Era Bank Digital di Depan Mata Seiring Ekspansi Raksasa Teknologi

123RF.com/MANOONRUT RUNGSUKSRI
Ilustrasi pembayaran digital. Era bank digital atau neobank sudah tiba.
4/7/2020, 07.00 WIB

Era bank digital di dunia sudah di depan mata. Sejumlah negara berencana memberikan lisensi bank digital, baik kepada bank konvensional maupun perusahaan teknologi. Meski menawarkan banyak kemudahan dan efisiensi biaya, kehadiran bank digital maupun neobank dapat menggoyang tatanan dan peta bank konvensional.

Tahun lalu, otoritas moneter Singapura (MAS) berencana memberikan lisensi kepada lima bank digital. Dua lisensi akan diberikan kepada bank digital yang beroperasi penuh. Sisanya diberikan kepada bank digital grosir atau yang hanya melayani pelanggan perusahaan.

Terdapat 21 aplikan yang bersaing mendapatkan lisensi ini. Mereka harus memenuhi persyaratan, di antaranya memeiliki modal 1,5 miliar dolar Singapura atau sekitar Rp 15,5 triliun, harus berbentuk lokal, dan dikendalikan lokal.

Salah satu aplikan adalah startup penyedia jasa tumpangan Grab yang berkonsorsium dengan Singtel. Nantinya setelah lisensi disetujui, Grab akan memegang 60% saham dan Singtel 40% saham.

Menurut Direktur Pelaksana Senior Grab Reuben Lai, seperti dilansir Tech Crunch pada 30 Desember 2019, rencananya bank digital tersebut akan fokus pada layanan kredit sederhana dan produk investasi.

Setelah memenuhi kriteria MAS, bank digital konsorsium ini akan beroperasi penuh layaknya bank. Ia pun menyatakan bank digital ini akan fokus pada pelanggan dan memberikan berbagai layanan perbankan serta keuangan dengan akses mudah dan transparan.

(Baca: Bersaing dengan Google, Alibaba Bakal Menambah Pusat Data Tahun Depan)

Bank digital ini pun berkomitmen menciptakan layanan keuangan inklusif di Singapura yang terjangkau bagi UMKM serta individu. Ini mengacu kepada studi konsorsium ini terkait layanan keuangan yang menemukan: 38% warga Singapura kekurangan uang dan 2% lainnya tidak memiliki akses ke layanan keuangan.

Kabar teranyar, seperti dilansir Straits Times pada 18 Juni lalu, bank digital Grab dan Singtel tersebut telah masuk ke dalam daftar perusahaan yang akan mendapatkan lisensi dari MAS. Bank digital lain yang juga masuk dalam daftar ini adalah milik Razer.inc dan konsorsium fintech MatcMove dan Singapura Finance.

(ISTIMEWA)

Negara lain pun mulai membuka pintu untuk pemberian lisensi bank digital, di antaranya Hong Kong, Korea Selatan, Amerika Serikat, dan Inggris. Di Inggris, bank digital yang sudah beroperasi bernama Monzo. Kelebihan bank ini adalah menawarkan pembayaran internasional tanpa biaya tambahan dan tak mengenakan biaya layanan untuk penarikan uang sampai 200 poundsterling melalui ATM internasional.

Sementara di Hong Kong, seperti dilansir situs resmi otoritas moneter Hong Kong (HKMA), ada delapan bank digital yang beroperasi sejak lisensi dibuka pada tahun lalu. Mereka mendapat lisensi setelah memenuhi syarat perusahaan harus berbentuk lokal dan memiliki modal 300 juta dolar Hong Kong.

Salah satu bank digital di sana adalah ZA Bank. Bank ini mampu menawarkan bunga deposito maksimal 6,8% selama tiga bulan untuk simpanan hingga Rp 176 juta. Ini lebih tinggi ketimbang yang bisa ditawarkan HSBC, yakni sebesar 2%-3%. 

(Baca: Pemerintah Dorong UMKM Gunakan Pembiayaan Murah untuk Go-Digital)

Berbeda dengan di Indonesia, regulasi khusus terkait bank digital belum ada. Satu-satunya aturan yang bisa mengakomodasi digitalisasi perbankan adalah Peraturan OJK Nomor 12 tahun 2018.

Di situ hanya dijelaskan bahwa perbankan digital adalah layanan yang dikembangkan dengan mengoptimalkan pemanfaatan data nasabah dalam rangka pelayanan lebih cepat, mudah dan sesuai dengan kebutuhan, serta dapat dilakukan mandiri oleh nasabah dengan memperhatikan aspek keamanan.

Namun, definisi itu boleh dibilang hanya terkait aktivitas atau layanan digital banking . Jadi, belum mencakup neobank yang didefinisikan IBM sebagai bank yang sepenuhnya beroperasi secara daring atau tanpa cabang fisik. Bank jenis ini pun bisa berasal dari institusi non-perbankan, seperti perusahaan teknologi Grab.

Meski begitu, tren bank digital mulai melanda Indonesia. Setelah mengakuisisi Bank Royal, PT Bank Central Asia Tbk (BCA) berencana membuat bank tersebut menjadi bank digital. Pada semester kedua ini, Bank Royal pun bersalin nama menjadi Bank Digital BCA.

Ada juga Bank Artos. Bank yang diakuisisi oleh mantan Direktur Utama Bank BTPN Jerry Ng dan pendiri Northstar Group, Patrick Walujo, ini berencana transformasi menjadi bank digital.

Perseroan ini telah menerbitkan saham baru atau rights issue sekitar Rp 1,34 triliun. Dana ini akan digunakan untuk pengembangan infrastruktur, teknologi informasi, sumber daya manusia, serta perbaikan struktur permodalan.

Ekspansi Perusahaan Teknologi

Namun, perusahaan teknologi, terutama korporasi besar, terlihat lebih agresif merambah ke bisnis layanan keuangan digital. Selain Grab di Singapura, raksasa media sosial Facebook pun telah menyiapkan infrastruktur ke arah model baru bank tersebut.

Mereka telah mempunyai Facebook Pay yang memungkinkan pembayaran lintas aplikasi di bawah perusahaan milik Mark Zuckerberg, yakni WhatsApp dan Instagram.

Pada 15 Juni lalu, fitur pembayaran selular melalui WhatsApp atau dikenal sebagai WhatsApp Pay diluncurkan pertama kali di Brazil. Zuckerberg di laman Facebook resminya menyatakan, WhatsApp Pay akan membuat penggunanya bertransaksi semudah mengirim foto dan memungkinkan usaha kecil bertransaksi secara langsung di dalam aplikasi.       

“Guna merealisasikan ini, kami membuat Facebook Pay yang mendukung keamanan dan jalur konsisten ketika melakukan pembayaran lintas aplikasi kami,” kata Zuckerberg.

WhatsApp Pay bekerja sama dengan sejumlah bank lokal di Brazil, yakni Banco do Brasil, Nubank, dan Sicredi. Sementara, seperti tertulis di laman resmi WhatsApp, untuk penyelesaian transaksi akan bekerja sama dengan sistem pembayaran terbesar di negeri Samba bernama Cielo.

Pengguna WhatsApp Pay saat ini bisa melakukan pembayaran secara gratis. Namun, gerai akan dikenakan biaya pemrosesan sebesar 3,99% dari nilai transaksi saat menerima pembayaran. Selain itu, pengguna bisa menautkan kartu kredit dan debitnya yang berjenis Visa dan Mastercard.

Pemilihan Brazil sebagai tempat peluncuran pertama fitur ini terbilang mengejutkan. Pasalnya, versi beta dari WhatsApp Pay justru diterapkan di India pada Februari 2018.

Di sisi lain, seperti dilansir Tech Crunch, India juga pasar terbesar WhatsApp di dunia dengan 400 juta pengguna aktif bulanan dibandingkan Brazil yang 120 juta pengguna aktif bulanan.

(Baca: Akselerasi Transformasi Menyeluruh, Adaptasi Bank pada New Normal)

Dengan potensi sebesar itu, ternyata WhatsApp Pay tak bisa lolos dari labirin regulasi yang membelitnya. Reserve Bank of India (RBI), seperti dilansir India Today, mewajibkan seluruh pembayaran digital melokalisasi data.

Namun hal ini belum mampu dipenuhi meskipun telah mengadopsi Unified Payment Interface (UPI), sebuah infrastruktur pembayaran yang dibuat oleh koalisi bank-bank di India untuk memungkinkan mengirim uang secara langsung antar akun bank berbeda tanpa membutuhkan aplikasi dompet digital terpisah.

RBI pun meminta National Payments Corporation of India (NPCI), lembaga resmi yang mengurusi pembayaran digital, membatasi penggunaan WhatsApp Pay di India.

Hal ini membuat WhatsApp Pay tak berkembang seperti Google Pay yang mampu mencetak 75 juta transaksi pada bulan lalu, jauh di atas Paytm milik Softbank yang lebih dulu ada dan hanya mampu mencetak 30 juta transaksi, seperti dilansir Tech Crunch.   

Kondisi di India berbeda dari Brazil yang secara regulasi memungkinkan WhatsApp Pay beroperasi secara resmi. Menurut publikasi International Comparative Legal Guides (ICLG) tentang fintech, seluruh peraturan di bawah Dewan Moneter Nasional (CMN) dan Bank Sentral Brazil.

Seluruh fintech yang menyelenggarakan aktivitas perbankan harus mengantongi izin dari kedua otoritas tersebut atau bekerja sama dengan institusi keuangan yang sudah berizin.

Melalui kerja sama dengan sejumlah bank lokal dan Cielo, WhatsApp Pay bisa dikatakan telah memenuhi persyaratan tersebut. Di samping itu, bank sentral Brazil sudah menyusun regulasi perbankan terbuka pada tahun lalu . Selanjutnya penerapannya pada November tahun ini dan target berjalan sepenuhnya Oktober tahun depan.

(Baca: Telkom Dikabarkan Segera Buka Blokir Netflix)

Peraturan perbankan terbuka di Brazil, seperti dilansir Finextra.com, mengharuskan bank berbagi data transaksi melalui persetujuan nasabah dengan pihak ketiga termasuk fintech. Tujuan dari regulasi ini adalah mendorong digitalisasi dan transparansi layanan keuangan di Brazil serta menyambut pemain dengan model bisnis baru.

Sistem perbankan terbuka ini selaras dengan WhatsApp Pay yang, seperti tertulis di laman resminya, “membangun model (bisnis) terbuka untuk menyambut lebih banyak mitra di masa depan.” Model bisnis ini pula yang melepaskan aplikasi ini dari pemblokiran oleh badan pengawas antimonopoli Brazil, Cade pada Selasa (30/6) lalu.

Namun, WhatsApp Pay belum sepenuhnya dapat beroperasi lagi karena masih terganjal aturan terkait penggunaan Visa dan Mastercard. Bank sentral Brazil mengharuskan dua penyedia transaksi kartu tersebut mengajukan izin terlebih dulu. Tujuannya menghindari masalah persaingan usaha, efisiensi dan privasi data dalam sistem pembayaran Brazil.

Apabila WhatsApp Pay sudah dapat beroperasi secara normal, potensi keuntungan dari pasar Brazil tak akan kalah dari India. Pasalnya rekanan mereka, Cielo, tercatat pada kuartal IV 2019 berhasil mencetak 2 miliar transaksi seperti dilansir Latin Amerika Business Stories.

Sementara rekanan lainnya, Nubank, adalah bank digital bernilai tertinggi di dunia yaitu sebesar US$ 10 miliar. Bank ini memiliki 24 juta pengguna dan menjadi institusi finansial terbesar keenam di Brazil. Kerja sama dengan bank ini sangat menunjukkan keseriusan Zuckerberg mewujudkan bank digitalnya sendiri di masa depan.

Perusahaan Teknologi, Kawan atau Lawan?

Seperti dikatakan dalam laporan IBM, keunggulan bank digital atau neobank adalah kemudahannya dalam bertransaksi yang memancing nasabah untuk beralih dari bank konvensional. Selain itu,  kompensasi untuk nasabah yang lebih besar daripada bank fisik.

Pasalnya, operasi penuh secara virtual memungkinkan efisiensi fasilitas dan staf. Hal ini juga berdampak kepada suku bunga tinggi untuk tabungan dan rendah untuk pinjaman, begitupun manfaat lainnya.

Dalam hal ini, seperti dikatakan kontributor Forbes Daniel Doderlein, raksasa teknologi seperti Facebook lebih memiliki tenaga untuk mendistribusikan dua keunggulan bank digital tersebut dibandingkan bank konvensional yang beralih. Sebab, perusahaan teknologi lebih dulu mengakusisi pengguna melalui perangkat selular dan mengontrol mereka dalam sebuah ekosistem digital.

Hal ini bisa terlihat dari duo e-wallet asal Tiongkok, Alipay milik Alibaba dan WeChat Pay milik Tencent. Keduanya berpenetrasi cepat dalam mengakuisisi pengguna perangkat selular di negeri tirai bambu dan akhirnya berhasil mendorong terciptanya cashless society.

Menurut artikel di Cgap.org berjudul China: A Digital Payments Revolution, sejak diluncurkan pada 2008 saat ini Alipay telah memiliki lebih 500 juta pengguna aktif bulanan. Sedangkan WeChat Pay yang diluncurkan pada 2013, kini punya lebih 900 juta pengguna aktif bulanan di Tiongkok. Kesuksesan ini tak lepas dari penggunaan kode QR.

(Baca: Jalan Panjang dan Berliku Memburu Pajak Digital Asing)

Pada 2016, masih berdasarkan artikel tersebut, pembayaran melalui kode QR Alipay dan WeChat Pay senilai US$ 1,65 triliun. Kedua perusahaan kemudian meningkatkan fitur mereka yang mendukung pembayaran perdagangan.

Walhasil kini sepertiga dari pembayaran konsumen di Tiongkok tanpa uang tunai dan tiga perempat pengguna ponsel pintar melakukan pembelian secara selular pada 2017.

Alipay dan WeChat Pay pun menetapkan biaya transaksi yang relatif ringan untuk semakin memacu penyerapan pelanggan. Bagi pedagang yang memiliki transaksi di bawah ambang batas tertentu akan mendapat pengembalian komisi dari kedua perusahaan.

Sebaliknya bagi yang di atas ambang batas, harus membayar biaya 0,6%-1% dari nilai transaksi. Hal ini memungkinkan UMKM menggunakan layanan mereka hampir secara gratis, satu hal yang juga tak biasa terjadi dalam perbankan konvensional.

Alasan lain, kedua perusahaan menjaga biaya transaksi tetap rendah karena peluang penjualan silang antar-unit di dalam ekosistem digital mereka. Ketika pelanggan sudah menggunakan e-wallet sebagai pilihan instrumen pembayaran, sangat mungkin akan membeli berbagai produk layanan yang ada di dalamnya.

(Baca: Diboikot Brand Besar, Facebook Akhirnya Larang Iklan Ujaran Kebencian)

Yu’E Bao, layanan investasi yang masih satu ekosistem dengan Alipay misalnya, kini menjadi terbesar di dunia untuk sektornya. Dalam kurun empat tahun mengelola dana sebesar US$ 233 miliar atau setara 25% industri pasar uang Tiongkok.

Berkat kesuksesan ini, bank sentral Tiongkok pada tahun lalu menyatakan akan mengatur kode QR demi meningkatkan keamanan, dan menciptakan platform penyelesaian sengketa daring yang disebut Wanglian untuk lembaga non-bank.

Langkah-langkah ini dikombinasikan dengan tren global menuju kode QR terstandarisasi. Ini membuka peluang pembayaran selular segera dapat dioperasikan di Tiongkok. Selanjutnya, pembayaran selular hanyalah satu tingkat sebelum menuju bank digital.

Jadi, bank digital yang dibesut bank maupun neobank oleh perusahaan teknologi bakal  semakin semarak, termasuk di Indonesia. Namun, arah dan potensi perkembangannya bakal sangat ditentukan oleh regulasi pemerintah dan bank sentral.

Reporter: Desy Setyowati