Bolong Bansos Pemerintah di Kelas Menengah Bawah

123rf/Igor Sapozhkov
Ilustrasi
27/4/2020, 06.00 WIB

Bansos Kelompok Rentan Miskin Dinilai Tak Cukup

Peneliti INDEF Bhima Yudhistira menilai ragam bansos yang diberikan pemerintah tak cukup menjadi jaring perlindungan sosial bagi masyarakat bawah di tengah corona. Sebab jumlah penerima manfaat sebenarnya sama dengan sebelum terjadi pandemi, yakni 40 % masyarakat berpenghasilan terbawah atau masyarakat miskin. Nilai subsidinya saja yang ditambah.

Menurut data BPS, jumlah masyarakat miskin Indonesia per semester kedua 2019 adalah 24,79 juta jiwa. Jumlah itu menurun dari 25,67 juta jiwa pada 2018 dan dari 26,58 juta jiwa pada 2017. Tingkat kemiskinan pada 2019 sebesar 9,22 %. Untuk statistik masyarakat miskin bisa dilihat dalam Databoks di bawah ini:

Dengan angka pengangguran yang meningkat seiring gelombang PHK saat pandemi, menurut Bhima, semestinya penerima manfaat tak hanya fokus pada 40 % masyarakat terbawah. Melainkan harus memperhatikan kelompok aspiring middle class atau kelompok masyarakat rentan miskin yang jumlahnya 45 % dari total penduduk.

Laporan Bank Dunia berjudul Aspiring Indonesia, Expanding the Middle Class yang dipublikasikan awal tahun lalu menyebut jumlah kelompok masyarakat rentan sebanyak 115 juta orang. Mereka adalah orang-orang yang telah berhasil lepas dari kemiskinan tapi belum mencapai tingkat ekonomi aman.  

“Subsidi listrik misalnya, masyarakat rentan miskin tidak ada yang pakai 450 VA, tapi antara 900 VA dan 1300 VA,” kata Bhima kepada Katadata.co.id, Jumat (24/4). “Yang 900 VA sudah disubsidi 50 %, semestinya 1300 VA juga,” imbuhnya.  

Bhima pun menyebut besaran kartu sembako senilai Rp 200 ribu tak cukup. Sebab, rata-rata pengeluaran masyarakat untuk makanan per bulan di angka Rp 500 ribu dan garis kemiskinan itu rata-rata pendapatan Rp 450 ribu. “Seharusnya diberikan BLT by name by address dengan besaran sekitar Rp 1,4 juta sampai Rp 1,7 juta,” katanya.

(Baca: Pandemi Mengubah Lanskap Gerai Retail, Siapa yang Diuntungkan?)

Pendapat Bhima selaras dengan data BPS. Pada 2018, rata-rata pengeluaran per kapita setiap bulan untuk makanan di desa dan kota adalah Rp 556.899. Dari jenisnya, rata-rata pengeluaran paling besar adalah makanan dan minuman jadi sebesar Rp 189.223 ribu per bulan.  

Bantuan langsung tunai (BLT) sesuai nama dan alamat, kata Bhima, bisa menjadi pengganti pendapatan minimum masyarakat. Dengan begitu perputaran ekonomi bisa tetap terjadi. Sebab masyarakat rentan miskin dan miskin adalah konsumen terbesar di negeri ini yang berguna untuk mendukung UMKM.

Kebijakan serupa BLT diterapkan di Australia. Melansir The Guardian, pemerintah Negeri Kanguru itu mempunyai kebijakan minimum income guarantee (MIG) untuk penduduk yang tak bekerja. Saat pandemi pemerintah Australia menambah besaran MIG US$ 550 dari sebelumnya US$ 565,70 untuk lajang tanpa anak, US$ 612 untuk lajang tapi punya anak dan lajang berumur 60 tahun atau lebih, dan US$ 510,80 masing-masing untuk yang berpasangan. Bantuan diberikan per dua minggu.

“Kapasitas fiskal Indonesia tidak akan mampu memang kalau handle semua, jadi harus difokuskan penambahan manfaatnya untuk kelompok rentan miskin,” kata Bhima.

Di sisi lain, Bhima menyarankan pemerintah untuk menunda proyek infrastruktur yang tak esensial. Misalnya, pembangunan ibu kota baru dan proyek kereta cepat yang menelan biaya ratusan triliun. Anggarannya bisa digunakan untuk stimulus Covid-19 selanjutnya.

Bhima menyarankan fokus kepada tiga kelompok. Pertama, kelompok rentan miskin yang di-PHK. Kedua, kelompok rentan miskin di zona merah. Ketiga, kelompok rentan miskin di wilayah Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB).

Langkah tersebut perlu dilakukan secepatnya. Sebab, menurutnya, kondisi terburuk pada kuartal kedua dan ketiga. Pada triwulan kedua PHK sudah banyak dan larangan mudik dilakukan yang bisa berimbas pada ekonomi daerah di triwulan ketiga.

“Biasanya lebaran menjadi puncak permintaan di daerah. Dengan PHK dan banyak yang tidak bisa mudik, itu tidak terjadi,” kata Bhima.

(Baca: Krisis Bahan Baku Impor Hantui Industri Farmasi

Dampak Terhadap Ekonomi

Jika tak cepat dilakukan, kata Bhima, dampak kepada ekonomi akan sangat besar. Angka kemiskinan bisa naik menjadi 11 % pada Maret 2021. Daya beli masyarakat pun akan jatuh. Pertumbuhan ekonomi bisa minus 2 %.

“Seberapa lama akan rebound tergantung pada besaran stimulus dan efektivitas programnya. Termasuk seberapa efektif penanganan corona,” kata Bhima.

Harapannya, saat ekonomi pulih akan membentuk kurva “V” atau pesat jika program yang dilaksanakan efektif untuk stimulus ekonomi maupun penanganan corona. Bukan dalam bentuk kurva “U” yang anjlok lagi setelah pulih.

Senada, Anggota Komisi XI dari Fraksi Golkar Puteri Komarudin menyatakan UMKM bisa sangat terdampak apabila stimulus tambahan tak dilakukan. Padahal, UMKM menjadi penyelamat ekonomi pada krisis 2008 dan 1997. “Ekonomi akan benar-benar terpuruk kalau UMKM jatuh. Karena UMKM mencakup 90 % industri di Indonesia,” katanya kepada Katadata.co.id, Jumat (24/4).

Apalagi menurut Puteri, penyaluran bansos yang sudah berjalan belum tepat sasaran. Dari data lapangan Komisi XI, masih banyak keluarga yang semestinya mendapat manfaat terlewat. Sebaliknya, banyak yang tak masuk kategori justru dapat. Di dapilnya, misalnya, di satu lingkungan hanya ada satu kepala keluarga yang mendapatkan padahal semestinya bisa lebih.

Selain untuk jejaring perlindungan sosial, Puteri meminta pemerintah menambah anggaran kesehatan yang saat ini masih rendah. Tanpa anggaran yang mencukupi, penanganan kesehatan akan melambat. Ia mencontohkan alat pelindung diri yang kurang untuk petugas medis dan membuat mereka rentan. Jika petugas medis semakin banyak yang meninggal, tak ada yang bisa memberi kepastian kapan pandemi berakhir dan ekonomi bisa semakin memburuk.

(Baca: Ambruknya Harga Minyak yang Menambah Beban Ekonomi RI)

Pemerintah Perbaiki Data Kelompok Rentan Miskin

Staf Khusus Menteri Keuangan, Masyita Crystalin menyatakan kendala dalam peningkatan stimulus ke kelompok rentan miskin adalah pendataan. Karena pemerintah belum memiliki data terpadu untuk bantuan langsung tunai (BLT) sesuai nama dan alamat.

Meski demikian, pemerintah sedang mempersiapkan peningkatan jumlah anggaran bansos. “Untuk yang desil 3 ke atas itu ditangani pemerintah daerah, karena mereka yang lebih cepat mengakses data,” kata Masyita dalam webinar Katadata.co.id melalui ZoomJumat (24/4).

Bantuan di luar 40 % masyarakat terbawah, kata Masyita, dilakukan dengan memberi sembako senilai Rp 600 ribu. Penyaluran dilakukan di DKI Jakarta kepada 1,2 juta KPM. Mereka di luar penerima PKH dan kartu sembako. Kartu prakerja juga ditujukan untuk kelompok masyarakat ini.

Pemberian bantuan kepada masyarakat rentan miskin karena kelompok itu sangat terdampak pandemi corona. Namun, ia menyatakan saat ini program yang diberikan “disesuaikan dengan kemampuan dari sisi financing dan pendapatan negara.” Karena, pemerintah juga mempersiapkan seandainya pandemi berlangsung lebih panjang dari prediksi.

Data Kemenkeu yang diunggah di situs resminya, realisasi pendapatan negara per Maret 2020 sebesar Rp 375,9 triliun. Terdiri dari penerimaan pajak Rp 241,6 triliun, penerimaan negara bukan pajak Rp 96 triliun, dan kepabeanan cukai Rp 38,3 triliun.

Dalam dua minggu ke depan, Masyita menyatakan pemerintah akan mulai melakukan program pemulihan ekonomi nasional menggunakan anggaran Rp 150 triliun yang termasuk dalam stimulus Rp 405,1 triliun.

Program ini untuk membantu dunia usaha yang saat ini penerimaannya turun. Terutama sektor nonformal dengan melalui subsidi bunga dan beberap hal lainnya. “Masih diselesaikan detailnya, jadi tak bisa disampaikan di sini,” kata Masyita.

Dia meyakinkan bahwa setelah krisis berlalu pemerintah akan memperbaiki pendataan agar ke depan bisa lebih tepat dalam menyalurkan bansos.

 (Baca: Pemerintah Berencana Tambah Anggaran Bansos Pandemi Corona)

Halaman:
Reporter: Dimas Jarot Bayu, Agatha Olivia Victoria