Sistem Kebut Sebulan UU PPSK, Ampuhkah Cegah RI dari Krisis Keuangan?
- DPR menyetujui RUU PPSK ditetapkan sebagai undang-undang setelah membahasnya selama satu bulan dengan pemerintah.
- RUU PPSK merupakan omnibus law yang merevisi sejumlah pasal dalam 17 undang-undang.
- Kewenangan Menkeu, BI, OJK, dan LPS ditambah
Senjata pemerintah untuk menghadapi krisis keuangan yang menjadi ancaman perekonomian global pada tahun depan bertambah. Rancangan Undang-undang Pengembangan dan Penguatan Sektor Keuangan resmi disahkan untuk diproses sebagai undang-undang melalui sidang paripurna DPR setelah pembahasan selama 35 hari.
DPR secara resmi mulai membahas UU inisiatifnya ini pada 10 November 2022 membentuk panitia kerja (panja) bersama pemerintah. Ada ribuan daftar inventaris masalah yang diajukan pemerintah untuk dibahas dalam panja tersebut. Meski sempat menuai kontroversi, tak butuh waktu lama bagi panja untuk mencapai kesepakatan. Hanya kurang dari sebulan yakni pada 8 Desember 2022, draf RUU sudah diajukan ke rapat kerja Komisi XI DPR untuk disepakati.
Kondisi ini berbeda dengan Undang-undang Pencegahan dan Penanganan Sistem Keuangan (UU PPKSK) yang disahkan pada 2016. Proses politik pembentukan UU ini membutuhkan waktu delapan tahun sejak pertama kali diajukan pada 2008.
Wakil Ketua Komisi XI DPR RI yang juga ketua Panja RUU PPSK Dolfie OFP membantah anggapan bahwa pembahasan RUU PPSK berlangsung kilat. Menurut dia, proses penyusunan draft usulan DPR ini sudah dilakukan sejak September tahun lalu, meski memang baru dibahas secara resmi dengan pemerintah bulan lalu.
"Sehingga kalau dilihat memang prosesnya seolah-olah cepat," kata Dolfie dalam konferensi pers usai pengesahan UU PPSK, Kamis (15/12).
Menurut Dolfie, pembahasan yang relatif cepat sejak raker pertama bulan lalu karena pemerintah sebenarnya sudah menyepakati sebagian besar pasal-pasal dalam draft usulan DPR. Oleh karena itu, menurut dia, hanya beberapa DIM tertentu yang perlu pembahasan lebih dalam.
Ia mengatakan, beberapa DIM yang sempat menimbulkan perdebatan lama terutama soal kelembagaan otoritas keuangan. Salah satunya terkait usulan pembentukan badan supervisi untuk OJK dan LPS. Pasal-pasal terkait revisi aturan koperasi simpan pinjam (KSP) juga termasuk yang pembahasannya cukup alot. Namun belakangan, pemerintah juga sepakat dengan pasal tersebut.
"Intinya, pemerintah banyak menyetujui apa yang diusulkan DPR. Kalau sudah disetujui kita tidak perlu panjang-panjang, jadi hanya fokus beberapa hal yang belum menemukan titik temu," ujarnya.
Menteri Keuangan Sri Mulyani juga mengatakan pembahasan antara pemerintah dengan DPR soal RUU PPSK ini sebetulnya sudah sejak lama. Penyusunan draf, termasuk tahapan-tahapan konsultasi sudah dilakukan bahkan sebelum raker resmi pada 10 November.
"Jadi ini proses yang luar biasa cukup panjang. Namun proses formal legislasi tetap mengikuti peraturan perundang-undangan, termasuk dilakukannya meaningful participation," kata Sri Mulyani dalam agenda yang sama dengan Dolfie.
Reformasi Sistem Keuangan
Sri Mulyani menyebut, omnibus law ini akan merevisi belasan UU yang sudah ada, termasuk beberapa UU yang usianya sudah terlalu lawas. Beleid ini disusun untuk mengawal sektor keuangan sudah berkembang pesat.
Menurutnya, UU ini lahir pada waktu yang tepat saat meningkatnya tantangan di ekonomi dan keuangan global. Konstelasi geopolitik telah menyulut inflasi makin tinggi yang kemudian memicu pengetatan moneter di banyak negara. Situasi ini telah menimbulkan dampak signifikan ke sektor keuangan.
Sri Mulyani juga beberapa kali menyebutkan potensi tiga krisis yang dihadapi perekonomian dunia pada tahun depan. Salah satunya, krisis keuangan. Oleh karena itu, reformasi sistem keuangan adalah keniscayaan.
Potensi tiga krisis ini muncul seiring dengan perekonomian dunia yang melemah tahun depan, Bank Dunia bahkan melihat risiko resesi global terjadi pada tahun depan semakin meningkat.
Adapun UU PPSK memuat 27 Bab dan 341 pasal. Area yang diatur luas, mulai dari kewenangan menteri keuangan, Bank Indonesia, Otoritas Jasa Keuangan, dan Lembaga Penjaminan Simpanan, hingga pengaturan kegiatan usaha bullion atau bank emas.
Kewenangan Menkeu, OJK, BI, dan LPS ditambah untuk mengantisipasi maupun menangani krisis. Aturan ini, antara lain mengubah sejumlah ketentuan dalam UU pencegahan dan penanganan krisis sistem keuangan, termasuk kewenangan masing-masing anggota KKSK.
Menteri Keuangan sekaligus Ketua Komite Stabilitas Sistem Keuangan (KSSK) mendapatkan tambahan kewenangan dalam RUU PPSK, yakni berhak mengambil keputusan jika terjadi deadlock saat rapat pengambilan keputusan di KSSK. Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) kini juga memiliki hak suara dalam penentuan keputusan di rapat KSSK.
RUU ini juga mengatur detail terkait penanganan bank gagal atau bermasalah yang dalam beleid baru ini disebut dengan bank dalam resolusi. Penanganan bank sistemik yang gagal diputuskan oleh KKSK, sedangkan bank nonsistemik diputuskan oleh LPS. Kewenangan LPS untuk menetapkan untuk menutup atau menyelamatkan bank selain sistemik turut mempertimbangkan kondisi perekonomian, kompleksitas masalah bank, dan pangsa pasar dalam industri.
Selain masalah penanganan bank gagal, LPS juga mendapatkan tugas baru sebagai penjamin polis. Tugas baru juga diamanatkan UU PPSK kepada OJK, yakni mengawasi pasar kripto dan perdagangan karbon.
OJK mendapatkan tambahan kewenangan untuk mengawasi pasar kripto dan perdagangan karbon. Sementara itu, BI mendapatkan tambahan kewenangan membeli SBN di pasar perdana dan LPS diamanatkan turut menjamin polis asuransi.
Pengaturan yang Masih Bolong
Pengamat Asuransi Irvan Raharjo melihat masih ada sejumlah bolong pada UU PPSK, terutama terkait pengaturan industri keuangan nonbank teramasuk asuransi. UU PPSK tak mengkategorikan industri keuangan nonbank dari kategori sistemik sehingga tidak ada dana talangan atau bail out dari pemerintah jika terjadi krisis di industri nonbank.
Ini berbeda dengan draft awal RUU PPSK yang menyebutkan industri keuangan nonbank termasuk asuransi dikategorikan dapat berdampak sistemik.
"Uang masuk dalam kategori risiko sistemik hanya bank, asuransi tidak termasuk. Padahal, beberapa asuransi bisa masuk kategori sistemik karena ikut menanggung fungsi intermediasi, misalnya asuransi kredit," ujarnya.
Ia juga memberikan catatan terkait peran LPS sebagai penjamin polis dalam omnibus law tersebut. Meski memiliki peran untuk membereskan masalah saat asuransi ditutup, LPS tak memiliki kewenangan untuk menyidik dan menuntut pihak yang dianggap merugikan konsumen.
"Kewenangan untuk menuntut pihak yang merugikan ada di UU OJK, tetapi tak diatur dalam UU PPSK. Aneh rasanya, LPS diminta membereskan masalah setelah likuiditasi, tetapi kewenangan penuntutannya masih ada di OJK," katanya.
Senjata Baru Cegah Krisis?
Meski demikian, UU PPSK diharapkan mampu menjadi amunisi pemerintah untuk mencegah dan menangani krisis keuangan. Kepala Ekonom BCA David Samual menilai UU PPSK ini sebenarnya cukup komprehensif sebagai alat untuk mencegah dan menangani jika terjadi krisis keuangan
Indonesia sebenarnya sudah memiliki aturan untuk mencegah dan menangani krisis keuangan sejak 2016, melalui Undang-undang Pencegahan dan Penanganan Krisis Sistem Keuangan (PPKSK). Namun, aturan tersebut dinilai belum cukup.
"Memang kita perlu mengantisipasi skenario terburuk jika terjadi krisis, karena ternyata kemarin saat pandemi, kita sempat tergagap-gagap juga, maka kita membuat perpu dan lainnya ," ujar David kepada Katadata.co.id.
Menurut dia, UU PPSK menjadi landasan baru yang penting dalam mencegah dan menangani krisis keuangan. Aturan ini juga mampu membangun kepercayaan pasar di tengah ketidakpastian ekonomi saat ini. Meski demikian, David menegaskan kondisi Indonesia saat ini cukup bagus sehingga sebenarnya jauh dari potensi krisis keuangan.
"Saya lihat pengaturan OJK dan LPS semakin komprehensif. UU ini juga antisipatif terkait keluhan masyarakat dengan menambah pengawasan berbagai jenis aset baru oleh OJK," kata David.
Ancaman krisis ekonomi keuangan muncul seiring ramalan suram perekonomian dunia pada tahun depan. Bank Dunia telah memperingatkan kemungkinan terjadinya resesi global pada tahun depan dan serangkaian krisis keuangan di pasar negara berkembang. Risiko tersebut muncul akibat kenaikan bunga bank-bank sentral di berbagai belahan dunia untuk mengatasi inflasi.
"Memang kita terlalu khwatir berlebihan, memang beritanya resesi tetapi ini global. Posisi Indonesia sebenarnya baik-baik saja, ada potensi melambat tetapi tidak besar dan ekonomi masih tumbuh 4,5%," kata dia.
David mengatakan, kondisi perbankan saat ini jauh lebih baik. UU PPSK juga mengatur secara detail bagaimana jika situasi terburuk terjadi.
Meski kondisi perbankan baik-baik saja, tak demikian dengan industri keuangan nonbank lainnya. Otoritas Jasa Keuangan (OJK) pada bulan ini menyebut ada 13 perusahaan asuransi dan 22 perusahaan teknologi keuangan (fintech) yang berada dalam pengawasan khusus akibat kinerja keuangan yang buruk.
"Fintech dan asuransi perannya tidak sebesar perbankan. Namun, memang penting bagi otoritas secara aktif dari sisi regulasi demi menjaga kepercayaan masyarakat pada sistem keuangan," katanya.