Patokan Harga Beras Berpotensi Meningkatkan Angka Kemiskinan

ANTARA FOTO/Aloysius Jarot Nugroho
Dua orang buruh tani menanam padi di Delanggu, Klaten, Jawa Tengah, Jumat (3/3). Bedasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) nilai tukar petani nasional pada Februari 2017 mengalami penurunan dibanding Januari 2017, yaitu 100,91 menjadi 100,33. Penurunan
14/12/2017, 20.57 WIB

Kebijakan Harga Eceran Tertinggi (HET) beras yang diberlakukan oleh Kementerian Perdagangan sejak 1 September 2017 lalu dinilai merugikan petani. Dalam jangka panjang, kebijakan ini bahkan berpotensi bakal meningkatkan angka kemiskinan.

Kebijakan penetapan batas atas (ceiling price) harga jual sesungguhnya dimaksudkan untuk stabilisasi harga beras dan menekan inflasi. Persoalannya, langkah ini tidak ditunjang oleh kesiapan instrumen pendukung produksi padi pada hulu rantai pasok.

Kondisi ini yang menurut Koordinator Nasional Koalisi Rakyat untuk Kedaulatan Pangan, Said Abdullah, membuat kebijakan HET hanya akan menguntungkan konsumen. Padahal, seharusnya stabilisasi harga pangan juga melihat sisi produksi. “Supaya seimbang," kata Said dalam lokakarya yang mengulas kebijakan stabilisasi pangan di Jakarta, Rabu (13/12).

Kementerian Pertanian juga tak lepas dari sorotan Said. Sebab, program swasembada pangan yang dijalankan oleh Kementerian ini dinilai tidak banyak berdampak bagi kesejahteraan petani. "Petani saat ini tidak lebih dari alat produksi untuk mengejar swasembada," ujarnya.

Ancaman Kemiskinan

Buruknya kondisi yang dihadapi petani ini berpotensi meningkatkan angka kemiskinan nasional. Sebab, data Badan Pusat Statistik (BPS) sejak 2000 hingga 2015 menunjukkan, tingkat kemiskinan di desa yang bercorak agraris selalu lebih tinggi dari perkotaan.

Pada 2015, penduduk miskin di desa sebanyak 17,9 juta jiwa, sedangkan penduduk miskin di kota sebesar 10,6 juta jiwa. Dalam Survei Sosial Ekonomi Nasional pada 2016, beras juga menjadi komoditas yang berkontribusi paling besar terhadap garis kemiskinan penduduk perdesaan.

Kontribusinya mencapai 25,4 persen. Kemudian diikuti oleh rokok 10,7 persen dan daging sapi 3,5 persen. Karena itu, "Walau tren kemiskinan turun, rentang kemiskinan desa dengan kota selalu jauh," ujar Said.


Tingkat Pengangguran dan Kemiskinan (2014-2017)

Adanya penetapan HET dikhawatirkan akan semakin memperburuk tingkat kemiskinan di pedesaan dalam jangka panjang. Salah satu argumen Said, pembatasan harga di tingkat konsumen bakal membuat pedagang menekan harga ke petani.

Penetapan Harga Pembelian Pemerintah (HPP) untuk gabah pun dinilai tak cukup efektif membantu petani. Sebab, petani yang membutuhkan uang untuk kembali menanami lahannya cenderung menjual gabah ke tengkulak seketika setelah panen, di saat harganya rendah.

Biaya Produksi Tinggi

Faktor lain yang memperberat kondisi petani adalah biaya produksi padi yang relatif tinggi. Menurut data International Rice Research Institute (IRRI) tahun 2013, biaya produksi padi Indonesia mencapai US$ 0,37 atau Rp 5 ribu per kilogram. Dengan produksi gabah sebanyak 5,2 ton untuk 1 hektare sawah, maka biaya produksinya bisa mencapai Rp 25,9 juta.

Angka ini paling tinggi dibanding produsen beras Asia lainnya, yaitu Tiongkok, India, Thailand, Vietnam, dan Filipina. Data BPS pada 2014menunjukkan, 30 persen dari total biaya produksi padi untuk sewa lahan dan 35 persen lainnya untuk ongkos tenaga kerja.

(Baca juga: Harga Gabah Tinggi, Harga Beras Ikut Naik)

Dengan biaya produksi sebesar itu, Said menilai penetapan HET beras medium sebesar Rp 9.450–Rp 10.250 per kilogram hanya akan merugikan petani. "Kalau terus-menerus rugi, petani tanaman pangan bisa beralih menggarap tanaman hortikultura, sehingga tujuan kedaulatan pangan bisa gagal," tuturnya.

Pandangan lain disampaikan oleh Guru Besar Institut Pertanian Bogor (IPB) Muhammad Firdaus. Menurut dia, aturan HET harus diikuti upaya pemerintah untuk menjaga Nilai Tukar Petani (NTP) pada tingkat layak usaha.

Ia juga mengkritik kebijakan HET yang dinilainya gagal karena implementasi hukumnya tidak jelas. "HET semestinya dikembalikan ke harga referensi, sebab dengan begitu, pasar tetap memiliki ruang untuk beradaptasi.”


Harga Beras Rata-Rata Kualitas Medium II per Provinsi (7 Des 2017)

Melonjaknya Permintaan

Anggota Ombudsman Republik Indonesia, Alamsyah Saragih, juga menjelaskan bahwa turunnya produksi padi akibat cuaca saat ini secara alami akan menyebabkan naiknya harga beras.

Kondisi ini diperparah dengan permintaan beras di pasaran yang akan semakin tinggi karena perubahan sistem bantuan dari Beras Sejahtera (Rastra) menjadi Bantuan Pangan Non-Tunai (BPNT). Dengan sistem baru ini, kelompok masyarakat miskin akan mendapatkan sejumlah dana yang disalurkan via bank, untuk dibelanjakan membeli bahan pangan.

Pada 2017, ada sekitar 14,2 juta penduduk yang biasa menerima Rastra. Alamsyah mengatakan jika Rastra dihentikan secara mendadak, permintaan beras medium di pasar komersional akan naik. "Permintaan yang terus naik malah akan memicu lonjakan harga dan inflasi yang tidak bisa dibendung dengan HET," ujar Alamsyah.

Ia menambahkan, BPS rutin menggelar survei angka kemiskinan pada Maret dan September setiap tahun. "Dampak kebijakan yang tak tepat akan memunculkan kemiskinan baru."

(Baca juga: Kekurangan Stok Beras Medium, Indonesia Butuh Impor)

Kekhawatiran Alamsyah tak ditampik oleh Direktur Operasional dan Pelayanan Publik Bulog, Karyawan Gunarso. Menurut dia, kebijakan pemerintah terkait pangan, terutama beras, memang sangat erat kaitannya dengan angka kemiskinan dan laju inflasi.

Ia mencontohkan, keterlambatan distribusi Rastra pada awal tahun ini memicu bertambahnya 6.900 penduduk miskin pada survei BPS periode Maret 2017, dari posisi September 2016. Padahal, tahun depan Bulog tidak akan lagi menyalurkan Rastra, berhubung bantuan sudah ditransformasi untuk BPNT.

Mulai 2018, Bulog hanya akan menyiapkan stok 960 ribu ton beras untuk persiapan bantuan sosial, juga sebagai cadangan beras pemerintah. "Sesuai dengan aturan, hingga sekarang posisi Bulog adalah operator, kami tidak ambil porsi kebijakan," kata Karyawan.

Pemerintah Berkeras

Suara berbeda diungkapkan Kepala Badan Ketahanan Pangan Kementerian Pertanian Agung Hendriady. Ia membantah sinyalemen kemungkinan terjadinya kelangkaan beras. Berdasarkan catatannya, ada 260 ribu ton beras milik pemerintah di gudang Bulog yang siap digelontorkan untuk operasi pasar.

Jumlah beras yang beredar di pasaran pun dalam kalkulasinya masih cukup besar. "Dari survei Sucofindo dan Kementerian Perdagangan, cadangan beras masyarakat masih ada 8,1 juta ton," kata Agung.

Meski begitu, indikasi adanya tren kenaikan harga beras diakui oleh Direktur Jenderal Perdagangan Dalam Negeri Kementerian Perdagangan Tjahya Widayanti. Hal ini akibat dari berkurangnya produksi dan tambahan permintaan menjelang Natal dan Tahun Baru.

Namun, ia menandaskan, pemerintah sudah siap mengantisipasinya dengan operasi pasar "Kami membantu masyarakat untuk mendapatkan bahan pokok dengan harga terjangkau,” ujarnya. “Operasi pasar adalah gerakan supaya membuat harga tidak meningkat.”

Bisa jadi atas dasar keyakinan itu, Menteri Perdagangan Enggartiasto Lukita masih berkeras untuk menerapkan kebijakan HET, terutama bagi retail modern. Ia bahkan mengancam. “Jika retail modern menjual bahan pokok di atas HET, maka akan kami cabut izinnya. Kami akan pasang garis polisi karena melanggar ketentuan,” katanya, seperti dikutip melalui akun Twitter resmi @Kemendag.

Reporter: Michael Reily