Perusahaan menggarap sektor ini dengan meluncurkan solusi fixed broadband XL Home. Tidak hanya menyediakan paket data rumahan unlimited, XL membundel dengan layanan video on demand.

Operator telekomunikasi ini bergerak lebih jauh dengan memperkenalkan XL Satu pada Desember 2021. Solusi ini menawarkan pelanggan paket data fixed broadband sekaligus paket internet mobile dengan kuota tertentu.

Di sektor video on demand, XL juga menjalin kolaborasi dengan platform Vidio untuk memberikan konten-konten premium. “XL Axiata memandang kolaborasi menjadi suatu hal yang mutlak dilakukan untuk terus berkembang di industri digital Tanah Air,” ujar Direktur & Chief Commercial Officer XL Axiata David Arcelus Oses, April lalu.

Berdamai dengan OTT?

Strategi kolaborasi XL dengan pemain over the top (OTT) seperti Vidio mungkin sulit dibayangkan beberapa tahun sebelumnya. Kala itu, OTT seringkali dianggap sebagai musuh bebuyutan operator telekomunikasi.

Layanan OTT yang membutuhkan kuota jumbo dianggap membebani layanan data yang diberikan operator. Telkomsel bahkan telah memblokir Netflix sejak 2016, sebelum akhirnya melunak dan mulai menerima platform tersebut pada 2020 lalu.

Kini, kolaborasi operator dengan layanan OTT sudah kian lumrah. “Keberadaan website [OTT] tidak bisa dielakkan,” kata Direktur Utama PT Smartfren Indonesia Tbk. Merza Fachys kepada Katadata.

Ia menyebut operator telekomunikasi tidak punya kompetensi untuk memproduksi konten seperti yang dilakukan platform video on demand. Namun, operator harus memastikan platform OTT tersebut memiliki sumber daya mumpuni untuk menjajakan produknya kepada pelanggan.

“Sekarang kalau pas lagi nonton tiba-tiba buffering, pasti operator yang disalahkan. Padahal bisa jadi server-nya yang bermasalah,” kata Merza.

Tren semacam ini bisa jadi merugikan bagi operator karena pelanggan berpotensi pindah ke operator lain. “Jadi sekarang kami aktif memberikan rekomendasi kepada partner kalau kapasitas server-nya kurang, misalnya,” katanya.

Netflix (Netflix)
 

Diversifikasi Sumber Pendapatan

Diversifikasi produk digital, apapun bentuk dan strateginya, bisa menjadi solusi bagi operator untuk menggali sumber-sumber pendapatan baru. Direktur Eksekutif ICT Institute Heru Sutadi mengatakan persaingan layanan data dan internet saat ini sangat ketat. Pendapatan di lini bisnis ini sudah menjadi pendapatan yang normal bagi operator.

“Diversifikasi saat ini sangat diperlukan selain menjual layanan data sebagai core business operator,” katanya kepada Katadata.

Heru menjelaskan operator bisa memodifikasi layanan digital dari pemain lain atau membangun layanan sendiri dari awal. Saat ini pemanfaatan industri 4.0 bisa jadi merupakan bisnis digital baru. Sejumlah solusi terkini seperti analisis big data, internet of things (IoT), kecerdasan buatan serta layanan streaming maupun dompet digital menjadi kue bisnis yang bisa diperebutkan.

Salah satu tantangannya adalah pasar yang masih baru. Menurut Heru, butuh waktu untuk membentuk pasar digital yang baru. Selain itu, meluncurkan layanan digital berarti juga butuh modal yang tidak sedikit.

Apalagi tidak semua manajemen perusahaan berani keluar dari zona nyaman yang hanya menjajakan pulsa atau paket data internet daja. “[Pendapatan] dari konektivitas masih yang utama. Karena itu perlu diversifikasi agar tidak stagnan ke depannya,” kata Heru.

Ketua Umum Masyarakat Telekomunikasi Indonesia (Mastel) Sarwoto Atmosutarno mengatakan mau tidak mau operator memang harus memasuki bisnis digital. Menurutnya, pasar bandwidht internet saat ini sudah mulai jenuh. Selain terbebani oleh investasi infrastruktur yang besar, operator juga masih menghadapi perang tarif paket data.

“Pendapatan operator di sektor bandwidth mulai stagnan, dan berpotensi turun terus,” kata Sarwotonya.

Persoalan bandwidht saat ini hanya tinggal kesenjangan akses. Namun, persoalan ini dinilai akan segera teratasi dalam 2-3 tahun ke depan. “Setelah itu apa? Pertumbuhan bisnis bandwidht akan segitu-gitu saja,” katanya.

Memasuki bisnis digital bisa menjadi penolong operator di tengah segudang persoalan di bisnis bandwidht. Apalagi menurutnya, operator punya captive market pelanggan yang sangat besar. Ini yang membedakan operator telekomunikasi dengan start up lain yang sudah masuk ke pasar.

“Bayangkan misalnya kalau Telkomsel bisa membuat semua mitra Gojek pakai bandwidht Telkomsel. Berapa itu potensi keuntungannya,” ujarnya menyebut strategi investasi Telkomsel di Gojek.

Kendati demikian, menurut Sarwoto, bisnis digital bukan tanpa tantangan. Menurutnya, ini lini bisnis dengan risiko tinggi meskipun menjanjikan potensi keuntungan yang tinggi pula.

“Saya rasa sekarang masih di tahap pembelajaran. Soal keuntungan itu tergantung strategi masing-masing operator,” kata Sarwoto.

Halaman:
Reporter: Rezza Aji Pratama