Prospek Cerah Investasi Pangan dan Kesehatan di Era Pandemi

123rf.com
Ilustrasi prospek cerah investasi asing di Indonesia.
Penulis: Safrezi Fitra
30/7/2021, 18.36 WIB
  • Industri terkait pangan dan kesehatan terbukti tahan krisis, yang mampu tumbuh di tengah pandemi yang membuat sektor-sektor lain anjlok.
  • Sektor industri makanan menjadi penyumbang utama pertumbuhan ekonomi 2020.
  • Indonesia mendapat komitmen investasi industri pangan dan kesehatan dari Amerika Serikat, Australia, dan Korea Selatan tahun ini.

Di tengah perekonomian dunia, termasuk Indonesia, yang sedang anjlok akibat pandemi Covid-19 saat ini, beberapa sektor usaha justru mengalami pertumbuhan. Sektor usaha tersebut di antaranya terkait pangan dan kesehatan. Kedua sektor ini bahkan dinilai bisa menjadi penopang ekonomi di masa pandemi dan setelah pandemi.

Ekonom Core Indonesia Piter Abdullah mengatakan prospek investasi sektor pertanian, pangan dan kesehatan cukup bagus. Sektor-sektor ini mampu tumbuh positif di tengah sektor-sektor industri lain yang mengalami penurunan selama pandemi Covid-19.

"Pertanian adalah sumber pangan yang kapan pun pasti dibutuhkan. Sementara sektor kesehatan adalah sektor yang paling dibutuhkan di tengah pandemi," ujarnya kepada Katadata.co.id, Kamis (29/7).

Makanya, banyak investasi, terutama dari luar negeri mengalir ke dalam negeri karena melihat potensi ini. Data Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) pada Semester I-2021 menunjukkan realisasi investasi asing di industri makanan meningkat masuk di posisi ketiga, setelah kelompok industri logam di posisi pertama serta kelompok industri transportasi dan telekomunikasi di urutan kedua. Pada 2019, industri makanan masih berada di posisi 7 dari total investasi asing di dalam negeri.

Ditambah lagi Menteri Investasi Bahlil Lahadalia dan Menteri Perdagangan Luhammad Lutfi membawa oleh-oleh, hasil kunjungan kerja mereka ke Amerika Serikat beberapa waktu lalu. Mereka kembali ke Indonesia dengan mengantongi komitmen investasi triliunan rupiah dari negara tersebut.

Salah satunya dari perusahaan yang bergerak di sektor pangan, Cargill senilai Rp 5,2 triliun. Rencananya, perusahaan yang berkantor pusat di Minnesota, AS ini akan melaksanakan pemancangan tiang pertama (groundbreaking) perluasan investasinya sekitar September atau Oktober 2021.

Selain itu, ada rencana investasi beberapa perusahaan asal AS di sektor kesehatan. Namun, Bahlil tak menjelaskan lebih detail perusahaan-perusahaan yang tertarik menanamkan modalnya di sektor ini.

"Kita tahu 90% alat kesehatan diimpor, bahan baku untuk kesehatan juga impor, bahkan vaksin semua juga kita impor. Maka saat kunker ke AS, kami coba buka akses itu. InsyaAllah beberapa perusahaan akan masuk untuk membangun industri di dalam negeri," katanya.

Selain AS, komitmen investasi juga didapat dari perusahaan asal Australia dan Korea Selatan pada akhir tahun ini. "Pada 2021 akhir itu, mereka sudah akan merealisasikan investasinya. Tapi perusahaan apa dan berapa angkanya, tunggu tanggal mainnya," ujar Bahlil dalam Konferensi Pers, Selasa (27/7).

Sektor pertanian dan pangan memang telah terbukti menjadi sektor industri yang tahan terhadap krisis. Dalam data laporan terbaru Badan Pusat Statistik (BPS), pertanian menjadi satu-satunya sektor di antara lima lapangan usaha penopang utama produk domestik bruto yang tumbuh positif pada tahun lalu.

Data BPS menunjukkan sektor pertanian tumbuh 1,75% pada 2020. Sementara empat sektor lainnya tumbuh negatif yakni industri pengolahan (-2,93%), perdagangan (-3,72%), konstruksi (-3,26%) dan pertambangan (-1,95%). Kontribusi pertanian pun meningkat dari 12,71% pada 2019 menjadi 13,70% pada tahun lalu.

Sama halnya dengan sektor kesehatan yang meningkat di masa pandemi. Secara tak terduga, pandemi Covid-19 telah membuka mata masyarakat akan pentingnya obat-obatan, perangkat medis, dan tenaga kesehatan.

Perlombaan untuk mengembangkan vaksin Covid-19 telah mendorong banyak negara berinvestasi lebih besar pada program penelitian kesehatan dan pengadaan vitamin, suplemen, dan obat peningkat kekebalan tubuh.

Potensi pengembangan industri kesehatan di Indonesia cukup besar, terlebih di masa pandemi Covid-19 saat ini. Direktur Utama PT Indofarma Tbk. Arief Pramuhanto mengatakan nilai pasar farmasi di Indonesia pada tahun lalu mencapai Rp 84,59 triliun. Nilai ini meningkat 28% dari Rp 65,9 triliun pada 2016.

Sementara impor alat kesehatan nilainya lima kali lebih besar dari pembelanjaan alat kesehatan dalam negeri. Berdasarkan data belanja melalui e-katalog, impor alat kesehatan tahun lalu mencapai Rp 12,5 triliun, sedangkan dari dalam negeri hanya Rp 2,9 triliun.

"Potensi pasar di Indonesia terbuka lebar mengingat besarnya demand akan produk farmasi dan alat kesehatan," kata Arief dalam diskusi 'Investor Daily Summit 2021' secara virtual, Kamis (15/7).

Di Indonesia, farmasi merupakan sektor yang menjanjikan. Akibat meningkatnya permintaan, Pemerintah telah memasukkan sektor perangkat medis dan farmasi sebagai bagian dari sektor prioritas. Pemerintah Indonesia berupaya meningkatkan daya saing sektor perangkat medis dan farmasi dengan mendorong terselenggaranya transformasi digital berbasis teknologi.

Menteri Perindustrian Agus Gumiwang Kartasasmita menyatakan ada 220 perusahaan di industri farmasi di Indonesia dan 90% di antaranya berfokus pada sektor hilir (downstream) dalam produksi obat-obatan. Dia mengatakan pemerintah terus mengupayakan pengurangan impor sebesar 35% hingga akhir tahun 2022. Pemerintah berharap upaya tersebut dapat mengatasi ketergantungan pada impor bahan baku.

Menurut data dari Kementerian Kesehatan, hingga tahun 2021, ada 241 industri pembuatan obat-obatan, 17 industri bahan baku obat-obatan, 132 industri obat-obatan tradisional, dan 18 industri ekstraksi produk alami.

Pertumbuhan fasilitas produksi peralatan medis juga terus meningkat. Sepanjang 2015-2021, jumlah perusahaan yang memproduksi perangkat medis meningkat dari 193 perusahaan menjadi 891 perusahaan. Sedangkan dalam lima tahun terakhir, industri perangkat medis dalam negeri mengalami pertumbuhan sebesar 361,66% atau sekitar 698 perusahaan.

Selain impor, Indonesia juga mengekspor produk farmasi dan perangkat medis ke beberapa negara, yaitu Belanda, Inggris, Polandia, Nigeria, Kamboja, Vietnam, Filipina, Myanmar, Singapura, Korea Selatan, dan Amerika Serikat.

Ekonom Bank Permata Josua Pardede, juga pernah mengatakan tiga sektor usaha yang potensial untuk memulihkan perekonomian Indonesia pada 2021. Salah satu faktor yang dilihatnya, karena ketiga sektor tersebut tumbuh positif selama tahun ini.

“Tiga sektor itu adalah pertanian, teknologi informasi, serta jasa kesehatan,” katanya. Josua mendorong pemerintah agar menggenjot tiga sektor usaha tersebut tahun depan karena menjadi kebutuhan utama masyarakat di tengah pandemi.

Menurut Piter Abdullah, sektor-sektor usaha terkait pangan dan kesehatan akan tetap menarik minat investasi, bahkan setelah pandemi selesai. Memang banyak yang memprediksi pandemi akan berakhir. Namun, kebiasaan masyarakat akan pentingnya kesehatan masih akan terjadi. Sehingga permintaan produk-produk kesehatan akan tetap tinggi.

Untuk terus memacu investasi, dia menyarankan pemerintah untuk membenahi semua regulasi dan birokrasi, terutama terkait kemudahan berusaha. "Permudah saja semua ketentuan, jangan banyak hambatan. Itu yang sebenarnya menjadi tujuan UU Ciptakerja," ujarnya.

Kemudahan dan Insentif Investasi

Pemerintah telah menyiapkan peta jalan untuk mempercepat pembangunan industri farmasi, termasuk prosedur serta sasaran pengembangan produk dan jangka waktunya. Sasaran peta jalan ini adalah produksi bahan baku berteknologi tinggi.

Ini tergambar dari Peraturan Pemerintah Nomor 14 Tahun 2015 tentang Rencana Induk Pembangunan Industri Nasional (RIPIN). Dalam aturan ini, Industri farmasi dikategorikan sebagai salah satu industri prioritas dan berpotensi besar dalam meningkatkan perekonomian nasional.

Jokowi pun telah menerbitkan Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 6 Tahun 2016 tentang Percepatan Pengembangan Industri Farmasi dan Alat Kesehatan. Inpres ini Mengamanatkan 12 Kementerian/Lembaga melaksanakan percepatan pengembangan industri farmasi dan alat kesehatan nasional melalui penguasaan teknologi dan inovasi.

Berbagai kemudahan dan insentif pun ditawarkan pemerintah kepada investor. Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) Indonesia Bahlil Lahadalia dan Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin telah sepakat untuk mempercepat pemberian izin bagi penyedia peralatan medis untuk membantu negara menanggulangi pandemi Covid-19.

Berdasarkan keterangan tertulis BKPM, Pemberian izin usaha untuk peralatan medis di Indonesia dapat dipercepat hingga menjadi 1x24 jam (satu hari). Proses perizinan dilakukan hanya dengan mengakses sistem Online Single Submission (OSS) dan Pusat Komando Investasi dan Pengawalan Investasi BKPM.

Penyedia akan menerima Nomor Induk Berusaha (NIB), Izin Usaha Industri, dan Izin Komersial atau Operasional. Nantinya, sistem Kementerian Kesehatan akan memproses permintaan mereka atas Sertifikat Produksi dan Izin Distribusi.

Beberapa produk yang termasuk dalam layanan percepatan ialah masker bedah, Alat Pelindung Diri (APD), dan penyanitasi tangan (hand sanitizer). BKPM memperkirakan penyedia peralatan medis akan memanfaatkan peluang ini untuk membantu mencegah penyebaran Covid-19.

Selain itu, pemerintah akan memberikan insentif fiskal dan nonfiskal kepada investor yang hendak berinvestasi di Indonesia. Beberapa di antaranya, pengurangan pajak penghasilan (PPh) badan atau tax holiday, pengurangan PPh untuk penanaman modal (tax allowance), insentif pengurangan pajak super (super tax deduction), dan bea impor.

Pemerintah menilai pertumbuhan perekonomian yang kuat serta demografi yang signifikan membuat Indonesia menjadi negara yang cocok bagi investor. Undang-Undang Omnibus Law Cipta Kerja, sebagai bagian dari reformasi regulasi struktural, akan meningkatkan iklim investasi serta kemudahan berbisnis di Indonesia.