Berita hoax yang menghebohkan
Menurut Eko, situs berita hoax bekerja tidak seperti media online yang dilengkapi wartawan di lapangan untuk memproduksi berita. Mereka hanya melakukan twisting (pelintiran) terhadap sumber-sumber berita yang telah ada. Jadi, mereka tidak membutuhkan tim yang besar.
Namun, para pembuat berita palsu memiliki pemahaman yang baik mengenai internet marketing. Buktinya, situs seperti posmetro dan nusanews sempat dikategorikan sebagai “news” oleh Google sebelum akhirnya diblokir.
Pantauan MAFINDO, fenomena produksi berita palsu di Indonesia mulai marak sejak pemilihan Gubernur DKI Jakarta tahun 2012. Aktivitasnya kian meningkat pada hajatan pemilihan presiden pada 2014 hingga sekarang. Menjelang pemilihan Gubernur DKI Jakarta Februari tahun depan, fenomena berita hoax juga berkembang.
(Baca: Terseret Hoax, Harga Saham Sari Roti Melorot Tipis)
Sejauh ini, menurut Eko, motivasi para pengelola situs berita palsu masih tergiur oleh pundi uang yang dihasilkan dari iklan. “Apakah berita hoax ada yang memesan? Nah kami belum tahu kalau ada pesanan, tapi tidak menutup kemungkinan tersebut,” katanya.
Ia menjelaskan penyebaran berita palsu di media sosial dilakukan oleh beberapa influencer dan buzzer. Ketika berita-berita ini dibagikan di Facebook atau Twitter, influencer ini bisa mendorong trafik yang luar biasa besar, mencapai ribuan atau puluhan ribu klik.
Menurut Eko, polarisasi politik cenderung membuat orang hanya membaca berita yang disukainya atau berasal dari tokoh yang berafiliasi dengan pilihan politiknya. “Karena banyak masyarakat yang telanjur alergi dengan media mainstream, yang menurut mereka tidak berpihak kepada mereka, situs abal-abal ini akhirnya booming,” ujarnya.
Momen pemilihan Presiden AS yang baru saja berlalu juga dipenuhi dengan berita-berita palsu yang sebarannya meluas melalui media sosial. Buzzfeed, media internet terkemuka di AS, mencatat lima berita hoax yang sangat populer di dunia seputar pemilihan Presiden AS pada November lalu.
Pertama, "Paus Francis merestui Donald Trump sebagai Presiden Amerika" yang dibagi 960 ribu kali. Kedua, "WikiLeaks ungkap Hillary menjual senjata ke ISIS" dibagi 789 ribu kali.
Ketiga, "Surat elektronik Hillary-ISIS" dibagi 754 ribu kali. Keempat, "Hillary langgar hukum federal" yang dibagi 701 ribu kali. Kelima, "Agen FBI temukan mayat bunuh diri di apartemen Hillary" yang dibagi 567 ribu kali. (Baca: Ramai Diboikot, Inilah Profil Pemilik Sari Roti)
Belum lama ini, media berpengaruh di AS, The New York Times, merekonstruksi bagaimana sebuah kabar palsu yang menjadi viral di media sosial hingga dianggap sebagai sebuah kebenaran dan menggegerkan publik. Kabar palsu itu mengenai adanya demonstran bayaran yang tidak suka dan ingin menjatuhkan presiden terpilih AS., Donald Trump.
Eric Tucker, pendiri sebuah perusahaan pemasaran di Austin, Texas, memotret banyak bus yang terparkir di dekat pusat kota. Ia menganggapnya sebagai hal yang tidak biasa. Dugaannya, bus-bus itu mengangkut massa demonstran yang tengah menggelar aksi protes menentang Trump. Kala itu, awal November lalu, Trump baru saja memenangkan pemilihan Presiden AS.
Ia kemudian mengunggah tiga foto disertai cuitan di akun Twitter miliknya. “Demonstran anti-Trump di Austin hari ini tidak terstruktur seperti kelihatannya. Ini bus-bus yang membawa mereka. #fakeprotests #trump2016 #austin.”
Meski hanya ada 40 pengikut (follower) akunnya., cuitan Tucker tersebut seketika menjadi viral di media sosial. Cuitan itu diduplikasi (retweet) sebanyak 16 ribu kali dan dibagi (share) 350 ribu kali di Facebook.
Persoalannya, belakangan, diketahui cuitan Tucker tersebut salah. Faktanya, tidak ada deretan bus yang membawa rombongan demonstran bayaran. Bus-bus itu sebenarnya disewa oleh perusahaan Tableau Software yang sedang menggelar konferensi di Kota Austin. Konferensi itu dihadiri oleh lebih 13 ribu orang.
Dalam cuitan lanjutannya, Tucker mengaku tidak melihat adanya aktivitas turun-naik penumpang dari bus tersebut. Namun, dia berasumsi bus-bus itu mengangkut demonstran karena berada di dekat lokasi aksi protes pada waktu bersamaan.
Dalihnya lagi, sebagai seorang pengusaha yang sangat sibuk, Tucker tidak punya cukup waktu untuk memeriksa segalanya sebelum mengunggah foto dan tulisannya di Twitter. Apalagi, dia tidak menduga konten tersebut menjadi konsumsi banyak orang.
“Saya tidak memikirkan adanya penjelasan lain ketika itu,” ujarnya dalam sebuah wawancara, seperti dilansir The New York Times, 20 November lalu.
Meski begitu, foto dan cuitan pria 35 tahun ini telanjur sudah beredar. Cuitan awal Tucker telah di-retweet dan disukai lebih 5.000 kali, dan jumlahnya terus bertambah.
Cuitan Tucker juga diunggah ke komunitas Reddit dengan judul: “BREAKING: Bus-bus mereka ditemukan! Puluhan bus terparkir hanya beberapa blok dari lokasi demonstrasi Austin.”
Direktur Corporate Affairs Coach USA North America, Sean Hughes, menyesalkan masalah ini. Perusahaan bus tersebut membantah keterlibatan armadanya dalam aksi demonstrasi.
Masalahnya, hampir tidak ada wartawan yang mengkonfirmasi dirinya perihal informasi tersebut. Seorang reporter stasiun televisi Fox di Austin menanyakan, "Anda sepertinya menerima lebih banyak telepon sejak informasi keliru itu tersebar luas.”
Hughes menjawab, “Anda sebenarnya wartawan kedua yang menelepon saya untuk melakukan konfirmasi. Tidak ada bloggers atau yang lainnya. Padahal kami mudah dihubungi melalui website.” Ia berharap masyarakat melihat fakta-fakta yang ada terlebih dahulu sebelum menyebarluaskan informasi keliru.
Doreen Jarman, Juru bicara Tableau, mengatakan telah mengeluarkan pernyataan kepada sebuah stasiun televisi lokal KVUE dan The Austin American-Statesman. Perusahaan itu menjelaskan, deretan bus dalam foto Tucker digunakan untuk keperluan konferensi perusahaan.
Setelah itu, Tucker mengunggah sebuah tautan blognya melalui Twitter, yang berisi pengakuannya mengenai informasi keliru. Bahkan, dia menghapus cuitan lamanya dan mengunggah konten baru berisi foto bus-bus itu dengan tulisan “false” atau “keliru”.
Namun, langkah itu seperti menggarami laut. Setelah satu pekan, cuitan ralat ini hanya mendapatkan 29 retweet dan disukai 27 pengguna. Sedangkan cuitan awalnya tetap tersebar luas di Facebook melalui Free Republic dan laman-laman seperti Right Wing News serta Joe the Plumber.
Tucker pun sangat menyesal. Ia mengatakan, jika bisa memutar waktu kembali, ia ingin menulis cuitan tersebut dengan sangat berbeda dan obyektif. “Saya akan lakukan yang terbaik untuk melihat fakta-fakta yang ada dan memperjelas antara opini dan yang bukan opini."