negara itu punya aturan waktu, jenis, dan ukuran penangkapan. Yang sedang bertelur, apalagi benih harus dilepaskan kembali ke laut.

Desain perangkap harus memungkinkan lobster berukuran kecil melarikan diri. Jaring ini pun harus memakai bahan ramah lingkungan untuk memastikan perangkap yang hilang di laut tidak akan terus menangkap lobster dan spesies lainnya.

Konservasi alam menjadi isu utama dalam industri ini. Kanada sampai memiliki sertifikat hasil tangkapan lobster. Tujuannya, agar pemerintah dan para pembeli dapat memverifikasi produknya legal dan berkelanjutan. 

Halaman:
Reporter: Tri Kurnia Yunianto, Agatha Olivia Victoria