• Kenaikan harga minyak dunia hingga di atas US$ 100 per barel membuat sektor hilir Pertamina diperkirakan merugi di 2021.
  • Keputusan Pertamina menaikkan harga Pertamax menjadi Rp 12.500 bertujuan menyelamatkan kinerja keuangan perusahaan.
  • Pemerintah dan Pertamina harus mewaspadai potensi migrasi konsumen secara masif dari Pertamax ke Pertalite yang kini ditetapkan menjadi BBM penugasan. 

Teka-teki soal harga jual Pertamax akhirnya terjawab sudah. PT Pertamina Patra Niaga menetapkan harga bahan bakar minyak (BBM) RON 92 ini sebesar Rp 12.500 yang berlaku mulai 1 April ini.

“Harga Pertamax ini tetap lebih kompetitif di pasar,” kata Irto Ginting, Pjs. Corporate Secretary Pertamina Patra Niaga, dalam keterangan resmi, Kamis (31/3).

Sebelum keputusan tersebut diambil, PT Pertamina (Persero) sudah lebih dulu mendapatkan lampu hijau dari DPR. Dalam rapat antara Pertamina dan Komisi VI DPR pada Selasa (28/3), DPR menyebut kesehatan keuangan Pertamina jadi alasan utama mengapa lembaga legislatif akhirnya memberikan izin.

Harga Pertamax yang kini dibanderol Rp 9.000 per liter memang telah membebani keuangan Pertamina seiring dengan kenaikan harga minyak global. Sejak pertengahan tahun lalu, sejumlah ekonom dan pakar sudah memprediksi Pertamina akan kelimpungan jika harga BBM RON 92 itu tidak dinaikkan.

Namun kala itu, Pertamina tetap bergeming. Saat melaporkan laporan keuangan konsolidasi pada Agustus 2021, Vice President Corporate Communications Pertamina Fajriyah Usman mengatakan laba sektor hilir sudah tertekan oleh beban pokok produksi bahan bakar. Namun, Pertamina tidak menaikkan harga jual karena mempertimbangkan penurunan daya beli masyarakat akibat pandemi Covid-10.

Harga minyak global yang terus meroket membuat Pertamina tidak bisa lagi berdiam diri. Pada Rabu (30/3) misalnya, harga minyak Brent sudah mencapai US$ 109,43 per barel. Bahkan di awal Maret lalu, harga minyak jenis ini sempat menyentuh angka US$ 130 per barel. Padahal, asumsi makro APBN cuma mematok harga minyak US$ 63 per barel.

Pertamina sempat menaikkan harga Pertamax Turbo, Dexlite, dan Pertadex pada awal Maret silam. Namun menurut Direktur Utama Pertamina Nicke Widyawati porsi BBM jenis ini cuma 3% dari seluruh penjualan bahan bakar perusahaan. Kenaikan ini pun dianggap tidak signifikan. Dalam rapat dengan DPR, Nicke pun meminta meminta dukungan DPR untuk menaikkan harga Pertamax.

“Pertamax itu memang bukan buat masyarakat miskin,” kata Nicke.

KONSUMSI BBM MENURUN (ANTARA FOTO/Oky Lukmansyah/hp.) 

Tertekan di Sektor Hilir

Pertamina sampai saat ini belum merilis laporan keuangan untuk tahun 2021. Namun, jika melihat kinerja Pertamina di paruh pertama tahun lalu sebenarnya cukup menjanjikan. Pada periode tersebut, perusahaan berhasil membukukan laba konsolidasi hingga US$ 183 juta atau sekitar Rp 2,6 triliun.

Ini performa gemilang sebab jika menilik pencapaian di semester I 2020, kala itu Pertamina merugi hingga US$ 768 juta. Artinya, kenaikan laba Pertamina mencapai US$951 juta atau setara dengan Rp 13,6 triliun.

Executive Director ReforMiner Institute Komaidi Notonegoro menilai paruh kedua 2021 menjadi tantangan berat bagi Pertamina. Selain harga minyak dunia yang mulai merangkak naik, Pertamina juga dibebani oleh BBM tertentu dan BBM penugasan. BBM tertentu misalnya minyak tanah dan solar. Sedangkan BBM penugasan berupa Premium dan Pertalite.

“Tahun lalu penjualan BBM RON 90 [Pertalite] itu mencapai 20 juta kilo liter, sementara Pertamax sekitar 5 juta kilo liter,” kata Komaidi kepada Katadata, Kamis (31/3).

Komaidi menghitung dengan harga Rp 7.650 per liter untuk Pertalite dan Rp 9.000 per liter untuk Pertamax, Pertamina harus menangguk selisih pendapatan hingga puluhan triliun. Khusus Pertalite misalnya, kerugiannya diperkirakan mencapai Rp 37 triliun-Rp 97 triliun. Sedangkan kerugian dari penjualan Pertamax sekitar Rp 14 triliun-Rp 20 triliun.

Beban berat yang ditanggung Pertamina ini membuat kinerja keuangan 2021 diprediksi memburuk. Sumber Katadata menceritakan ini salah satu alasan mengapa Pertamina belum merilis laporan keuangan tahun lalu.

“Kabarnya Patra Niaga merugi di 2021,” kata Sumber tersebut.

Ini akan jadi pukulan telak bagi Patra Niaga. Pasalnya, pada 2020 anak usaha Pertamina tersebut masih menikmati laba hingga US$ 61,6 juta atau sekitar Rp 887 miliar. Angka ini bahkan lebih tinggi 186% dari target yang ditetapkan. Laba ini juga meningkat sebesar US$ 22,8 juta dari pencapaian 2019, ketika pandemi Covid-19 belum melanda.

Di sisi lain, Komaidi memperkirakan kinerja Pertamina sejatinya masih cukup bagus. Meskipun di sektor hilir yang diwakili oleh Patra Niaga bakal tertekan, kinerja Pertamina di sektor hulu cukup menjanjikan.

“Laba di sektor hulu seharusnya masih bisa mengkompensasi kerugian Patra Niaga,” kata Komaidi.

Tuntasnya akuisisi Blok Rokan dari Chevron pada Agustus 2021 misalnya, menjadi salah satu senjata utama Pertamina untuk mendorong produksi dan pendapatan di sektor hulu. Menurut laporan Moody’s Investor Service, Blok Rokan membuat produksi rata-rata harian Pertamina mencapai 866 kboepd pada kuartal III 2021 dan meningkat hingga 1.000 kboepd di 2022.

Blok Rokan Kembali Ke Pangkuan Indonesia (Katadata)

 

Analis Moody’s Hui Ting Sim memperkirakan kerugian Pertamina di sektor hilir memang tidak bisa terhindarkan ketika harga minyak dunia sudah di atas US$ 60 per barel.

“Selama sembilan bulan pertama tahun 2021, EBITDA Pertamina turun 23% YoY menjadi $4,4 miliar,” tulis Ting Sim, saat mengafirmasi rating Baa2 Pertamina, Januari silam.

Moody’s menyebut kinerja keuangan Pertamina akan sangat bergantung pada pemerintah. Menurut Ting Sim, Pertamina berharap bisa menambal kerugian di sektor hilir dengan penggantian biaya subsidi dan kompensasi dari pemerintah. Laporan itu menyebut BUMN ini memperkirakan kompensasi pemerintah untuk tahun 2021 mencapai US$ 1,5 miliar.

Sementara itu, Komaidi menilai penggantian kompensasi dari Pemerintah tidak akan serta merta berdampak besar pada laporan keuangan Pertamina. Ia menjelaskan BUMN ini menjalankan dua mekanisme berbeda untuk BBM bersubsidi dan BBM penugasan. Khusus untuk subsidi, ketentuannya sudah diatur lewat APBN sehingga nilainya sudah bisa diprediksi.

Namun, kondisi ini berbeda untuk BBM penugasan seperti Pertalite. “Kalau penugasan hanya diatur lewat keputusan Menteri Keuangan,” kata Komaidi.

Kondisi ini membuat Pertamina tidak bisa memperkirakan berapa banyak selisih biaya yang akan dikompensasi Pemerintah. Pasalnya, Kementerian Keuangan akan menyesuaikan dengan kondisi fiskal sebelum membayarkan biaya kompensasi kepada Pertamina.

“Biasanya yang dibayar tidak sampai 100%. Mungkin cuma Rp 70%-80% saja,” Komaidi menjelaskan.

Kondisi ini diperparah oleh tumpukan utang Pemerintah kepada BUMN yang sudah menggunung. Menteri Keuangan Sri Mulyani menyebut total utang Pemerintah kepada Pertamina dan PT Perusahaan Listrik Negara (PLN) saja sudah mencapai Rp 109 triliun. Khusus ke Pertamina, tunggakan yang belum dibayarkan berupa Rp 15,9 triliun sisa kewajiban di 2020 dan Rp 68,5 triliun untuk kewajiban di 2021.

"Inilah yang disebut shock absorber. APBN mengambil seluruh shock yang berasal dari kenaikan harga minyak dan biaya penyediaan listrik," kata Sri Mulyani, Senin (28/3).

Sri Mulyani memprediksi kondisi ini masih akan berlangsung di 2022. Apalagi selama tiga bulan pertama tahun ini, belum ada perubahan tarif listrik dan BBM yang dilakukan oleh PLN dan Pertamina.

Menteri Sri menyebut membuat APBN menghadapi tekanan baru berupa pembengkakan belanja untuk subsidi. Belanja APBN sebelumnya banyak untuk kebutuhan kesehatan, kini beralih untuk menahan kenaikan harga-harga sejumlah kebutuhan masyarakat.

Tantangan 2022

Meskipun Pertamina akhirnya mengerek harga jual Pertamax, tekanan terhadap kinerja keuangan perusahaan diprediksi masih akan berlanjut di 2022. Executive Director Energy Watch Mamit Setiawan mengatakan harga jual Pertamax di Rp 12.500 sejatinya masih cukup jauh dari harga keekonomian.

Mamit menghitung Pertamina masih harus menanggung selisih harga jual hingga Rp 2.000-Rp 3.000 per liter meskipun harga Pertamax sudah naik.

“Tetapi paling tidak ini [kenaikan harga Pertamax] bisa sedikit meringankan beban Pertamina,” ujarnya saat dihubungi Katadata, Kamis (31/3).

Sepekan sebelum Pertamina memutuskan menaikkan harga Pertamax, Kementerian ESDM sempat membeberkan hitung-hitungan harga jual ideal BBM RON 92 ini. Kepala Biro Komunikasi, Layanan Informasi Publik dan Kerja Sama Kementerian ESDM, Agung Pribadi mengatakan harga keekonomian Pertamax pada Maret sebesar Rp 14.526 per liter.

Bahkan jika mengacu pada harga minyak dunia saat ini, Agung memperkirakan nilai jual Pertamax seharusnya bisa lebih tinggi lagi.

“Bisa jadi sekitar Rp. 16.000 per liter. Karena kalau berkepanjangan memang bebannya berat juga baik ke APBN, Pertamina dan sektor lainnya,” katanya dalam keterangan resmi, Jumat (25/3).

Kendati demikian, pengamat menilai harga keekonomian tidak bisa diadopsi begitu saja. Mamit Setiawan mewanti-wanti Pemerintah harus tetap menjaga daya beli masyarakat dengan menjaga agar BBM tetap terjangkau.

“Pertamina juga harus memperhatikan harga jual RON 92 di SPBU swasta lainnya,” kata Mamit.

Sebagai perbandingan, Shell saat ini menjual Ron 92 (Shell Super) seharga Rp 12.990 per liter sedangkan BP-AKR menjual BBM jenis ini dengan harga Rp 12.500 per liter.

Potensi Migrasi Pertalite

Selain menaikkan harga Pertamax, Pemerintah juga menyepakati untuk menetapkan Pertalite sebagai BBM penugasan. Artinya, Pertamina akan tetap menjaga banderol Pertalite di rentang harga saat ini. Adapun selisihnya akan dibayar oleh Pemerintah.  Hal ini dikhawatirkan bakal memicu migrasi konsumen dari Pertamax ke Pertalite.

Kendati demikian, Mamit menilai dengan harga jual Pertamax Rp 12.500 per liter, potensi migrasi ini semakin kecil. Pasalnya, konsumen Pertamax berasal dari golongan menengah atas.

“Mereka sudah paham manfaat BBM dengan RON lebih tinggi,” kata Mamit.

Pendapat berbeda diungkapkan oleh Direktur Center of Economic and Law Studies (Celios), Bhima Yudhistira. Ia memprediksi kalangan kelas menengah yang rentan berpotensi besar berpindah ke Pertalite.

"Perlu dicatat, kelas menengah yang rentan jumlahnya mencapai 115 juta orang. Sedikit saja penyesuaian harga BBM, mereka langsung turun kelas," kata Bhima.

Bhima menyebut kondisi ini harus diwaspadai Pemerintah. Jika migrasi besar-besaran terjadi, masalah baru berupa beban subsidi yang membengkak tidak bisa dihindari.

"Seolah penyelamatan keuangan Pertamina tapi konsekuensi lain migrasi sebabkan beban APBN ikut bengkak,” ujarnya.

Reporter: Muhamad Fajar Riyandanu, Abdul Azis Said