Janji pemerintah untuk menurunkan harga gula yang melambung rata-rata di atas Rp 16 ribu per kilogram sebelum Lebaran tinggal janji. Bahkan selama bulan puasa kemarin, komoditas ini menghilang dari sejumlah pasar, termasuk di gerai-gerai retail modern.

Baru akhir pekan kemarin gula mulai dipajang di rak-rak sejumlah toko swalayan. Setidaknya itu yang terjadi di Indomaret dan Alfamart di sepanjang Jalan Pondok Betung, Tangerang Selatan. Sebelumnya, di gerai-gerai ini hanya menjual gula sasetan dengan harga yang tentu jauh lebih mahal. Hitungannya bisa mencapai Rp 30 ribu per kilogram.

Hingga sepekan setelah hari raya Idul Fitri, rata-rata harga gula nasional masih di kisaran Rp 15 ribu per kilogram. Di Gresik, Jawa Timur, gula pasir rata-rata dijual Rp 15.429. Sedangkan di Gunungkidul, Yogyakarta, harganya masih bercokol di kisaran Rp 16 ribu. Angka-angka ini masih jauh di atas Harga Eceran Tertinggi (HET) yang ditetapkan pemerintah yakni Rp 12.500.

Kepala Dinas Perindustrian dan Perdagangan Gunungkidul, Johan Eko menyatakan bahwa harga gula itu sebenarnya mulai turun setelah pemerintah beberapa kali menggelar operasi pasar. Sebelum Lebaran, menurutnya, harga gula di Gunungkidul sempat mencapai Rp 20 ribu per kilogram.

“Gula pasir memang pernah langka dan harganya masih tinggi. Terlebih, saat Lebaran kebutuhan meningkat sedangkan pasokan dibatasi,” ujarnya, Senin (1/6).

(Baca: Satgas Pangan Tindak 17 Distributor Gula Nakal selama Pandemi Covid-19)

Kondisi memprihatinkan juga terjadi di Sulawesi Selatan. Dua pabrik milik PT Perkebunan Nusantara XIV memang sudah berproduksi kembali pada Mei 2020, namun belum optimal. Kedua pabrik itu hanya mampu memenuhi separuh dari total kebutuhan konsumsi gula di Sulawesi Selatan yang rata-rata mencapai 14.500 ton per bulan.

“Kondisi ini menyebabkan gula pasir didatangkan dari luar daerah, bahkan diimpor,” kata Pelaksana Tugas Kepala Dinas Perindustrian dan Perdagangan Sulawesi Selatan Indra Jaya Saputra di Makassar, Senin, 1 Juni 2020.

Akibatnya, harga gula di tingkat pengecer dijual antara Rp 15 - 18 ribu per kilogram. Meski, beberapa toko retail modern ada yang menjual gula kemasan seharga Rp 12.500 per kilogram secara terbatas.

Data Pusat Informasi Harga Pangan Strategis (PIHPS) yang dikelola oleh Bank Indonesia (BI), harga rata-rata gula pasir lokal secara nasional masih mencapai Rp 16.850 per kilogram. Sedangkan gula pasir kualitas premium harganya senilai Rp 17.850 per kilogram.

(Baca: Stabilkan Harga, Kemendag Bakal Guyur 4 Ton Gula Tiap Hari)

Janji Harga Gula Menteri Perdagangan

Menteri Perdagangan Agus Suparmanto pernah menjanjikan harga gula di pasaran turun hingga Rp 12.500 per kilo gram sesuai HET sebelum Lebaran. Janji itu diulangnya beberapa kali, seperti saat meninjau pabrik gula PT Industri Gula Nusa (IGN) di Kendal.

“Hari-hari ini harga gula sudah turun menjadi Rp 14 ribu per kilogram dan saya menjamin sebelum Lebaran nanti harganya akan stabil di tingkat Rp 12.500 per kilogram,” kata Agus saat meninjau Gudang Bulog Divisi Regional Jawa Barat di Bandung, Jumat (8/5) lalu.

Saat itu, ia menyatakan bahwa tingginya harga gula akibat kurangnya pasokan karena musim giling tebu meleset dari prediksi pemerintah. Penyebab lain, peralihan gula rafinasi menjadi konsumsi juga terbatas.

Agus berharap masuknya impor dapat menekankan harga jual gula di dalam negeri, khususnya di pasar tradisional. Untuk itu Agus menginstruksikan jajarannya agar mempercepat proses distribusi gula asal impor ke dalam pasar tradisional.

Pergerakan harga gula hingga 15 Mei 2020 seperti terlihat dalam grafik Databoks berikut ini:

 

Kementerian Perdagangan kemudian mengeluarkan izin impor 50 ribu ton gula kristal putih kepada Bulog. “Kemarin malam, surat izin impor gula sebanyak 50 ribu ton, itu baru turun dari Kementerian Perdagangan. Baru jam 11 malam ditandatangani,” ujar Direktur Utama Bulog Budi Waseso saat rapat bersama Komisi IV DPR secara virtual, Kamis (9/4). 

Pria yang akrab disapa Buwas ini juga mengungkapkan, sebenarnya, pengajuan impor gula minimal 20 ribu ton sudah dilakukan sejak awal 2020. Namun, perusahaan tak kunjung mendapat izin. Memasuki Ramadan, harga gula di pasaran kian mahal.

Terlambat Impor Gula

Sejak tahun lalu, pemerintah sebenarnya telah mengantisipasi adanya kebutuhan gula impor untuk konsumsi masyarakat pada paruh pertama 2020. Rapat Koordinasi Kementerian Koordinator Perekonomian pun merekomendasikan untuk menambah pasokan gula impor sebanyak 1,071 juta ton mulai Oktober 2019.

Bagaimanapun, Kementerian Perdagangan hanya mengeluarkan izin impor sebanyak 252 ribu ton pada kuartal keempat tahun lalu. Kemudian, izin impor 231 ribu ton gula mentah kembali dikeluarkan dalam periode Januari-April 2020.

Artinya, sejak Oktober 2019-April 2020, Kementerian Perdagangan baru mengeluarkan izin impor sebanyak 483 ribu ton atau 45,1 % dari yang direkomendasikan oleh hasil Rapat Koordinasi Kementerian Koordinator Perekonomian. Itu pun hanya 343,5 ribu ton atau 32,1 % yang terealisasi.

STOK GULA UNTUK STABILISASI HARGA (ANTARA FOTO/Syifa Yulinnas/wsj.)

Direktur Jenderal Perdagangan Luar Negeri Indrasari Wisnu Wardhana menyatakan, belum maksimalnya realisasi impor gula mentah oleh pabrik-pabrik yang mendapat izin adalah karena terjadinya pandemi Covid-19 di beberapa negara asal impor seperti India, Thailand, dan Australia.

“Negara-negara tersebut menerapkan lockdown dalam menekan penyebaran corona sehingga mengakibatkan terhambatnya logistik dan transportasi kapal pengangkut,” ujarnya.

Menurut Wisnu, produksi gula dalam negeri tahun 2019 memang tidak sesuai dengan perkiraan. Akibatnya hasil produksi dalam negeri yang seharusnya cukup sampai Maret 2020 ternyata hanya cukup sampai Februari 2020.

Hal ini ditandai dengan mulai naiknya harga gula di tingkat konsumen. Kedua, bergesernya musim giling tebu yang umumnya dimulai April mundur menjadi akhir Juni dan kemungkinan adanya penurunan produksi gula dalam negeri akibat perubahan iklim.

Harga gula pun semakin tinggi saat kebutuhan masyarakat naik menjelang Lebaran. Pada puncaknya, harga gula sempat mencapai Rp 20 ribu per kilogram di beberapa daerah.

(Baca: Kemendag Bongkar Modus Distributor Nakal yang Buat Harga Gula Melonjak)

Tak cukup waktu untuk mengimpor gula mentah, Kementerian Perdagangan kemudian menugaskan Perum Bulog dan PT Rajawali Nusantara Indonesia untuk mengimpor masing-masing 50 ribu ton gula kristal putih. Gula siap konsumsi dari kedua BUMN itulah yang kemudian digunakan dalam operasi pasar di berbagai daerah.

Operasi Pasar untuk Meredakan Harga Gula

Kementerian Perdagangan menggelar operasi pasar di berbagai daerah melalui kerja sama dengan produsen dan distributor gula. Operasi Pasar ini dilakukan secara serentak di 34 provinsi mulai Minggu ke 3 bulan Mei 2020 dan akan dilakukan setiap hari.

Masalahnya, realisasi impor oleh Bulog pun dianggap terlambat karena India sebagai negara Pemasok telah memberlakukan lockdown untuk membendung penularan virus corona. Akibatnya, Bulog baru mampu mendatangkan 21.800 ton gula pada 5 Mei lalu. Sedangkan sisanya sebesar 28.200 ton baru akan tiba pada bulan ini.

(Baca: Pandemi dan Disrupsi Perdagangan Internasional)

Target untuk menurunkan harga gula sebelum hari raya pun meleset. Namun, pemerintah masih berupaya untuk menurunkan harga gula hingga Rp 12.500 per kilogram, sesuai harga eceran tertinggi. “Operasi pasar gula akan terus dilakukan,” kata Menteri Perdagangan Agus.

Di pihak lain, Direktur Eksekutif Asosiasi Gula Indonesia (AGI) Budi Hidayat meminta Kementerian Perdagangan untuk tetap melihat neraca kebutuhan dan pasokan gula. Di antaranya, termasuk kuota impor yang belum terealisasi.

Menurutnya, jika industri kekurangan bahan baku berupa gula mentah sedangkan musim giling tebu belum tiba, bisa saja harga gula kembali naik. “Ini perlu diantisipasi,” kata Budi Hidayat.

Reporter: Rizky Alika, Antara