Harapan Muluk Subsidi Gaji untuk Dorong Daya Beli dan Konsumsi

123RF.com/alphaspirit
Penulis: Maesaroh
13/8/2021, 17.35 WIB
    • Pemerintah akan menyalurkan bantuan subsidi gaji atau upah Rp 1 juta kepada 8,8 juta pekerja.
    • Subsidi pekerja ini kurang optimal mendorong daya beli masyarakat karena 56 % penduduk bekerja di sektor informal.
    • Bantuan tetap disambut positif penerima karena meringankan beban selama pandemi.

Pemerintah akan memberikan subsidi gaji sebesar Rp 1 juta kepada 8,8 juta pekerja pada tahun ini. Bantuan tersebut diharapkan bisa membantu mempertahankan daya beli masyarakat yang melemah karena hantaman pandemi Covid-19 sekaligus mendongkrak pertumbuhan ekonomi. Namun seberapa efektifkah? 

Besarnya populasi, meningkatnya jumlah kelas menengah, bonus demografi golongan muda dan produktif, serta pesatnya perkembangan e-commerce adalah sedikit faktor mengapa konsumsi rumah tangga menjadi tulang punggung perekonomian Indonesia. Dalam dua dasawarsa terakhir, Indonesia menggantungkan 50-55 % produk domestik bruto (PDB)-nya kepada konsumsi rumah tangga.

Secara rata-rata, pertumbuhan konsumsi rumah tangga di Indonesia mencapai 5%. Namun, pencapaian itu bisa berubah drastis saat kondisi tidak normal. Di masa lalu, anjloknya konsumsi selalu dikaitkan dengan kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM) atau krisis ekonomi global. Namun setahun terakhir, terpuruknya konsumsi rumah tangga terkait erat dengan pandemi Covid-19.

Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat konsumsi rumah tangga Indonesia terkontraksi 2,63% di 2020 dan PDB pun ikut minus 2,07%. Besarnya pengaruh konsumsi rumah tangga terhadap pertumbuhan ekonomi yang membuat pemerintah bekerja keras menjaga daya beli masyarakat. Bila perekonomian Indonesia merupakan sebuah mobil, daya beli menjadi bensin untuk menjalankannya.

Bantuan Subsidi Upah

Untuk mempertahankan daya beli masyarakat, pemerintah membuat sejumlah program seperti bantuan langsung tunai, bantuan untuk pelaku usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM), serta subsidi gaji atau upah. Tahun ini, pemerintah mengalokasikan anggaran Rp 8,8 triliun untuk bantuan gaji.

Sebanyak 8,8 juta pekerja diharapkan bisa menerima dana segar tersebut dengan nominal Rp 1 juta. Nilai bantuan dan jumlah peneriman bantuan gaji pada tahun ini lebih kecil dibandingkan tahun 2020. Saat itu, pemerintah mengeluarkan anggaran sebesar Rp 29,4 triliun untuk 12,4 juta pekerja. Bantuan diberikan dengan nominal Rp 600 selama empat bulan.

Pemerintah memberlakukan sejumlah syarat bagi calon penerima, di antaranya upah di bawah Rp 3,5 juta per bulan. Mereka juga mesti terdaftar sebagai peserta aktif program jaminan sosial ketenagakerjaan BPJS Ketenagakerjaan sampai Juni 202 yang bekerja di wilayah pemberlakuan pembatasan kegiatan masyarakat level 3-4.

Penerima juga diutamakan bekerja pada sektor usaha industri barang konsumsi, transportasi, dan aneka industri. Juga mereka yang berkecimpung di properti dan real estate, perdagangan dan jasa kecuali jasa pendidikan dan kesehatan, sesuai dengan klasifikasi data sektoral di BPJS Ketenagakerjaan.

PENYALURAN BSU UNTUK TENAGA PENDIDIK (ANTARA FOTO/Adeng bustomi/rwa.)
 

Kepala ekonom Bank Central Asia David Sumual menilai bantuan subsidi tunai kurang efektif dalam mendongrak konsumsi rumah tangga ataupun daya beli. Bantuan tersebut juga tidak terlalu bedampak signifikan kepada pergerakan PDB secara keseluruhan. "Itu insignificant kalau hanya Rp 8 triliun. PDB kita sekitar Rp 1.600 triliun. Saya kira pengaruhnya ke PDB tidak sampai 0,1%, mungkin 0,0 sekian %," tutur David Sumual kepada Katadata, pekan lalu.

Ekonom Trimegah Sekuritas Fakhrul  Fulvian mengatakan subsidi upah lebih berfungsi kepada bantalan sosial. Bantuan subsidi upah adalah hal yang baik dan akan memberi booster tambahan untuk konsumsi. "Dampak terhadap konsumsi kecil, apalagi hanya Rp 8 triliun dan diberikan selama PPKM (Level 4)," katanya kepada Katadata.

Namun, Fakhrul menambahkan pemberian bantuan subsidi gaji kepada orang yang sudah berada di sektor formal juga kurang optimal dalam mendongrak daya beli dan konsumsi. Pasalnya, sektor informal lah yang selama ini mendapat hantaman sangat keras dari pandemi. 

Berdasarkan data BPS per Februari 2021, jumlah pekerja di sektor informal di Indonesia mencapai 78,14 juta atau 59,62% dari total pekerja. Sedangkan selama periode Februari 2020-Februari 2021, pekerja di sektor informal naik hampir 3 juta. Data ini menunjukan ada jutaan orang yang kehilangan pekerjaan di sektor formal sejak pandemi melanda Indonesia pada Maret.

Melemahnya daya beli masyarakat terekam dalam rendahnya inflasi inti sepanjang 2020. Merujuk pada data BPS, inflasi inti hanya 1,60% pada tahun lalu. Level ini sangat rendah dibandingkan tahun-tahun sebelumnya yang berada di kisaran 3%. Pada Maret 2021 bahkan terjadi deflasi pada kelompok pengeluaran inti yakni (-)0,03%, atau tepat setahun setelah terjadinya pandemi.


Fakhrul menambahkan, ketepatan sasaran pemberian bantuan subsidi gaji atau upah akan sangat menentukan laju konsumsi rumah tangga. "Yang paling urgent diberikan kepada orang-orang yang bekerja pada sektor informal, penurunan pendapatan mereka lebih tinggi. Kalau stimulus diarahkan kepada mereka, magnitudo support untuk konsumsi akan semakin besar," ujar Fakhrul.

Pekerja sektor informal seperti pedagang keliling atau mereka yang menjual barang di pusat wisata adalah salah satu kelompok informal yang sangat rentan terhadap dampak pandemi.

Selain menambah sektor informal, Fakhrul mengatakan, metode penyaluran bantuan akan sangat menentukan keefektifannya. Pemerintah bisa menggunakan prinsip proximity dalam penyaluran bantuan, dengan menaruhnya di tempat-tempat terdekat dengan sektor informal, seperti masjid, atau di premukiman padat.

Sekretaris Jenderal Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI) Maulana Yusran mengatakan adanya persyaratan keanggotaan BPJS Ketenagakerjaan sampai 30 Juni 2021 memberatkan bagi pengajuan subsidi upah. Ada banyak pekerja yang tidak terdaftar membayar BPJS hingga tanggal itu mengingat kantor mereka sudah tutup sama sekali atau sementara. Padahal, lebih dari ratusan ribu orang kehilangan pekerjaan di sektor perhotelan dan restoran sejak pandemi.

PEKERJA INFORMAL SAAT WABAH COVID-19 (ANTARA FOTO/FB Anggoro/foc.)

Disambut Gembira Penerima

Berbeda dengan penurunan konsumsi rumah tangga akibat kenaikan harga BBM atau krisis ekonomi 1997/1998 di mana mobilitas masyarakat leluasa, pandemi membuat gerak masyarakat terbatas. Inilah yang membuat upaya untuk mendongrak ekonomi menjadi sulit karena aktvitas ekonomi nyaris mandeg.

Pandemi memaksa pabrik menutup atau membatasi operasionalnya, mal tutup, makan di kafe atau restoran tidak diijinkan, acara berkumpul dilarang, penerbangan sempat dihentikan, obyek wisata ditutup, bahkan pelaksanaan ibadah ditiadakan atau dibatasi.

Tidak hanya kehilangan pendapatan, masyarakat terancam kehilangan pekerjaan. Karena itulah, meskipun jumlahnya kecil, masyarakat menilai bantuan itu sangat berharga. 

"Almdulillah bisa mennambah modal buat istri jualan. Tahun 2020 kantor saya harus tutup 4,5 bulan jadi pendapatan nyaris gak ada," ujar Baharuddin, karyawan di Serpong, Banten, kepada Katadata.  

"Teman ada yang dapat juga. Ada yang buat beli handphone, ada yang buat mbenerin sepeda," ujarnya. Baharuddin menjadi peneriman subsidi bantuan upah karena  didaftarkan langsung oleh kantornya.

Kebahagian serupa juga disampaikan Mira Handayani, ibu tunggal dari Bekasi yang bekerja di kantor penyedia jasa security.  Dia memperoleh bantuan tahun lalu kemudian digunakan untuk membayar biaya pendidikan anak dan ongkos pergi pulang kerja.

"Saat WFH, penghasilan berkurang jadi ketika anak butuh biaya untuk sekolah setelah kelulusan saya pakai uangnya untuk itu. Uang nya untuk melunasi tunggakan iuran sekolah. Tidak bisa sampai buat investasi tapi alhamdulilah bisa membantu," ujarnya.