Pukulan Beruntun Pandemi Corona yang Mengandaskan Industri Properti

ANTARA FOTO/Hafidz Mubarak A
ILustrasi. Pengunjung mendapatkan penjelasan dari pihak pengembang apartemen saat pameran hunian Indonesia Property Expo 2020 di Jakarta Convention Center, Senayan, Jakarta, Sabtu (15/2/2020).
4/5/2020, 06.10 WIB

Ibarat pertandingan tinju, kini industri properti tengah menerima pukulan upper cut dari pandemi corona. Penjualan pengembang turun signifikan dalam kuartal pertama 2020. Pembangunan unit baru pun tak berjalan akibat kebijakan pembatasan sosial berskala besar (PSBB) untuk memutus rantai persebaran virus corona. Pelaku industri ini terancam kolaps dalam waktu dekat.

Wakil Ketua Umum DPP Real Estate Indonesia (REI) Bidang Pertanahan Adri Istambul Lingga Gayo menyatakan anjloknya penjualan mulai terasa pada Maret, yakni turun 50 % dari bulan sebelumnya. Lalu semakin tajam memasuki April, setelah kebijakan PSBB diterapkan di sejumlah daerah.

“Prediksi kami Mei turun sampai 95 %,” kata Adri kepada Katadata.co.id, Kamis (30/4).

PSBB, kata Adri, telah membatasi pergerakan manusia yang berdampak pada perlambatan kegiatan ekonomi. Pelbagai industri terpukul dan banyak perusahaan melakukan efisiensi. Angka pemutusan hubungan kerja alias PHK mencapai dua juta orang, menurut data Kementerian Ketenagakerjaan. Daya beli masyarakat menurun, lebih-lebih untuk transaksi properti.

(Baca: Pertumbuhan Kredit Bank Kian Menyusut, per Februari Hanya 5,5%)

Penurunan daya beli masyarakat sudah tercermin dari survei Bank Indonesia (BI) terhadap optimisme konsumen pada Maret 2020. Indeks Keyakinan Konsumen (IKK) pada bulan itu turun menjadi 113,8 poin, lebih rendah dari Februari 2020 yang sebesar 117,7 poin.

Hal itu dipengaruhi oleh persepsi konsumen terhadap kondisi ekonomi saat ini dan ekspektasi terhadap kondisi ekonomi enam bulan ke depan. Terlihat hasil survei konsumen pada Maret menujukkan Indeks Kondisi Ekonomi Saat ini (IKE) turun 2,2 poin dan Indeks Ekspektasi Kondisi Ekonomi (IKE) melemah 5,5 poin dari Februari.

Dalam laporan survei BI dijelaskan, penurunan IKE dikarenakan berkurangnya keyakinan konsumen terhadap ketersediaan lapangan kerja saat ini. Angka keyakinan konsumen pada ketersediaan lapangan kerja pada Maret sebesar 86,0 poin atau lebih rendah dari Februari yang mencapai 90,1 poin.

Dipengaruhi juga berkurangnya keyakinan konsumen untuk melakukan pembelian barang tahan lama (durable goods). Pada Maret tercatat angkanya sebesar 109,9 poin atau lebih rendah dari bulan sebelumnya yang mencapai 112,3 poin. Properti menjadi salah satu barang tahan lama yang memengaruhi penurunan ini, selain peralatan elektronik.

(Baca: Stimulus Ekonomi Pemerintah Hidupkan Lagi Subsidi Selisih Bunga KPR)

Di sisi lain, Adri menyatakan penurunan penjualan disebabkan pengembang tak bisa memulai dan melanjutkan konstruksi unit baru. Imbasnya, tak banyak unit yang bisa dijual. Bahkan sebagian pengembang tak memiliki unit lagi. Ia memperkirakan kondisi ini berlangsung selama dua bulan ke depan atau bisa lebih panjang tergantung masa pelaksanaan PSBB.

“Untuk yang tinggal finishing dan telah terjadi transaksi tak masalah, tapi yang proses 30 % atau istilahnya stock in the middle ini masalah,” kata Adri.

Adri menaksir kerugian yang ditimbulkan mencapai ratusan triliunan rupiah. Bisnis properti memang bergerak dengan modal besar yang mencapai puluhan triliun rupiah. Ia pun memperkirakan jika pandemi mereda dalam dua bulan ke depan, sektor ini bisa pulih di Agustus atau September tahun ini.

Perkiraan ini berdasar asumsi konstruksi biasanya berlangsung 6-7 bulan. Dengan penundaan dua bulan karena PSBB, di bulan kedelapan atau kesembilan tahun ini transaksi yang tertunda bisa berjalan normal. “Kalau enam bulan masih bertahan, tapi lebih dari itu ya megap-megap,” kata pemilik PT. Podo Joyo Master Group ini.

(Baca: Posisi Kesiapan Indonesia di Dunia Hadapi Ledakan Covid-19)

Terhambatnya konstruksi selama PSBB dialami PT Kurnia Abadi, sebuah perusahaan kontraktor berbasis di Surabaya. Chief Manajerial Imam Tohari menyatakan tak mengambil satupun proyek baru dalam waktu dekat. Sebab proses pekerjaan konstruksi baru dilarang menurut aturan PSBB di wilayah Surabaya, Sidoarjo dan Gresik. Konstruksi hanya untuk yang sudah berjalan. Ketiga wilayah ini mulai memberlakukan PSBB pada 28 April.

“Kontraktor kecil seperti kami paling mampu bertahan sampai Juli, lebih dari itu tumbang juga,” kata Imam kepada Katadata.co.id, Kamis (30/4).

Kendala lain yang menghambat adalah kenaikan harga bahan baku, terutama yang mesti dipasok dari luar daerah, seperti besi dan galvalum. Kenaikannya mencapai 10 % dari harga normal dan membuat ongkos prodiuksi membengkak.

Saat ini perusahaannya hanya menggarap proyek dari industri, bukan lagi perumahan. Salah satunya dari Japfa Comfeed Indonesia yang memang telah sering menggunakan jasa perusahaannya.

Namun, terlepas dari kondisi keuangan perusahaannya, Imam mengkhawatirkan kondisi ekonomi pekerjanya. Terutama pekerja informal seperti kuli dan tukang yang tak mendapat penghasilan ketika tak ada proyek. “Dicari-carikan dari yang ada untuk mereka, biar semua yang biasa ikut kami sepuluh tahunan ini kebagian,” kata Imam.

(Baca: Meraba Wajah dan Tingkat Pemudik Saat Pandemi Covid-19)

Penjualan Perumahan di Jabodebek-Banten Terendah Dua Tahun Terakhir

Indonesia Property Watch (IPW) mencatat penjualan rumah di wilayah Jabodebek-Banten yang merupakan episentrum awal pandemi corona di negeri ini, turun ke titik terendah selama dua tahun terakhir. Nilai penjualan rumah di wilayah ini melemah 50,1 % untuk triwulan pertama 2020 dibanding kuartal keempat (Q4) tahun lalu. Nilainya sekitar Rp 719 miliar lebih rendah dari Q4 2019 yang sebesar Rp 1,4 triliun.

Sementara unit terjual pada triwulan ini menurun 50,4 % dibanding Q4 tahun lalu. Angkanya sebanyak 1.229 unit terjual atau lebih rendah dari Q4 tahun lalu yang mencatatkan penjualan 2.478 unit.

Dilihat dari rincian wiliayah, penjualan perumahan di Bekasi paling menurun, yakni sebesar 56,0 %. Lalu secara berurutan disusul Bogor (53,3 %), Depok (50, 9%), Serang (50,3 %), Tangerang (49,3 %), Jakarta (37,9 %), dan Cilegon (27,2 %).

Sedangkan dari sisi harga rumah, untuk unit di bawah Rp 300 juta, penjualannya menyusut 62,5 % secara kuartalan (QtQ) dan 68,8 % secara tahunan (YoY) atau dengan komposisi terjual sebesar 28,5 %. Transaksi dengan harga Rp 301-500 juta menurun sebesar 47,1 % QtQ dan 45,2 % YoY atau dengan komposisi unit terjual sebesar 26,3%.

(Baca: Sengkarut Kartu Prakerja, Sebelum Lahir Hingga Lari di Tengah Pandemi)

Lalu untuk harga Rp 501 juta-1 miliar, penurunan penjualan sebesar 36,6 % QtQ dan 31,2 % YoY atau dengan komposisi unit terjual sebesar 32,5 %. Terakhir untuk harga di atas Rp 1 miliar, penurunan penjualan sebesar 46,0 % QtQ dan 36,4 % YoY atau dengan komposisi unit terjual sebesar 12,7 %.

Laporan IPW ini menunjukkan pasar pembeli rumah pertama atau end user dianggap tak mampu bertahan jika daya beli terus melemah, mengingat besarnya penurunan penjualan unit harga di bawah Rp 300 juta. Sebaliknya pasar investor atau di segmen harga lebih dari Rp 1 miliar dianggap masih berpotensi meskipun penjualannya melambat. Sebab penurunan di segmen investor lebih dipengaruhi faktor psikologis dalam menunda pembelian ketimbang daya beli.

Penjualan perumahan di wilayah Jabodebek-Banten pun diperkirakan memasuki jurang penurunan terdalam pada triwulan kedua dan ketiga apabila pandemi covid-19 berlangsung lebih panjang.

Halaman selanjutnya:  Properti Hotel dan Ritel Terdampak Paling Parah

Halaman: