Harga minyak dunia terus merosot sejak bulan lalu, tapi belum juga berdampak pada penurunan harga bahan bakar minyak (BBM). Pemerintah akan meminta perusahaan penjual BBM menurunkan harga. Pemerintah juga sedang menyiapkan formula harga baru untuk BBM jenis premium, yang selama ini kerap merugikan PT Pertamina (Persero).

Mengutip data Bloomberg, harga minyak jenis Brent menyentuh level terendah sejak Juni 2017, yakni US$ 58,8 per barel pada akhir pekan lalu. Padahal harganya sempat mencapai US$ 84,16 per barel pada 5 Oktober lalu, yang merupakan level tertinggi harga minyak Brent dalam tiga tahun terakhir.

Sejalan dengan harga minyak, nilai tukar rupiah terhadap dolar pun menguat. Sejak pertengahan tahun, nilai tukar rupiah terus melemah hingga tembus Rp 15.400 per dolar Amerika Serikat (AS) pada Oktober lalu. Memasuki November, rupiah sudah kembali menguat hingga ke level Rp 14.510 per Selasa kemarin.

(Baca: Anjlok ke Level US$ 50, Harga Minyak Brent Terendah sejak Oktober 2017)

Harga minyak dunia yang sudah turun dan menguatnya rupiah, seharusnya berpengaruh pada harga bahan bakar minyak (BBM). Dua komponen ini sangat merupakan penentu harga BBM di dalam negeri. Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) telah menyatakan akan memanggil dan meminta perusahaan penjual BBM nonsubsidi, seperti Shell, Pertamina, dan Total menurunkan harga.

"Kalau harga minyak turun, harga jual (BBM) juga harus turun dong," kata Direktur Jenderal Migas Kementerian ESDM Djoko Siswanto di Jakarta, Rabu (21/11). Meski begitu, dia menyadari para pengusaha harus menghitung kembali kemungkinan menurunkan harga BBM saat ini. Sebab, mereka telah mengimpor minyak sebelumnya, dengan harga lama. Sedangkan harga minyak baru turun dalam sebulan belakangan.

(Baca: Pengusaha SPBU Dukung Penurunan Harga BBM)

Awal bulan lalu, sejumlah badan usaha yakni Total, Vivo, dan Shell baru menaikkan harga BBM nonsubsidi, akibat naiknya harga minyak dan pelemahan rupiah. Keduanya resmi menaikkan harga BBM mulai akhir bulan lalu. Sejak awal tahun, Shell sudah menaikan harga BBM sebanyak sembilan kali, sedangkan Total sudah delapan kali.

(Baca: Shell dan Total Naikkan Lagi Harga BBM untuk Periode November)

Berdasarkan keterangan resmi dari Badan Pengatur Hilir Minyak dan Gas (BPH Migas), Total menaikkan harga tiga produk BBM-nya dengan rentang Rp 150-300 per liter. Vivo juga menaikkan harga BBM mulai dari Rp 1.000-1.250 per liter. Sedangkan kenaikan harga Shell di rentang Rp 200-300 per liter. Pertamina menyusul belakangan dengan kenaikan Rp 900-2.100 per liter.

Harga BBM nonsubsidi memang telah diatur dalam Peraturan Menteri ESDM Nomor 34 tahun 2018. Harga tertinggi ditentukan berdasarkan harga dasar ditambah Pajak Pertambahan Nilai (PPN), dan Pajak Bahan Bakar Kendaraan Bermotor (PBBKB) yang ditetapkan masing-masing provinsi. Kemudian margin badan usaha maksimal 10% dari harga dasar. Badan usaha tak perlu persetujuan pemerintah dalam menetapkan harga.

Direktur Pemasaran Retail Pertamina Mas'ud Khamid mengatakan harga BBM nonsubsidi memang mengikuti perkembangan harga minyak du‎nia. Namun, perusahaan masih menunggu sinyal dari pemerintah untuk bisa menurunkan harga BBM-nya. "Kami menunggu pemerintah. Menunggu dipanggil dulu," katanya di Kantor Kementerian BUMN, Jakarta, Senin (26/11).

(Baca: Pertamina Sebut Penurunan Harga BBM Tak Bisa Tiba-tiba)

Bagaimana dengan BBM subsidi seperti solar dan BBM lain seperti premium yang harganya masih ditentukan oleh pemerintah? Saat harga minyak tinggi bulan lalu, Pertamina sempat mengeluh harus menanggung rugi dari penjualan premium. Pada semester I-2018 saja, laba bersih Pertamina sudah anjlok 73% akibat penjualan BBM. (Baca: Terpukul Harga Minyak, Laba Pertamina Anjlok di Bawah Rp 5 Triliun)

Menteri ESDM Ignasius Jonan sempat mengumumkan kenaikan harga premium pada 10 Oktober lalu.  Untuk wilayah Jawa, Madura dan Bali (Jamali) naik menjadi Rp 7.000 per liter dan di luar wilayah tersebut menjadi Rp 6.900 per liter. Namun, selang beberapa jam kemudian, Presiden Joko Widodo (Jokowi) menganulirnya. Harga premium untuk Jamali tetap Rp 6.450 dan luar Jamali Rp 6.550 per liter.

Rencana kenaikan harga BBM tersebut gagal sebelum terealisasi. Ada tiga pertimbangan Jokowi menunda kenaikan harga Premium. Pertama, Presiden meminta kajian lebih lanjut terhadap perubahan harga minyak internasional. Kedua, analisis kebijakan fiskal. Ketiga, mengutamakan daya beli masyarakat agar tetap terjaga.

(Baca: Ternyata, Menteri Rini yang Minta Penundaan Kenaikan Harga BBM)

Keputusan pemerintah tidak menaikkan harga solar dan premium dikhawatirkan akan menyandera laba Pertamina. Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) tahun ini mengalokasikan subsidi energi sebesar Rp 163,4 triliun. Subsidi ini mengacu pada asumsi harga minyak Indonesia (ICP) US$ 48 per barel dan nilai tukar rupiah Rp 13.500 per dolar AS.

Sejak kuartal I, asumsi ini sebenarnya sudah meleset. Bahkan, di awal Oktober ICP sudah mencapai US$ 77,56 per barel dan dolar AS mencapai Rp 15.400. Meski asumsi harga minyak dan nilai tukar lebih tinggi dari asumsi, pemerintah tidak melakukan perubahan dalam APBN. Anggaran subsidi energi pun tidak ditambah. Alhasil, Pertamina harus menanggung kerugian ini sendiri. Apalagi, BBM jenis premium sudah tidak mendapatkan subsidi sejak 2015, tapi harganya masih diatur oleh pemerintah.

Akibat tidak ada kenaikan harga premium, Lembaga pemeringkat utang Fitch Rating memprediksi keuangan Pertamina akan makin tertekan tahun ini. Dalam keterangan resmi yang dipublikasikan Selasa (16/10), Fitch memprediksi laba sebelum bunga, pajak, penyusutan dan amortisasi (EBITDA) Pertamina tahun ini akan turun menjadi di bawah US$ 6 miliar. Padahal, tahun 2017 bisa mencapai US$ 6,9 miliar.

Setidaknya, turunnya harga minyak dunia menjelang tutup tahun bisa sedikit memberi angin segar bagi keuangan Pertamina. Hingga saat ini pun belum ada keputusan dari pemerintah terkait penurunan harga BBM. Pemerintah masih harus mengkajinya bersama dengan Pertamina.

Rencananya, Kementerian ESDM akan mengubah formula harga BBM premium, karena dianggap sudah tidak relevan. Wakil Menteri ESDM Arcandra Tahar mengatakan formula harga yang baru harus menyesuaikan struktur biaya yang ada.

Dia membantah perubahan formula harga ini untuk membantu keuangan Pertamina yang kerap rugi menjual BBM premium. Apalagi, harga BBM premium tidak mengalami perubahan sejak April 2016. Meski begitu, formula ini akan memberikan efek pada harga yang lebih mencerminkan harga keekonomian yang sesungguhnya. "Formula itu mencerminkan real cost-nya Pertamina. Jadi, efeknya Pertamina mendapatkan formula yang mencerminkan biaya mendekati apa yang dikeluarkan," ujar Arcandra.

Dalam formula yang baru, komponen pembentukan harga premium setidaknya terdiri dari PPN, PPKB, biaya tambahan distribusi, margin pertamina, margin Stasiun Pengisian Bahan Bakar Umum (SPBU), komponen biaya distribusi dan penyimpanan. Dia memastikan formula harga yang baru, lebih efisien bagi masyarakat. "Jadi, perubahan harga itu semata-mata agar harga BBM Premium lebih adil. Yang fair saja," kata Arcandra di Jakarta, Kamis (22/11).

Arcandra juga mengaku pihaknya sudah merampungkan pembentukan formula harga baru untuk Solar dan Elpiji. Namun, dia tidak merinci formula harga tersebut. Yang jelas formula harga baru Elpiji dan Solar itu sudah disampaikan ke Kementerian Keuangan dan belum diterapkan.

Rencana mengubah formula harga BBM ini sebenarnya telah disampaikan Arcandra pada awal 2018. Saat itu, dia mengatakan formula harga BBM yang berlaku saat ini, dibuat pada saat harga minyak tinggi. Makanya, perlu dibuat formula baru, yang cocok saat harga minyak rendah.

(Baca: Arcandra Sebut Formula Baru BBM Premium Lebih Efisien Bagi Masyarakat)

Pendiri Reforminer Institute Pri Agung Rakhmanto mengimbau agar pemerintah membuat formula harga BBM Premium, sejalan dengan pergerakan harga minyak dunia. Pemerintah juga harus menerapkan mekanisme evaluasi dan penyesuaian harga BBM secara berkala. Misalnya setiap tiga bulan sekali, seperti yang pernah diterapkan sebelumnya.

"Jangan sampai hanya sekedar perubahan (formula), tapi esensi tujuan yang dituju tidak signifikan, dan membawa implikasi yang tidak kondusif misalnya disinsentif terhadap Pertamina dalam penyaluran dan pendistribusian energi," ujarnya.

Terkait revisi formula pembentuk harga BBM Premium, Direktur Pemasaran Retail Pertamina Mas'ud Khamid mengatakan, adanya revisi ini tentu akan memengaruhi keuangan Pertamina. "Iya dong, namanya juga formula," ujarnya. Harga premium dan solar akan berpatokan pada formula yang dibuat. Tidak seperti sekarang, harganya tidak aktif menyesuaikan formula. Sebab, ada beberapa pertimbangan, seperti daya beli masyarakat.