Raksasa tekstil kebanggaan Presiden Republik Indonesia ke-7 Joko Widodo, PT Sri Rejeki Isman Tbk (SRIL), diguncang kabar buruk. Senin (21/10) lalu, Pengadilan Niaga Semarang menyatakan Sritex pailit lantaran telah lalai memenuhi kewajiban pembayaran kepada PT Indo Bharat Rayon (IBR), salah satu kreditor Sritex, sesuai dengan Putusan Homologasi 25 Januari 2022.
Dalam gugatannya, Indo Bharat Rayon mengajukan pembatalan perdamaian dengan Sritex Group dalam penundaan kewajiban pembayaran utang (PKPU) yang sudah disepakati sebelumnya. Indo Bharat Rayon juga menyeret tiga anak usaha Sritex, yakni PT Sinar Pantja Djaja, PT Bitratex Industries, dan PT Primayudha Mandirijaya sebagai termohon dalam kasus itu. Singkat cerita, Indo Bharat Rayon meminta Sritex dan ketiga anak usahanya dinyatakan pailit dengan segala akibat hukumnya.
Ketika suatu perusahaan dinyatakan pailit, perusahaan tersebut harus menghentikan segala aktivitasnya. Alhasil, perusahaan yang dinyatakan pailit itu tidak bisa lagi melakukan transaksi dengan pihak lain, kecuali untuk keperluan likuidasi. Konsekuensi lainnya, seluruh aset perusahaan akan disita oleh kurator yang ditunjuk oleh pengadilan. Kurator ini memiliki kewenangan untuk mengelola harta kekayaan milik debitur yang pailit.
Manajemen Sritex tidak tinggal diam. "Saat ini Perseroan bersama-sama dengan PT Sinar Pantja Djaja, PT Primayudha Mandirijaya, dan PT Bitratex Industries (Grup Sritex) telah menunjuk kuasa hukum dari kantor hukum Aji Wijaya & Co., yang akan mendampingi serta mewakili Grup Sritex dalam melakukan upaya hukum kasasi terhadap Putusan Pembatalan Homologasi," tulis manajemen Sritex dalam keterbukaan informasi di Bursa Efek Indonesia, Senin (28/10).
Perusahaan tekstil terbesar di Asia Tenggara itu menyatakan masih memiliki utang dagang senilai Rp 101,31 miliar kepada IBR. Jika merujuk pada laporan keuangan konsolidasi Sritex per 30 Juni 2024, nilai kewajiban perusahaan ke IBR hanya 0,38% dari total liabilitasnya yang mencapai US$1,6 miliar atau Rp 25,1 triliun.
IBR menggugat ke PN Semarang karena merasa tidak menerima pembayaran kewajiban dari Grup Sritex sejak Juli 2023. Berdasarkan putusan homologasi, seharusnya Sritex Group membayar cicilan bulanan US$17.000 (sekitar Rp 268,17 juta) atau melunasi utang itu secara penuh pada tanggal jatuh tempo.
Manajemen Sritex menyatakan hingga saat ini perusahaan masih tetap melaksanakan kegiatan usahanya secara normal. Perusahaan juga akan melakukan kerja sama dengan beberapa negara dan mitra lainnya untuk meningkatkan pendapatan agar dapat memenuhi kewajibannya sesuai putusan homologasi.
Prabowo Kerahkan Empat Kementerian Turun Tangan
Kabar ancaman kebangkrutan yang menimpa raksasa tekstil asal Solo ini mendapat perhatian dari Presiden Republik Indonesia ke-8 Prabowo Subianto. Ia memerintahkan empat kementerian turun tangan. Keempat kementerian itu adalah Kementerian Perindustrian, Kementerian Keuangan, Kementerian Ketenagakerjaan, dan Kementerian Badan Usaha Milik Negara (BUMN).
Putusan pailit itu bisa berdampak langsung pada 14.112 karyawan dari total 50.000 karyawan yang ada di bawah Grup Sritex. "Dan, tak terhitung usaha kecil dan menengah lain yang keberlangsungan usahanya tergantung pada aktivitas bisnis Sritex," kata manajemen dalam keterangan tertulis.
Pekan lalu, Komisaris Utama Sritex Iwan Setiawan Lukminto terlihat mondar-mandir di Kementerian Perindustrian. Ia menemui Menteri Perindustrian Agus Gumiwang Kartasasmita untuk membahas rencana penyelamatan perusahaannya.
Agus Gumiwang mengatakan prioritas pemerintah saat ini adalah menyelamatkan karyawan Sritex dari pemutusan hubungan kerja (PHK). Ada dua opsi penyelamatan yang didiskusikan dengan Kemenperin dengan Bos Sritex, yakni opsi ketika kasasi yang diajukan Sritex dikabulkan dan opsi ketika kasasi itu ditolak.
"Dari dua kemungkinan tersebut, pemerintah memiliki komitmen yang sama, yaitu bagaimana tenaga kerja itu diselamatkan, bagaimana perusahaan bisa tetap operasional, tetap lakukan proses produksi, dan tetap tidak ada PHK," kata Agus.
Setelah Prabowo mengadakan rapat dengan Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati dan beberapa menteri untuk membahas penyelamatan Sritex, Kementerian Keuangan mengungkapkan perannya. Kemenkeu akan membantu Sritex dalam hal perizinan ekspor impor.
"Ini juga nanti akan dilakukan oleh Bea Cukai, untuk membantu agar Sritex bisa melakukan ekspor dan impor," ujar Kepala Biro Komunikasi dan Layanan Informasi Kementerian Keuangan Deni Surjantoro, pada Kamis (31/10).
Izin ekspor impor ini bertujuan agar Sritex dapat menyelesaikan kontrak-kontrak sebelumnya, karena hidup perusahaan sangat bergantung pada ekspor dan impor. Dengan menjamin kelancaran operasional, diharapkan puluhan ribu tenaga kerja bisa tetap bekerja dan bisnis perusahaan terus berjalan.
Mengapa Sritex Harus Diselamatkan?
Pemerintah merespons ancaman kebangkrutan Sritex ini dengan gerak cepat. Sebelumnya, Asosiasi Pertekstilan Indonesia (API) mencatat hingga Mei 2024 ada 20-30 pabrik tekstil yang tutup dengan karyawan yang terkena PHK sebanyak 10.800 orang.
Ketua Dewan Pimpinan Nasional Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Shinta Kamdani mengatakan Sritex harus segera diselamatkan mengingat perusahaaan tekstil itu merupakan salah satu perusahaan yang memiliki kontribusi besar terhadap perekonomian Indonesia.
"Kami cuma mengingatkan pemerintah, memang saat ini kondisi PHK dan lain-lain itu sangat mempengaruhi (kondisi ekonomi). Jadi, kami harapkan bisa diminimalisasi unsur-unsur PHK yang besar seperti ini," ujar Shinta usai bertemu Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto untuk membahas masalah Sritex, di Kantor Kemenko Perekonomian, Rabu (30/10).
Namun, Shinta meminta pemerintah tidak hanya memberi perhatian kepada Sritex. Menurutnya perusahaan padat karya lainnya juga membutuhkan bantuan. "Kita mencoba jangan sampai ada peningkatan PHK. Makanya kita juga terus memberikan masukan dari industri padat karya, kita tidak mau sesuatu yang buruk terjadi," ujarnya.
Data Kementerian Ketenagakerjaan hingga September 2024 menunjukkan hampir 53.000 orang terkena PHK. Kasus PHK terbanyak terjadi di sektor manufaktur, dengan sub sektor industri tekstil, garmen, dan alas kaki menjadi yang paling rentan.
Selain masalah PHK, krisis yang menimpa Sritex ini menjadi perhatian karena perusahaan memiliki utang yang besar kepada perbankan dan lembaga keuangan. Jika perusahaan berhenti beroperasi, pendapatan perusahaan akan terhenti. Ini berarti kemampuan perusahaan untuk mencicil pembayaran utangnya kepada para kreditor juga bakal terganggu bahkan bisa jadi macet.
Otoritas Jasa Keuangan (OJK) mengungkapkan Sritex memiliki utang Rp 14,64 triliun kepada 27 bank dan tiga perusahaan pembiayaan (multifinance) per September 2024. Secara rinci, utang Sritex ke perbankan sebesar Rp 14,42 triliun atau 98,5% sedangkan utang kepada multifinance Rp 220 miliar.
Sejauh ini, OJK menyebut kondisi pencadangan perbankan dan lembaga pembiayaan atas kredit Sritex masih aman. "Bank sebagai lembaga yang memberikan pembiayaan pasti sudah mempertimbangkan berbagai aspek keamanan kredit, termasuk kemampuan Sritex untuk membayar," ujar Kepala Eksekutif Pengawas Perbankan OJK Dian Ediana Rae dalam konferensi pers Rapat Dewan Komisioner Bulanan OJK, di Jakarta, Jumat (1/11).
Banjir Produk Impor, Biang Kerok Terpuruknya Industri Tekstil
Sritex didirikan HM Lukminto pada 1966, bermula dari kios yang menjual pakaian di Pasar Klewer, Solo. Sritex kemudian memiliki pabrik pencetakan kain putih pada 1968. Sejak saat itu, bisnis Sritex berkembang pesat bahkan menjadi produsen seragam militer untuk NATO dan Jerman di era 1990-an.
Sritex juga pernah menjadi pemasok jenama fesyen terkenal, seperti Zara, Uniqlo, JCPenney, New Yorker, dan Sears. Nama Iwan Setiawan Lukminto pun pernah masuk ke dalam daftar 50 orang terkaya di Indonesia versi Forbes 2020, dengan nilai kekayaan US$515 juta atau sekitar Rp 8,1 triliun jika dihitung dengan kurs Rp 15.700/US$ saat ini. Namun, bisnis Sritex meredup sejak pandemi dan merugi sejak 2021 hingga kini.
Iwan Setiawan Lukminto menyebut banjir produk impor, terutama dari Cina, menjadi penyebab memburuknya kinerja industri tekstil domestik. Terbitnya Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) Nomor 8 Tahun 2024 tentang Kebijakan dan Pengaturan Impor dituding sebagai salah satu hal yang membuat impor makin menjadi.
"Kalau Permendag 8 itu masalah klasik. Lihat saja pelaku tekstil ini, banyak yang kena dan terdisrupsi terlalu dalam," ujar Iwan usai bertemu Menteri Perindustrian Agus Gumiwang, Senin (28/10).
Dalam wawancara di podcast Espos "Beyond The Limits" pada Juni lalu, Iwan Setiawan Lukminto mengungkapkan Permendag 8/2024 menghilangkan peraturan teknis (Pertek). Padahal, peraturan teknis itu bertujuan untuk memperketat standar untuk produk impor, misalnya standar untuk kain, kapas, dan sebagainya.
"Di Amerika Serikat (AS) kan tidak boleh ambil kapas dari Cina. Rule of origin harus jelas. Relaksasi dalam konteks (Permendag 8/2024) ini dicabut semua Pertek, enggak ada spek yang khusus padahal Indonesia adalah produsen," kata Iwan.
Ia menyebut kapasitas produksi tekstil nasional turun hingga di bawah 50% akibat banjir produk impor. Sebelumnya, kapasitas produksi tekstil domestik mencapai 85%. "Mereka yang pabrikan medium itu pasti habis, PHK massal jadi ancaman nyata," ujar Iwan.
Pernyataan Iwan didukung oleh Asosiasi Pertekstilan Indonesia (API). Ketua Umum API Jemmy Kartiwa mengatakan setidaknya ada dua perusahaan garmen di Jawa Barat dan Jawa Tengah yang bernasib sama seperti Sritex yang terancam bangkrut. Ia berharap pemerintah menangani masalah Sritex secara holistik, termasuk mengatasi banjir impor ilegal produk tekstil Cina.
Jemmy mengatakan, Permendag Nomor 8/2024 dapat membatasi impor pakaian jadi yang masuk secara legal. Namun, sebagian besar tekstil dari Cina masuk secara ilegal dengan cara impor borongan dari pintu ke pintu. Impor dilakukan oleh pihak ketiga dan langsung diantarkan dari penjual di luar negeri ke pembeli.
Ini terlihat dari selisih data ekspor garmen Cina ke Indonesia dan data impor Indonesia dari Cina. BPS mencatat nilai impor garmen dari Cina mencapai US$322,98 juta pada kuartal pertama tahun ini. Pada periode yang sama, Biro Statistik Cina mencatat nilai ekspor garmen ke Indonesia mencapai US$883,48 juta. Hal ini menunjukkan ada selisih perdagangan senilai US$560,5 juta yang tidak tercatat oleh aparat hukum.
Pemerintah kini bersiap-siap membenahi regulasi impor, antara lain dengan menerapkan Bea Masuk Anti Dumping (BMAD) dan Bea Masuk Tindakan Pengamanan (BMTP) di sektor industri tekstil. Menko Perekonomian Airlangga Hartarto mengatakan kebijakan ini sedang dibahas antarkementerian dan lembaga. "Diharapkan dengan adanya struktur itu, industri proses hulu, midstream, dan hilir bisa terjaga dari persaingan tidak sehat," kata Airlangga.
Upaya pemerintah menyelamatkan Sritex bisa menjadi momentum untuk membenahi regulasi yang kurang baik dan membuat impor semakin masif. Bukan hanya di industri tekstil, industri padat karya lainnya juga membutuhkan perhatian dari pemerintah di saat tren PHK semakin marak.