THR: Dilema dan Polemik di Pusaran Pandemi Corona

Katadata/123rf
Ilustrasi buruh menghadapi dampak buruk pandemi corona.
11/5/2020, 06.00 WIB

Pemerintah mendapat tuntutan dua sisi terkait pembayaran tunjangan hari raya atau THR untuk perusahaan swasta. Di satu sisi, pengusaha sejak jauh hari menyatakan tak sanggup membayarkan THR akibat omzet yang lesu terpukul pandemi corona. Di sisi lain, buruh dan pekerja tetap menuntut hak tersebut yang telah diatur dalam perundang-undangan.

Keluhan dari pengusaha terkait pembayaran THR disampaikan Direktur Esksekutif Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Danang Girindrawardana pada 20 April lalu. Banyak pengusaha yang terancam tak bisa membayar THR tepat waktu sesuai peraturan, yakni paling telat tujuh hari sebelum Idul Fitri.

Hal ini, kata Danang, menimbang tanggungan biaya masih banyak seperti sewa gedung. Tapi dari aspek penghasilan menurun drastis, terutama di sektor yang berkaitan dengan pariwisata seperti hotel dan restoran.

Saat itu Apindo berencana mengirimkan surat ke Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto untuk meminta kebijakan khusus. Setidaknya pembayaran THR bisa ditunda atau dilakukan secara bertahap. “Terutama untuk perusahaan-perusahaan yang beroperasi dengan jumlah sumber daya manusia banyak dan mengandalkan arus kas,” kata Danang.

(Baca: Industri Terpukul Pandemi, KSPI Tuntut THR Tetap Dibayar Penuh)

Kebijakan pelonggaran THR ini, kata Danang, perlu dilakukan demi menghindari meningkatnya angka PHK. Sampai akhir April lalu, Kementerian Tenaga Kerja mencatat 1,7 juta pekerja dan buruh dipecat dan dirumahkan akibat pandemi corona. Sementara sekitar 1,2 juta pekerja dan buruh terancam PHK dan dirumahkan tengah divalidasi datanya.

Kendati mengeluh banyak perusahaan terbebani THR, Danang menyatakan perusahaan yang memiliki arus kas cukup akan tetap membayar hak buruh itu. Namun ia tak mau membuka berapa jumlah pengusaha di bawah Apindo yang mampu membayar THR.

Di sisi pekerja, tuntutan agar THR dibayarkan penuh dan tepat waktu mulai menggema pada peringatan Hari Buruh 1 Mei. Saat itu serikat-serikat buruh kompak meminta pemerintah memastikan pengusaha tak abai pada kewajibannya, di samping meminta PHK dihentikan dan Omnibus Law dibatalkan.

Salah satu yang menyampaikan tuntutan ini adalah Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI). Melalui keterangan resminya saat itu, Presiden KSPI Said Iqbal menyatakan THR penting bagi para buruh untuk menyambung hidup di tengah pandemi corona. Terlebih selama pandemi mereka sangat rentan terjangkiti virus corona, lantaran masih banyak perusahaan yang memaksakan bekerja seperti masa normal dan tak menyediakan perlindungan. “Corona jangan menjadi alasan pengusaha tidak memenuhi hak pekerja,” kata Iqbal.

Jalan Tengah THR ala Pemerintah

Pada 6 Mei, Menteri Tenaga Kerja Ida Fauziyah akhirnya mengeluarkan Surat Edaran (SE) Menteri bernomor M/6/HI.00.01/V/2020 tentang Pelaksanaan Pemberian Tunjangan Hari Raya Keagamaan Tahun 2020 di Perusahaan dalam Masa Pandemi Covid-19. Surat ini ditujukan untuk menjembatani kepentingan pengusaha dan buruh terkait pembayaran THR.  

Terdapat empat poin besar di dalamnya. Pertama, memastikan perusahaan membayar THR kepada pekerja atau buruh sesuai ketentuan perundang-undangan. Kedua, bagi perusahaan yang tak mampu membayar THR diminta mencari solusi melalui dialog dengan para pekerja/buruh secara kekeluargaan dan transparan. Transparansi di sini berlandaskan laporan keuangan perusahaan.

Poin kedua memiliki tiga poin (huruf) turunan terkait kesepakatan yang bisa dicapai antara perusahaan dan pekerja/buruh: a) bila perusahaan tak mampu membayar penuh THR pada waktu yang ditentukan peraturan perundang-undangan, dapat dilakukan bertahap; b) bila perusahaan tak mampu bayar sama sekali, maka THR dapat ditunda sampai jangka waktu yang disepakati; c) kesepatakan waktu dan cara pengenaan denda keterlambatan pembayaraan THR.

Poin ketiga, kesepakatan buruh dan pengusaha yang diperoleh dilaporkan kepada Disnaker setempat. Keempat, kesepakatan mengenai waktu dan cara pembayaran tak menghilangkan kewajiban pengusaha membayar THR dan denda kepada buruh sesuai peraturan perundang-undangan dan dibayarkan pada 2020.

Catatan lain dalam SE ini yaitu pembentukan Posko THR Keagamaan 2020 di tiap provinsi dengan memperhatikan protokol covid-19 dan menyampaikan surat ini kepada pemangku kebijakan di wilayah.

(Baca: Buruh Nilai SE Menaker Bentuk Negara Lepas Tangan Soal THR)

Menaker Ida Fauziyah dalam rapat dengan DPR. Belakangan ia menerbitkan surat edaran THR .(ANTARA FOTO/Dhemas Reviyanto)

Semakin Memicu Polemik

Alih-alih berhasil menengahi tuntutan pengusaha dan buruh, SE THR justru memicu polemik baru. Kelompok buruh menilai kebijakan tersebut hanya berpihak kepada pengusaha. Mereka khawatir pengusaha bisa menjadikannya alasan untuk mengabaikan hak buruh.

“Dari tahun ke tahun, di masa enggak ada pandemi saja banyak perusahaan enggak bayar THR, apalagi sekarang,” kata Ketua Konfederasi Perjuangan Buruh Indonesia (KPBI), Ilhamsyah alias Boing kepada Katadata.co.id, Jumat (8/5).

Boing mencontohkan di sektor tranpsortasi dan pelabuhan yang setiap tahun tak pernah membayar THR. Mereka hanya mengenal istilah uang ketupat yang besarnya dipukul rata Rp 300 - 500 ribu per orang.

Tak sesuai dengan ketentuan Pasal 3 ayat (1) Permenaker Nomor 6 tahun 2016 yang menyatakan besaran THR adalah satu bulan upah bagi buruh dengan masa kerja 12 bulan secara terus-menerus. Sementara bagi yang masa kerjanya di bawah 12 bulan, THR dibayar secara proporsional.

“Setiap tahun kami juga melaporkan perusahaan-perusahaan yang tidak membayar THR ke Kemenaker, tapi tidak pernah diproses,” kata Boing.

Padahal, kata Boing, saat ini banyak perusahaan yang sebenarnya masih mampu membayar THR. Seperti perusahaan manufaktur yang operasinya terus berjalan. Perusahaan semacam ini lah yang dikhawatirkan lari dari kewajiban dengan berlindung di balik umumnya poin-poin dalam SE THR Menaker.

Selain itu, Boing menilai klausul dialog antara pengusaha dan buruh tak bisa menjadi jalan tengah. Sebab, secara relasi, kuasa buruh selalu dalam posisi kalah dari pengusaha. Sangat mudah bagi pengusaha untuk mengancam PHK dan sanksi lain dalam proses tersebut kepada buruh yang tetap memperjuangkan haknya. Terlebih saat ini berlaku sistem outsourcing yang membuat perusahaan lebih leluasa memutus kontrak kerja.

Boing menyatakan, sampai kini asosiasi buruh di bawah KPBI melaporkan belum satu pun yang diajak pengusaha berunding terkait THR. Sehingga indikasi perusahaan akan mengambil keputusan sepihak semakin kuat. “Surat edaran itu juga mempertontonkan bagaimana seorang menteri melanggar aturan hukum yang lebih tinggi,” kata Boing.

(Baca: Kadin Minta Sengketa THR Dibawa Ke Pengadilan Hubungan Industrial)

Aturan hukum lebih tinggi yang dimaksud adalah, UU Nomor 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 78 tahun 2015 tentang Pengupahan ini, dan Permenaker Nomor 6 tahun 2016 tentang THR Keagamaan. Dalam semua aturan tersebut, pengusaha tak diperbolehkan melanggar hak-hak pekerja dalam situasi apapun. Termasuk pembayaran THR.

Oleh karena itu, KPBI sedang mempertimbangkan menempuh jalur hukum ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) menuntut Menaker Ida Fauziyah membatalkan surat edarannya. Kini sedang dalam tahap komunikasi dengan Lembaga Bantuan Hukum guna merealisasikan langkah ini.

Pakar Hukum Tata Negara Universitas Andalas Ferry Amsari menilai SE THR Kemenaker berpotensi melanggar UU Nomor 30 tahun 2014 tentang Administrasi Negara. Khususnya terkait dengan kewajiban pemangku kebijakan mematuhi peraturan perundang-undangan saat mengeluarkan keputusan, sebagaimana tertuang dalam Pasal 7 ayat (2) poin (b) beleid itu.

Posisi surat edaran dalam strata hukum di negara ini, kata Ferry, di bawah undang-undang dan PP. Dengan kata lain tak bernilai apapun jika bertentangan dengan peraturan di atasnya. “Jadi saya yakin peluang kelompok buruh menang di PTUN besar,” katanya kepada Katadata.co.id, Jumat (8/5).

Akan tetapi, Ferry lebih menyarankan Menaker Ida Fauziyah mencabut saja SE THR ketimbang menghadapi tuntutan buruh di PTUN. Karena prosesnya akan memakan waktu lama dan berpeluang menciptakan kegaduhan baru yang bisa mengganggu penanganan covid-19.

“Jangan lihat untung rugi, tapi harus menyelamatkan hak konstitusional buruh. Semakin banyak hak konstitusional yang terabaikan, semakin rusuh,” kata Ferry.

(Baca: Agar THR Lancar Pemerintah Potong Iuran Jamsostek 90% Tiga Bulan)

Menakar Relaksasi THR ke Pertumbuhan Ekonomi Kuartal II

Direktur Eksekutif Center of Reform on Economics (CORE) Muhammad Faisal menilai langkah pemerintah merelaksasi pembayaran THR oleh pengusaha tak sepenuhnya efektif untuk menyelamatkan perekonomian. Kebijakan tersebut hanya menjeda dampak yang lebih buruk.

Karena itu, kata Faisal, antara buruh dan pengusaha memiliki keterkaitan kuat bagi perekonomian. Bukan sekadar hubungan antara pemberi kerja dan pekerja. Saat buruh tak mendapatkan THR yang bisa digunakan untuk menambah daya beli, konsumsi akan menurun.

Sementara menurunnya konsumsi berdampak ke pendapatan perusahaan. Akibatnya kondisi arus kas perusahaan tetap memburuk. “Kalau arus kas memburuk, perusahaan bisa merugi bahkan tutup. Pengangguran makin banyak dan beban ekonomi semakin berat,” kata Faisal kepada Katadata.co.id, Jumat (8/5).

Dari tahun ke tahun, kata Faisal, pertumbuhan ekonomi di kuartal yang bertepatan Idul Fitri lebih kurang 3 % dibanding kuartal sebelumnya. Pertumbuhan itu karena konsumsi yang meningkat di hampir seluruh sektor, khususnya konsumsi rumah tangga.

Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat pertumbuhan konsumsi rumah tangga pada kuartal I 2020 hanya sebesar 2,84 %. Hanya sekitar setengah dari periode sama di tahun sebelumnya yang mencapai 5,02 %. Padahal konsumsi belanja rumah tangga berkontribusi lebih separuh dari PDB Indonesia.  

Faisal pun memprediksi kuartal kedua tahun ini konsumsi rumah tangga bisa -1,1 hingga -2,7 % . Dampaknya pertumbuhan ekonomi triwulan ini bisa terkontraksi -1,9 sampai -5 %. Hal ini akibat pukulan langsung yang mungkin terjadi kepada UMKM dan usaha mikro karena penurunan daya beli masyarkat.

“Jumlah UMKM itu 97 % dari seluruh usaha di Indonesia. Kontribusinya 60 % terhadap PDB. Terutama usaha mikro. Namun daya tahannya paling kecil,” kata Faisal. “Stimulus ke UMKM saat ini belum mencukupi,” imbuhnya.

Stimulus pemerintah untuk UMKM di antaranya, pemberian insentif sebesar Rp 2 triliun berupa bantuan langsung senilai Rp 3 juta per usaha dengan target penerima 64 juta unit usaha dan subsidi bunga kredit senilai Rp 34,15 triliun untuk 60,66 juta rekening.  

Faisal berpendapat, pemerintah bisa menambah stimulus yang mengarah kepada peningkatan daya beli. Seperti mengarahkan penagadaan barang dan jasa pemerintah kepada UMKM dan pelaku usaha mikro.

Terkait solusi untuk masalah THR, Faisal menilai pemerintah bisa mengganti kebijakan penundaan pembayaran dengan pemangkasan biaya produksi untuk pengusaha di samping stimulus lain yang telah berjalan. Pemerintah bisa memberi keringanan biaya energi, seperti memangkas biaya listrik usaha untuk beberapa bulan ke depan.

Harapannya pengusaha bisa lebih bernapas dan hak THR buruh tak dikorbankan. “Memang anggarannya akan lumayan, untuk itu pemerintah mesti menambahnya,” kata Faisal.

Soal polemik yang muncul ini, Menaker Ida Fauziyah belum terlihat akan menarik suratnya. Jumat kemarin (8/5) kepada wartawan di sela-sela menghadiri acara program padat karya di Jakarta, ia menganggap suratnya sebagai jalan tengah terbaik di situasi sekarang. “Solusi atas masalah itu harus didialogkan secara terbuka antara pengusaha dan pekerja,” kata Ida.

(Baca: Konsumsi Masyarakat Lockdown Ekonomi RI Langsung Jatuh)