Besarnya ketergantungan industri farmasi Indonesia akan impor bahan baku obat dan alat kesehatan menjadi sorotan di tengah pandemi corona. Terkendalanya produksi di luar negeri seiring berbagai pembatasan sosial, ditambah perebutan dengan negara lain membuat Indonesia “kelimpungan”.

Pertengahan Maret lalu, Ketua Komite Perdagangan dan Industri Bahan Baku GP Farmasi Vincent Harijanto menyiratkan tipisnya stok obat di tengah pandemi. Stok obat-obatan fast moving forward alias yang kebutuhannya besar -- seperti paracetamol, antiseptik, dan ambroxol – hanya sampai Maret-April. Meskipun, ia meyakinkan kondisinya aman.

Advertisement

Sedangkan Staf Khusus Menteri BUMN Bidang Komunikasi Arya Sinulingga sempat menyinggung soal gerilya memburu obat dan bahan baku obat. Pemerintah harus menjemput dengan pesawat Garuda bahan baku obat Tamiflu sebesar 150 kilogram dari India. Tamiflu adalah obat antiviral yang dikenal untuk penanganan flu burung.

(Baca: Alat Pelindung Diri dan Alkes Kurang, Rumah Sakit Saling Bersaing)

Arya menceritakan itu saat membahas ketergantungan impor bahan baku obat dan alat kesehatan, serta dugaan permainan mafia yang memaksa Indonesia terus membeli bukan memproduksi. “Hanya 150 kilogram, kita harus pakai Garuda, meskipun ada chloroquin juga,” kata dia, beberapa waktu lalu.

Masalah bahan baku obat dan alat kesehatan impor sebetulnya bukan hal baru. Presiden Joko Widodo sempat menyoroti masalah ini dalam rapat terbatas membahas program kesehatan nasional, November tahun lalu. Ia menyebut 95% bahan baku obat dan alat kesehatan berasal dari impor. Ini artinya, hanya 5% yang tersedia di dalam negeri.

Kondisi ini, kata dia, tidak boleh dibiarkan berlama-lama. Ia meminta skema insentif untuk riset dan penyederhanaan regulasi. “Sehingga industri farmasi bisa tumbuh dan masyarakat bisa beli obat dengan harga yang lebih murah,” ujarnya. Seiring besarnya komponen impor, harga obat jadi rentan terhadap risiko nilai tukar rupiah. 

Belakangan, Menteri BUMN Erick Thohir kembali menyoroti masalah ini, dengan sindiran keras. Ia menduga adanya mafia yang membuat Indonesia terus bergantung pada impor, bukan memproduksi sendiri. Ini seperti yang kemudian dijelaskan stafnya, Arya Sinulingga, dalam kesempatan berbeda.

“Jangan-lah negara kita yang besar ini selalu terjebak praktik-praktik kotor sehingga alat kesehatan musti impor, bahan baku musti impor,” ujarnya dalam siaran langsung di Instagram pribadinya, beberapa waktu lalu.

(Baca: RI Impor Barang untuk Tangani Corona Rp 777 M, Terbesar dari Tiongkok)

PASOKAN CHLOROQUINE UNTUK TANGANI COVID-19
Pasokan klorokuin untuk tangani Covid-19. (ANTARA FOTO/Aditya Pradana Putra/pras.)

Bila mengacu pada data Kementerian Perdagangan, impor produk farmasi Indonesia mengalami kenaikan rata-rata 6,5% per tahun pada periode 2015-2019, meskipun pada 2019 tercatat turun 7,9% dibandingkan tahun sebelumnya. Nilai impor produk ini tercatat US$ 912,2 juta tahun lalu.

Impor produk tersebut naik signifikan pada dua bulan pertama tahun ini di tengah mulai meluasnya penyebaran virus corona. Nilainya tercatat US$ 173 juta, naik hampir 40% dari periode sama tahun lalu yang sebesar US$ 123,7 juta. Menurut asosiasi, impor berasal dari India dan Tiongkok.

Besarnya impor seiring dengan industri kimia dasar yang belum kuat di dalam negeri. Perusahaan-perusahaan farmasi pelat merah membidik penurunan impor dari 95% menjadi 75% tahun depan. Namun, untuk bisa turun lebih jauh diperlukan komitmen yang sama dari perusahaan farmasi swasta dan pengembangan industri kimia dasar.

(Baca: Kimia Farma Distribusikan 13 juta Obat Klorokuin untuk Pasien Covid-19)

Risiko dan Prospek Industri Farmasi di Tengah Pandemi

Lantas, bagaimana risiko dan prospek industri farmasi di tengah pandemi? Penjualan produk kesehatan memang berpotensi melonjak seiring naiknya kebutuhan masyarakat, namun industri farmasi dibayangi risiko peningkatan harga bahan baku. Ini imbas pelemahan nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat.

Menteri Perindustrian Airlangga Hartanto menyebut industri farmasi salah satu yang terpukul paling parah akibat pelemahan rupiah. "Industri pharmaceutical menjadi persoalan karena dia sebagian bahan baku impor, (sedangkan) jualnya rupiah," ujarnya, akhir Maret lalu.

Halaman:
Berita Katadata.co.id di WhatsApp Anda

Dapatkan akses cepat ke berita terkini dan data berharga dari WhatsApp Channel Katadata.co.id

Ikuti kami
Advertisement