- Nama lembaga ini diambil dari Christiaan Eijkman, Direktur pertama sekaligus peraih Nobel Kesehatan pada 1929.
- Eijkman telah memberikan kontribusi signifikan sejak era penemuan vitamin di awal abad ke-19 hingga analisis DNA teroris di abad modern.
- Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) melebur Lembaga Eijkman dan menyerap sebagian perisetnya ke institusi itu. Sebagian periset muda lainnya kebingungan karena tidak bisa diangkat menjadi ASN di BRIN.
Jelang tengah hari pada 9 September 2004, sebuah mobil Suzuki Carry yang mengangkut bom tiba-tiba meledak di depan Kedutaan Besar Australia. Ledakan bom itu begitu masif sehingga membuat pengenalan identitas pelaku tidak bisa dilakukan secara konvensional. Sekelompok ilmuwan di Jakarta harus bekerja keras mengungkap identitas pengebom dengan bantuan analisis DNA.
Para ilmuwan itu, dipimpin oleh Herawati Sudoyo, mengumpulkan 17 fragmen jaringan yang tercecer di sekitar lokasi kejadian. Mereka melakukan analisis DNA mitokondria untuk memastikan 17 fragmen jaringan itu memang milik pelaku. Selanjutnya, para ilmuwan menggunakan pendekatan short tandem repeat (STR) untuk membandingkan DNA pelaku dengan keluarganya.
Ini bukan pekerjaan mudah. Herawati dalam risetnya di jurnal Elsevier menyebut metode analisis DNA untuk korban bencana kala itu baru berkembang satu dekade terakhir. Khusus untuk kasus terorisme, metode ini pertama kali diaplikasikan saat keruntuhan menara kembar World Trade Center di New York pada 2001
Dalam ledakan di Kedubes Australia, kala itu Kepolisian telah mengantongi empat nama yang diduga menjadi pelaku. Berbekal nama-nama itulah para ilmuwan membandingkan DNA dari jaringan yang ditemukan di lokasi dengan DNA milik ibu para terduga teroris. Hanya dalam waktu dua minggu, para ilmuwan sukses mengidentifikasi tiga orang pelaku pengeboman Kedubes Australia.
Ini salah satu prestasi besar bagi para ilmuwan yang tergabung dalam Lembaga Eijkman itu. Pendekatan DNA di serangan September 2004 itu jadi titik balik keterlibatan sains dalam penanganan kasus terorisme di Indonesia.
Nama Herawati kian melambung. Belakangan, ia dijuluki ‘Si Pemburu DNA’. Herawati dan para ilmuwan di Lembaga Eijkman menggelar studi genetika untuk menjawab pertanyaan besar, siapa sebenarnya nenek moyang orang Indonesia?. Studi ini menjawab berbagai misteri penting soal asal-usul masyarakat Nusantara. Nama Lembaga Eijkman kian berkibar dan menjadi pusat riset biologi molekuler paling disegani.
Lembaga Eijkman menyandang status unik. Secara birokrasi, ia berada di bawah Kemenristek. Namun, Eijkman beroperasi selayaknya perusahaan swasta. Lembaga ini bisa merekrut penelitinya sendiri. Meski dibiayai oleh uang negara, status peneliti Eijkman bukan pegawai negeri sipil (PNS). Inilah yang membuat Lembaga Eijkman cenderung bebas beroperasi dan menjalankan riset-riset monumental.
Persoalan birokrasi inilah yang akhirnya menutup perjalanan panjang Lembaga Eijkman. Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) melebur Eijkman dan mengorbankan puluhan ilmuwan andalannya.
Kepala BRIN Laksana Tri Handoko mengatakan pihaknya memberikan sejumlah opsi kepada para peneliti. Bagi yang sudah berstatus PNS periset bisa melanjutkan karir di BRIN sebagai peneliti. Adapun periset S3 yang masih honorer bisa mendaftar sebagai ASN. Polemik justru dihadapi periset yang belum punya gelar S3. Mereka dipersilahkan untuk melanjutkan studi atau menjadi operator di lab Cibinong. Adapun honorer yang bukan periset akan dialihtugaskan ke RSCM.
"Perlu dipahami bahwa LBME selama ini bukan lembaga resmi pemerintah, dan berstatus unit proyek di Kemenristek. Hal ini menyebabkan selama ini para PNS Periset di LBME tidak dapat diangkat sebagai Peneliti penuh, dan berstatus seperti tenaga administrasi," kata Laksana kepada Katadata.co.id, Minggu (2/1).
Lembaga Eijkman yang didirikan Pemerintah Belanda pada 1888 punya sejarah panjang dan berliku. Namanya diambil dari Christiaan Eijkman, dokter sekaligus peneliti asal Belanda yang meriah penghargaan Nobel Kesehatan pada 1929. Ia juga menjadi direktur pertama yang memimpin lembaga ini.
Ayam-Ayam Eijkman
Suatu sore di akhir 1890-an, Christiaan Eijkman mondar-mandir di satu sudut rumah sakit militer di Batavia. Matanya menatap ayam-ayam yang berkeliaran di sekitar rumah sakit. Kondisi unggas itu mengenaskan. Langkahnya goyah. Dua kakinya nyaris tidak berfungsi membuat ayam itu kesulitan berdiri.
Eijkman, Kepala Laboratorium Riset di Batavia, langsung teringat pada penyakit beri-beri ketika melihat kondisi ayam-ayam tersebut. Ia lantas memboyong beberapa ayam pesakitan ke lab miliknya. Beberapa hari kemudian, hewan itu sembuh dengan sendirinya. Padahal, tidak diobati sama sekali.
Tiga tahun terakhir, penyakit beri-beri yang menyerang banyak serdadu Belanda telah memusingkan Eijkman dan para dokter lainnya. Beberapa ahli menduga penyakit itu disebabkan oleh bakteri. Namun, belum ada satupun peneliti yang sukses mengisolasi patogen yang menjadi tersangkanya.
Terhenyak oleh ayam-ayamnya yang tiba-tiba sembuh, Eijkman lantas mulai serius melakukan penelitian. Belakangan, ia mafhum diet pakan punya peran penting. Ketika dipelihara di area khusus, seorang koki memberi makan ayam itu dengan beras kampung yang belum dipoles, menyisakan kulit yang masih menempel. Ini jenis beras yang dihindari oleh penduduk makmur di Batavia. Orang-orang Belanda lebih menyukai beras putih bersih yang dianggap lebih layak dikonsumsi.
Eijkman berasumsi pastilah ada zat khusus dalam beras kampung itu yang membantu proses kesembuhan ayam-ayam itu. Pun demikian, awalnya Eijkman masih keliru mengambil kesimpuan. Ia berpikir zat khusus itu menjadi semacam algojo yang membasmi bakteri penyebab penyakit beri-beri.
Butuh kecerdasan Gerrit Grijn dan Frederick Hopkins untuk menyempurnakan temuan Eijkman. Keduanya memang meyakini ada zat khusus di kulit beras yang berperan penting menyembuhkan penyakit beri-beri. Namun, itu bukanlah pembasmi bakteri. Sebab belakangan, para ahli baru mengetahui penyakit ini bukan disebabkan oleh patogen.
Hopkins menyebutnya ‘accessory food factors’ atau substansi esensial dalam makanan yang dibutuhkan makhluk hidup. Inilah cikal bakal penemuan vitamin. Eijkman dan Hopkins diganjar hadiah Nobel pada 1929 atas penelitiannya ini. Adapun Grijn tidak ikut menerima hadiah itu karena telah meninggal dunia saat inagurasi.
Pusat Riset Penyakit Tropis
Christian Eijkman lahir pada 11 Agustus 1858 di Nijkerk, Belanda. Usai menuntaskan pendidikan doktoral, ia berlayar ke Semarang pada 1983 ketika mendapatkan tugas sebagai dokter militer. Eijkman sempat berpindah ke Cilacap dan Padang Sidempuan. Namun, tubuhnya ambruk oleh Malaria sehingga harus kembali ke Belanda pada 1885.
Tiga tahun kemudian, Eijkman kembali di Jawa dengan tugas khusus. Ia mengepalai laboratorium yang baru saja dibentuk di Batavia. Kantornya meminjam satu ruangan di Groot Militair Hospitaal Weltevreden, yang sekarang dikenal dengan nama RSPAD Gatot Subroto.
Reputasi Eijkman dan lembaga risetnya meroket dengan cepat. Lembaga riset di Batavia menjadi rumah bagi sejumlah terobosan penting di sektor medis. Tidak hanya beri-beri, Lembaga Eijkman juga aktif memburu misteri dibalik penyakit malaria. Guna menghormati kontribusinya, lab itu pun diganti nama menjadi Lembaga Eijkman pada 1938.
Pada 1942, terjadi perubahan besar di Nusantara. Jepang mengusir Belanda dan menjadi penguasa di Hindia Belanda. Tentara Jepang menangkap para dokter dan peneliti Belanda, termasuk W.K. Martens, Direktur Lembaga Eijkman kala itu.
Tampuk kepemimpinan Lembaga Eijkman lantas diserahkan kepada Achmad Mochtar, dokter lulusan Stovia berdarah Minang. Peristiwa ini jadi perubahan besar di Lembaga Eijkman. Achmad Mochtar adalah orang pribumi pertama yang memimpin lembaga itu.
Mochtar cuma tiga tahun memimpn Lembaga Eijkman tetapi itu jadi masa paling kelam dalam sejarah lembaga itu. Sangkot Marzuki dan Kevin Baird dalam bukunya ‘Eksperimen Keji Kedokteran Penjajahan Jepang’ menceritakan tentara Jepang menuduh para ilmuwan Eijkman menyabotase vaksin tetanus yang diberikan kepada para romusha. Belasan peneliti Eijkman ditangkap termasuk Achmad Mochtar. Belakangan, Mochtar bernegosiasi dengan para penangkapnya. Ia bersedia mengakui keterlibatannya dengan syarat Jepang membebaskan koleganya.
“Achmad Mochtar telah mati sebagai pahlawan ilmu pengetahuan dan kemanusiaan bagi Indonesia,” tulis Sangkot.
Lembaga Eijkman masih terus beroperasi setelah kemerdekaan Indonesia. Namun, kondisi politik di era 1960-an memaksa pemerintah Orde Baru akhirnya menutup institusi itu.
Kelahiran Kembali
Sangkot Marzuki sudah menjadi peneliti terkemuka di Australia tatkala Menristek B.J Habibie memanggilnya pulang pada 1990. Dalam wawancaranya dengan The Conversation, Sangkot menceritakan Habibie mengundangnya ikut upacara kemerdekaan di Istana Negara untuk merayunya.
Habibie ingin Sangkot berkarir di Indonesia dan membangun pusat penelitian biologi molekuler di Tanah Air. Sangkot lantas mengajukan syarat khusus. Ia ingin agar lembaga itu dibangun untuk melanjutkan warisan Lembaga Eijkman. Habibie berseru girang. Lembaga Eijkman yang mati suri selama puluhan tahun akhirnya dibentuk kembali pada 1992. Sangkot menjadi Direktur Lembaga Eijkman jilid II.
Sejak pandemi melanda Indonesia pada Maret 2019, Lembaga Eijkman punya peranan vital. Eijkman membentuk Tim Waspada Covid-19 (Wascove) dengan tugas dari hulu ke hilir. Mereka mendistribusikan alat tes, mengambil sampel, hingga memeriksanya di lab khusus.
Eijkman juga menginisiasi penelitian plasma konvalesen untuk meningkatkan kesembuhan pasien Covid-19. Terapi ini dilakukan dengan mengambil darah eks pasien Covid-19 yang sudah sembuh empat minggu sebelumnya dan memberikannya dengan pasien Covid-19 bergejala berat.
Salah satu kontribusi signifikan lain oleh Lembaga Eijkman adalah pengembangan vaksin merah putih. Vaksin ini disebut memiliki keunggulan dibandingkan dengan vaksin lainnya. Pasalnya, Eijkman mengembangkan vaksin Merah Putih berbasis protein rekombinan yang diharapkan bisa disimpan di suhu 4 derajat celcius. Adapun vaksin mRNA yang banyak beredar saat ini harus disimpan di suhu minus.
Vaksin Merah Putih ditargetkan bisa diproduksi pada pertengahan 2022. Namun, dengan peleburan Eijkman ke BRIN, sejumlah pihak mengkhawatirkan kelanjutan vaksin Merah Putih. Selain kekhawatiran soal proyek riset strategis, nasib para peneliti di Eijkman juga menjadi kekhawatiran terkait kebijakan integrasi ini.
Hampir 1,5 abad perjalanan Lembaga Eijkman rupanya harus berakhir di hadapan birokrasi. Bermula dari Christiaan Eijkman dan ayam-ayamnya, di satu sudut rumah sakit militer di Batavia, lembaga itu menghantam tembok tebal dari Istana.
Ironisnya, BRIN yang akan menjadi payung seluruh lembaga riset di Indonesia kini berkantor di Gedung B.J Habibie di Menteng Jakarta Pusat. Ikon sains Indonesia B.J Habibie yang dulu membangunkan Lembaga Eijkman dari tidur panjangnya kini juga menjadi tempat peristirahatan terakhir lembaga penelitian terkemuka itu.