Kesuksesan Donald Trump memenangkan pemilihan presiden di Amerika Serikat menjadi inspirasi bagi calon presiden nomor urut 02 Prabowo Subianto. Gaya kampanye dan strategi Prabowo mirip dengan yang dilakukan Trump dua tahun lalu, seperti menggiring masyarakat agar tidak lagi mempercayai media, menyebarkan rasa pesimisme, dan menggunakan data yang tidak tepat.
Pernyataan Prabowo saat berpidato dalam acara peringatan Hari Disabilitas Internasional di Jakarta, Rabu (5/12), menuai polemik. Dia menuding media massa dan wartawan berbohong dan memanipulasi demokrasi. "Mereka (wartawan) hanya antek dari orang yang ingin menghancurkan Indonesia," ujarnya.
Pernyataan ini sebenarnya wujud protes Prabowo, terhadap media yang dinilai kurang merespons isu Reuni 212. Dia menganggap banyak media yang tidak meliput aksi ini. Tim riset Tirto.id mencatat puluhan media cetak ramai-ramai memberitakannya. Jumlah beritanya cukup fantastis, yaitu terdapat 159 judul berita media cetak yang terbit pada esok harinya. Framing pemberitaannya pun hampir semua sama, yaitu bernada (tone) positif.
(Baca: AJI: Ucapan Prabowo Soal Media Berbohong Berlebihan dan Sentimentil)
Prabowo juga menuding wartawan tidak objektif dan mengajak masyarakat tidak lagi mempercayai media massa. Dia pun menyebut tak akan lagi mengakui para jurnalis yang meliputnya, bahkan Prabowo juga enggan diwawancarai oleh sejumlah wartawan yang sudah menunggunya selepas acara.
Sikap Prabowo yang terkesan menghina media massa dan profesi wartawan tersebut sebenarnya bukanlah hal baru dalam kancah politik. Direktur Program lembaga survei Saiful Mujani Research and Consulting (SMRC) Sirojudin Abbas menilai hal serupa sudah dilakukan Donald Trump saat menjadi kandidat calon presiden di Pilpres AS 2016.
Saat bersaing dengan Hillary Clinton, Trump sempat menuduh berbagai media massa arus utama (mainstream), seperti CNN, NBS, dan New York Times menyebarkan berita palsu. Media massa tersebut dianggap tidak independen, sehingga dilarang meliput konferensi pers yang diadakan Trump. "Saya kira dia (Prabowo) berguru ke Donald Trump. Apa yang dilakukan Donald Trump itu kan merendahkan dan menghinakan media-media mainstream," kata Sirojudin ketika dihubungi Katadata.co.id, Kamis (6/12).
(Baca: Jokowi Pamer Keakraban dan Aktivitas Keluarga Bersama Wartawan)
Menurut Sirojudin, Prabowo menggunakan praktik menuding media massa untuk menguasai perbincangan dan mengarahkan opini publik. Dengan begitu, calon presiden yang pernah menjadi Komandan Jenderal Kopassus ini dapat meyakinkan publik bahwa dirinya tengah menjadi korban konspirasi media massa yang tak netral dan berpihak. Harapannya, taktik ini mampu menarik simpati publik dan meningkatkan elektabilitasnya. Sirojudin menilai strategi ini sudah dilakukan Prabowo sejak awal berkampanye.
Gaya kampanye Prabowo yang meniru Trump sudah diprediksi oleh Direktur Eksekutif Indo Barometer M Qodari pada April lalu, sebelum kontes Pilpres 2019 dibuka. Saat itu Qodari telah melihat strategi yang digunakan Prabowo sama dengan Trump, yakni mempertentangkan kalangan bawah dan atas serta menyebarkan pesimisme.
Pada Pilpres 2016 di AS, Trump memainkan isu kesenjangan di negaranya. Dia juga mencoba menyebarkan rasa takut bahwa AS berada di bawah ancaman asing, seperti China, ancaman Islam, dan tenaga kerja imigran Meksiko. "Yang menarik dalam kasus Donald Trump, tidak selalu yang disampaikan itu benar, yang penting didengar orang. Makin kontroversial, makin bagus," ujar Qodari.
Strategi ini mirip dengan yang dilakukan Prabowo. Dalam pidato akhir Maret 2018, Prabowo menyebutkan ramalan Indonesia akan bubar pada 2030. Referensinya berdasarkan novel karangan dua pakar politik dan kebijakan asal AS. Prabowo juga menuding banyak elite pejabat di Indonesia yang goblok, bermental maling, dan tidak setia pada rakyat.
(Baca: Polemik “Make Indonesia Great Again” Prabowo di Mata Kedua Kubu)
Pesan-pesan yang disampaikan Prabowo seolah menyiratkan Indonesia akan menjadi hancur jika bukan dia pemimpinnya. Qodari mengatakan jika pesimisme dan ketakutan berhasil dikembangkan dan mempengaruhi masyarakat, kecenderungan memilih Prabowo sebagai presiden bisa lebih besar dibanding memilih Joko Widodo (Jokowi).
Menurutnya, model kampanye seperti yang dilakukan Trump cukup efektif meraup suara. Model ini pun dinilai sudah menjadi tren global. Ada kemungkinan Prabowo terinspirasi dengan gaya Trump yang sukses memenangkan Pilpres di AS. Kampanye Trump menggunakan slogan 'Make America Great Again', artinya membuat Amerika menjadi hebat lagi. Menurut Qodari, terjemahan bebas dari pidato Prabowo Maret lalu adalah membuat Indonesia menjadi hebat lagi, seperti 'Macan Asia'.
Prediksi Qodari ternyata dibuktikan dalam pidato Prabowo enam bulan kemudian. Saat Rakernas LDII Oktober lalu, Prabowo meneriakan slogan "Make Indonesia Great Again." Namun, Prabowo membantah dirinya meniru Trump. Sebab, istilah ini sudah pernah diungkapkan dalam dua buku yang ditulisnya.
(Baca juga: Gerilya Politik Sandiaga Uno dan Strategi Kampanye Prabowo)
Analis politik dari Exposit Strategic Arif Susanto juga sependapat gaya kampanye Prabowo meniru Trump. Ini terlihat dari sikap tim kampanyenya yang tak terlalu bergantung pada hasil sigi berbagai lembaga survei. Prabowo lebih memilih terjun langsung menemui para pendukungnya lewat gelaran rapat-rapat akbar sebagaimana dilakukan Trump. Tim suksesnya pun seolah mengarahkan masyarakat agar tidak mempercayai lembaga survei dan yakin dengan hasil surveinya sendiri yang menyatakan elektabilitas Prabowo-Sandi lebih tinggi dari Jokowi-Ma’ruf.
Kesamaan lain dengan Trump, Prabowo kerap meminta para pendukungnya memastikan nama mereka masuk dalam Daftar Pemilih Tetap (DPT), sementara Trump sering meminta warga AS menggunakan hak suara. Selain itu, Prabowo sering mengkritik berbagai masalah yang terjadi selama pemerintahan Jokowi, seperti kondisi ekonomi, kemiskinan, serta lapangan kerja.
Prabowo menjanjikan akan mampu menyelesaikan masalah tersebut, jika terpilih pada Pilpres 2019. Hanya saja, Prabowo tak pernah mengemukakan bagaimana langkah menyelesaikan masalah tersebut. Menurut Arif, hal tersebut juga dilakukan Trump ketika berkampanye di Pilpres AS. "Kalau berkaca pada Pemilu AS, yang sengaja diabaikan oleh Trump adalah pertanyaan bagaimana menyelesaikan masalah," ujarnya.
(Baca juga: Tuding Media, Prabowo Gunakan Strategi 'Firehose of Falsehood')
Kampanye Prabowo pun tak pelak dari politik identitas. Kampanyenya sering mengingatkan masyarakat menjaga Indonesia supaya tidak dikuasai oleh antek asing. Tak hanya itu, Prabowo beberapa kali menggunakan data-data yang tak tepat ketika berkampanye. Semisal, Prabowo mengutip data Bank Dunia (World Bank) bahwa 99% masyarakat Indonesia hidup pas-pasan. Beberapa hari kemudian, World Bank membantahnya.
Contoh lainnya ketika Prabowo menyebut angka kemiskinan Indonesia naik 50% selama masa kepemimpinan Jokowi. Padahal, data Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan kemiskinan cenderung turun, bahkan mencapai rekor terendah sejak 1998. Prabowo juga sempat mengatakan rasio pajak saat ini lebih rendah ketimbang pada era Orde Baru.
Menurut Arif, penggunaan data yang tak tepat juga dilakukan Trump selama berkampanye. Salah satunya, menggunakan data bohong yang menyebut imigran ilegal di AS mencapai 30 juta jiwa. Padahal, Departemen Keamanan Dalam Negeri AS mencatat jumlahnya hanya 11,4 juta pada 2012. "Itu kan data palsu, tapi dia (Trump) enggak peduli," kata Arif.
Arif menilai strategi Trump ini akan berbahaya jika terus diterapkan dalam Pilpres 2019. Menurutnya, strategi ini akan buruk bagi kualitas demokrasi Indonesia ke depan. Strategi ini pun bakal memunculkan polarisasi di masyarakat semakin besar yang pada akhirnya dapat membuat kegaduhan.
(Baca juga: Menanti Gaya 'The New Prabowo' untuk Gaet Kaum Milenial)