Buruknya Polusi Udara, Alarm untuk Sektor Kesehatan dan Ekonomi

123rf.com/brgfx
Ilustrasi bahaya polusi udara ke kesehatan anak.
Penulis: Dini Pramita
20/6/2023, 13.58 WIB
  • Polusi udara menyebabkan kenaikan angka penyakit respirasi atau gangguan pernapasan.
  • Usia penduduk Indonesia rata-rata berkurang 1,2 tahun akibat konsentrasi partikel debu halus di udara.
  • Polusi udara di Jakarta menelan biaya ekonomi Rp 21,5 triliun.

Jelang akhir pekan lalu, Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Siti Nurbaya Bakar dipanggil Presiden Joko Widodo. Keduanya membahas soal kemarau yang berpotensi menyebabkan kebakaran hutan dan lahan hingga polusi udara.

Dalam beberapa pekan terakhir, menurut data IQ Air, kualitas udara di Ibu Kota sangat buruk. Pada Minggu (18/6), kualitas udara Ibu Kota masuk dalam kategori ungu alias sangat tidak sehat.

Hantu Bronkopneumonia pada Anak

Sudah hampir sepekan Ayu Purnama (32) tidak nyenyak tidurnya. Nabila, anaknya yang baru berusia dua tahun menderita infeksi saluran pernapasan akut atau ISPA hingga harus diopname di rumah sakit di Bekasi, Jawa Barat.

Meski anak ketiganya itu telah diopname selama empat hari, kondisinya belum stabil. "Kadang masih demam dan batuk, susah napas. Masih rewel," kata dia saat dihubungi pada Rabu pekan lalu.

Kondisi serupa juga dialami Margaretha (36). Anak satu-satunya divonis mengidap bronkopneumonia sehingga harus diopname. "Sudah tiga malam kami di rumah sakit. Pasien anak yang kena ISPA dan pneumonia juga banyak di sini," kata dia saat dihubungi Selasa lalu.

Menurut Rere, panggilannya, sudah hampir dua pekan ia berjibaku dengan sakit sang anak. Awalnya, dokter menduga anak semata wayangnya itu hanya menderita flu sehingga hanya diberi parasetamol untuk menurunkan demam dan sejumlah vitamin untuk meningkatkan daya tahan tubuh.

Dua hari berlalu, demam sang anak justru semakin tinggi disertai dengan batuk, sesak napas, dan nyeri di dada. Rere bergegas kembali ke dokter. Kali ini, dokter mendiagnosis anak laki-lakinya itu mengidap ISPA dan diminta beristirahat di rumah.

Lewat dari lima hari, menurut Rere, tak ada perkembangan berarti. "Malah demam sampai 40 derajat Celcius, batuk-batuknya enggak sembuh, napasnya makin sesak, nafsu makan hilang, dan tambah nyeri di dada," kata dia.

Ia langsung membawa anaknya yang berusia sembilan tahun tersebut ke rumah sakit di daerah Jakarta Selatan. Setelah melalui beberapa uji laboratorium dan uji swab/PCR, dokter mendiagnosa anaknya mengidap bronkopneumonia.

Bronkopneumonia merupakan infeksi yang terjadi pada bronkus dan alveolus yang menyebabkan pengidapnya mengalami sesak napas karena paru-paru tidak mendapatkan suplai udara yang cukup.

Bronkus merupakan saluran yang memastikan udara masuk dengan baik dari trakea ke alveolus. Sementara itu, alveolus adalah kantong udara kecil yang berfungsi sebagai tempat pertukaran oksigen dan karbon dioksida.

Situs Direktorat Jenderal Pelayanan Kesehatan Kementerian Kesehatan menyebut bronkopneumonia merupakan salah satu jenis pneumonia yang paling umum terjadi pada anak-anak. "Penyakit ini bahkan menjadi salah satu penyebab kematian terbanyak akibat infeksi pada anak-anak di bawah lima tahun (balita)," tulisnya.

Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin mengakui polusi udara menyebabkan angka penyakit respirasi jadi tinggi. Ada empat faktor risiko penyakit paru yaitu polusi udara, riwayat merokok, infeksi berulang dan genetik. "Polusi udara menyumbang 15% sampai 30%," kata dia.

Ketua Perhimpunan Dokter Paru Indonesia sekaligus Guru Besar Bidang Pulmonologi dan Respirasi Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia Agus Dwi Susanto menekankan pentingnya pencegahan dalam upaya mengatasi permasalahan polusi udara. "Upaya pencegahan dengan menurunkan polusi udara harus dilakukan semua pihak sehingga kasus respirasi dapat dikurangi," kata dia.

Budi Gunadi pun mengatakan pemerintah sudah mendorong upaya promotif preventif untuk mencegah masyarakat mengalami dampak dari polusi udara. "Upaya-upaya ini dilakukan dengan melibatkan lintas sektor. Karena ini permasalahan lingkungan dan kita ada di dalamnya, ini harus diatasi bersama-sama," ucapnya.

Polusi Udara Jakarta (Muhammad Zaenuddin|Katadata)
 

 



Polusi Udara Pangkas Usia Penduduk Indonesia

Berdasarkan data Global Burden Diseases 2019 Diseases and Injuries Collaborators terdapat lima penyakit respirasi penyebab kematian tertinggi di dunia, yakni penyakit paru obstruktif kronis (PPOK), pneumonia, kanker paru, tuberkulosis, dan asma.

Data tersebut menunjukkan PPOK memiliki 3,2 juta kematian, pneumonia 2,6 juta kematian, kanker paru 1,8 juta kematian, tuberkulosis 1,2 juta kematian, dan asma dengan 455 ribu kematian di seluruh dunia.

Mengutip data Kementerian Kesehatan, di Indonesia dari 10 penyakit dengan kasus terbanyak, empat di antaranya merupakan penyakit respirasi. Penyakit itu antara lain PPOK yang mencatatkan 78,3 ribu kematian, kanker paru dengan 28,6 ribu kematian, pneumonia dengan 52,5 ribu kematian, dan asma yang sudah mencatatkan 27,6 ribu kematian.

Data yang sama menunjukkan risiko terjadinya PPOK akibat polusi udara mencapai 36,6%, risiko pneumonia mencapai 32%, asma 27,95%, kanker paru 12,5%, dan tuberkulosis sebesar 12,2%.

Selain itu, menurut Kementerian Kesehatan, usia penduduk Indonesia rata-rata berkurang 1,2 tahun akibat konsentrasi partikel debu halus di udara.

Padahal, berdasarkan pantauan Indeks Kualitas Udara (AQLI) yang dirilis University of Chicago, Amerika Serikat, sejak Februari 2023, konsentrasi partikel udara yang berukuran lebih kecil dari atau sama dengan 2.5 µm (mikrometer) atau PM2.5 di udara Jakarta selalu melampaui nilai baku yang ditetapkan WHO.

Adapun indeks AQLI ini didapatkan dari 33 stasiun pemantau milik KLHK, dan 8 stasiun milik BMKG.

Status Udara Lima Kota Besar Indonesia 2022 (IQ Air 2022)
 

Pada 20 Mei, konsentrasi PM2.5 di udara Jakarta tercatat 71,7 mikrogram per meter kubik (µg/m3), sekitar 14,2 kali lebih tinggi dari nilai baku yang ditetapkan Organisasi Kesehatan Dunia atau WHO.

Lalu, pada 29 Mei, konsentrasi partikel yang berukuran lebih kecil dari atau sama dengan 2.5 µm (mikrometer) itu tercatat sebesar 69,3 µg/m3 atau lebih tinggi 13,86 kali dari standar WHO.

Menginjak Juni, konsentrasinya tetap tinggi. Pada 2 Juni, konsentrasi PM2.5 di udara Jakarta tercatat sebesar 60,3 µg/m3 atau lebih tinggi 12,06 kali dari standar WHO. Lalu, pada Selasa (20/4) pukul 04.00 WIB, konsentrasi PM2.5 tercatat sebesar 89,6 µg/m3 atau lebih tinggi 17,92 kali dari standar WHO.

Saat ini, WHO memberikan batas PM2.5 yang dapat ditolerir di udara adalah rata-rata maksimal 5 µg/m3. Paparan yang melebihi batas 15 µg/m3 selama 24 jam tak boleh lebih dari tiga sampai empat hari per tahun.

Acuan ini direvisi pada 22 September 2021. Sebelumnya, WHO menetapkan paparan PM2.5 rata-rata di udara yang dapat ditolerir adalah 10 µg/m3 dan paparan 24 jam sebesar 25 µg/m3.

Menurut catatan AQLI, PM2.5 merupakan sumber polusi utama Jakarta dari waktu ke waktu. Bondan Andriyanu, Jurukampanye Iklim dan Energi Greenpeace Indonesia menjelaskan partikel PM2.5 adalah partikel halus yang dihasilkan dari semua jenis pembakaran seperti asap pembakaran kendaraan bermotor, pembakaran PLTU batu bara, pembakaran sampah terbuka, dan dari pengerjaan konstruksi.

Ia mengatakan konsentrasi rata-rata tahunan PM2.5 di Jakarta Raya mencapai 25 µg/m3 atau lima kali lebih besar dari batas aman yang direkomendasikan WHO. "Kondisi ini memprihatinkan karena banyak warga Jakarta yang masuk kelompok rentan seluruhnya harus hidup di tengah udara yang berada di atas ambang batas aman dan tidak menyadarinya," kata dia.

Pada 2022, AQLI menahbiskan Jakarta, Surabaya, Bandung, Semarang, dan Bogor sebagai lima kota besar dengan angka polusi udara yang tinggi di negara ini. Selain itu, Indonesia dinobatkan sebagai negara dengan tingkat polusi udara tertinggi di Asia Tenggara, mengalahkan Laos dan Vietnam.

Data peringkat kualitas udara di Indonesia di Asia Tenggara (IQ Air 2022)
 

Kementerian Kesehatan menyebutkan polusi udara di Sumatera Selatan dan Riau dapat mengurangi tingkat harapan hidup penduduk antara dua hingga lima tahun. Penduduk di kabupaten Ogan Komering Ilir di Sumsel, misalnya, kehilangan 5,6 tahun akibat polusi udara.

Angka serupa dicatat Kabupaten Pulang Pisau dan Kapuas di Kalimantan Tengah yang tercatat kehilangan 5,2 dan lima tahun dari harapan usia penduduk. Adapun tingkat harapan hidup rata-rata penduduk Jakarta berkurang sebanyak dua tahun.

Sedangkan, dalam pidato pengukuhannya sebagai Guru Besar FKUI, Agus Dwi Susanto menyampaikan polusi udara berkontribusi terhadap sekitar 11,65% kematian global. Kualitas udara di Indonesia gagal memenuhi kriteria konsentrasi PM2,5 yang ditetapkan oleh WHO. "Penduduk di kota besar seperti Jakarta dapat kehilangan sekitar 2,3 tahun usia harapan hidup apabila terpapar level polusi udara yang sama secara terus menerus," kata dia.

Agus menjelaskan polutan yang terkandung dalam udara dapat mengiritasi saluran napas, memicu inflamasi dan stress oksidatif di saluran pernapasan. Dampaknya dapat berupa dampak akut maupun dampak kronik.

Beberapa penyakit yang diakibatkan oleh polusi udara, kata dia, di antaranya infeksi saluran pernapasan akut (ISPA), tuberkulosis (TB), asma, penyakit paru obstruktif kronik (PPOK), kanker paru dan fibrosis paru.

Bayang-bayang Kerugian Ekonomi dari Polusi Udara

Tak hanya berdampak pada kesehatan masyarakat, penyakit respirasi juga memberikan tekanan pada anggaran BPJS Kesehatan untuk menanggung biaya pengobatan penyakit akibat polusi udara.

Faktor risiko polusi udara terhadap penyakit respirasi ini tercatat cukup tinggi. Data BPJS Kesehatan selama periode 2018 sampai 2022, anggaran yang ditanggung untuk penyakit respirasi mencapai angka yang signifikan dan memiliki kecenderungan meningkat setiap tahun. Pneumonia menelan biaya sebesar Rp 8,7 triliun, tuberkulosis Rp 5,2 triliun, PPOK Rp 1,8 triliun, asma Rp 1,4 triliun, dan kanker paru Rp 766 miliar.

Kemudian, menurut riset yang dilakukan Greenpeace Asia Tenggara dan IQAir AirVisual, polusi udara di Jakarta menelan biaya ekonomi Rp 21,5 triliun, atau 1,7 kali lipat dari defisit BPJS Kesehatan, dan setara dengan 26% dari anggaran kota Jakarta tahun 2020.

Angka itu berasal dari biaya perawatan kesehatan, jam produktif yang hilang karena karyawan mengalami sakit yang terkait dengan polusi udara atau mengantar anggota keluarganya yang sakit akibat terpapar polusi udara, jam belajar yang tak efektif, hingga risiko kematian atau kecacatan akibat terpapar polusi udara.

Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan pada 2020 mengeluarkan riset berjudul Analisis Manfaat Biaya Kualitas Bahan Bakar untuk Inisiatif Ekonomi di Indonesia 2010. Dalam riset itu disebutkan sejak 2010 Jakarta menjadi lokasi penyumbang terbanyak terkait PM2.5, dengan rata-rata 36 kematian per 100 ribu orang.

Dalam riset itu pula disebutkan jika dihitung, biaya pengobatan langsung akibat polusi udara pada 2010 setara dengan Rp 60,8 triliun. Pada 2018, Direktur Jenderal Pengendalian Pencemaran dan Kerusakan Lingkungan saat itu, Karliansyah, pernah menyampaikan setiap tahun sebesar Rp 38,5 triliun uang masyarakat habis untuk pengobatan penyakit-penyakit yang terkait dengan dampak pencemaran udara.

Lalu, Bank Dunia melaporkan polusi udara di Indonesia menelan biaya tahunan lebih dari US$ 220 miliar atau sekitar 6,6% dari PDB Indonesia pada 2019. Perhitungan itu antara lain berasal dari biaya perawatan untuk penyakit tidak menular; kesakitan, kecacatan dan kematian yang menyebabkan hilangnya tenaga kerja produktif; potensi pengurangan produk domestik bruto; penurunan kualitas hidup penduduk.


Menagih Janji Selamatkan Paru-paru Penduduk Ibu Kota

Dalam Laporan Kegiatan Pemantauan Kualitas Udara Provinsi DKI Jakarta 2022 disebutkan hasil pemantauan udara pada tahun 2021 menunjukkan angka PM10, PM2.5 dan ozon (O₃) di lima stasiun pemantau kualitas udara ambien (SPKUA) melampaui nilai baku mutu udara. Disebutkan pula konsentrasi sulfur dioksida (SO₂) yang melampaui baku mutu terpantau di SPKUA DKI2 Kelapa Gading.

Juru Kampanye Iklim dan Energi Greenpeace Bondan Andriyanu mengatakan parameter tersebut menunjukkan Ibu Kota sedang tidak baik-baik saja. Selain konsentrasi PM2.5 hingga SO₂, salah satu parameter yang perlu diperhatikan adalah NO₂ (nitrogen dioksida).

Hasil pengamatan satelit di tujuh lokasi yang terdiri dari lima kota besar dan dua lokasi PLTU di Indonesia, polusi udara, khususnya NO₂, memburuk seiring pelonggaran mobilitas warga usai diterpa pandemi Covid-19. "Catatan penting lainnya, pengamatan kami di dua lokasi PLTU di Banten, tingkat polusinya rata-rata terus meningkat selama beberapa tahun terakhir. Ini ancaman ganda, baik dari transportasi dan pembangkit listrik batu bara, bagi masyarakat sekitar khususnya kelompok rentan," kata dia.

Untuk mengatasi polusi udara terutama di Ibu Kota yang terus memburuk, menurut Bondan, perlu kerja lintas lembaga negara dan koordinasi pusat-daerah yang baik. Sayangnya, banyak pimpinan lembaga dan kepala daerah yang masih menganggap sepele masalah ini.

Contoh paling baru, kata dia, ucapan Plt Gubernur Jakarta Heru Budi Hartono yang bercanda akan meniup polusi udara dari kawasan industri yang menyebabkan buruknya kualitas udara Jakarta. "Menurut saya, itu tidak etis dan mengesankan main-main dalam menyikapi persoalan ini," kata dia.

Padahal, menurut Bondan, peran kepala daerah sangat penting mengingat polusi udara di Jakarta juga disumbang oleh kawasan industri di sekitar Jakarta yang tidak masuk ke dalam wilayah administrasi Jakarta.

Selain itu, kepala daerah dapat menjadi kunci keberhasilan penanganan polusi udara, misalnya dengan mengeluarkan imbauan, mengeluarkan kebijakan yang membatasi aktivitas di luar ruangan, atau sesederhana memberikan informasi rutin mengenai kondisi mutu udara.

Konsentrasi PM2.5 di Jakarta dari tahun ke tahun (IQ Air 2022)

ndonesia memiliki indeks standar pencemar udara (ISPU) yang dirancang KLHK untuk memudahkan masyarakat memantau kondisi mutu udara. "Idealnya, informasi ini dapat digunakan sebagai sistem peringatan dini bagi masyarakat sekitar," ucap Bondan.

ISPU ini memiliki payung hukum Peraturan Menteri KLHK Nomor 14 Tahun 2020 tentang Indeks Standar Pencemar Udara yang merupakan pengganti dari Keputusan Menteri Lingkungan Hidup Nomor 45 Tahun 1997 tentang Perhitungan dan Pelaporan serta Informasi Indeks Standar Pencemar Udara.

Pada peraturan pengganti ini, perhitungan ISPU dilakukan pada 7 parameter yakni PM10, PM2.5, NO2, SO2, karbon monoksida (CO), O3, dan hidrokarbon (HC). Terdapat penambahan dua parameter yakni HC dan PM2.5 dari peraturan sebelumnya. Penambahan parameter tersebut diklaim didasari pada besarnya resiko HC dan PM2.5 terhadap kesehatan manusia.

Selain penambahan parameter, KLHK menjanjikan peningkatan frekuensi penyampaian informasi ISPU kepada publik. Hasil perhitungan ISPU parameter PM2.5 disampaikan kepada publik tiap jam selama 24 jam.

Sedangkan hasil perhitungan ISPU parameter PM10, NO2, SO2, CO, O3, dan HC disampaikan kepada publik paling sedikit 2 kali dalam satu pada pukul 09.00 dan pukul 15.00.

Tampilan ISPU (Katadata)
 

Namun, menurut pantauan Katadata.co.id, pemantauan ISPU berkala itu tidak berlangsung seperti yang dijanjikan KLHK. Data ISPU terakhir di Tangerang misalnya, tercatat diperbarui terakhir kali pada 13 Juni 2023 pukul 19.00, di Sumur Batu, Bekasi, data terakhir menunjukkan tanggal 14 Juni 2023 pukul 03.00.

Sementara itu, data ISPU di Jakarta Pusat tercatat diperbarui secara berkala dengan aktif. Data terakhir pada Selasa (20/6) menunjukkan nilai ISPU ada di angka 124 dengan parameter kritis PM2.5 dan dikategorikan tidak sehat.

Menurut Bondan, untuk mengatasi polusi udara di Jakarta, pemerintah hanya perlu melaksanakan perintah Majelis Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Pusat pada 16 September 2021 yang memenangkan gugatan 32 warga terhadap tujuh pejabat negara.

Pada tahun 2021, Pengadilan Negeri Jakarta Pusat memutuskan bahwa pemerintah Indonesia bersalah karena gagal untuk menegakkan hak warga negara atas udara bersih. Kemudian pada 2022, Pengadilan Tinggi menguatkan putusan hakim yang memerintahkan presiden, menteri, dan kepala daerah untuk segera mengatasi pencemaran udara Jakarta.

Ia menjabarkan salah satu putusan terhadap Presiden Jokowi adalah melindungi kesehatan masyarakat termasuk kelompok sensitif, dengan cara mengetatkan Baku Mutu Udara Ambien (BMUA) Nasional.

Ia mengatakan meski WHO telah mengetatkan ambang baku mutu udara, sampai saat ini standar baku mutu udara ambien (BMUA) di Indonesia adalah 55 µg/m3 untuk harian dan 15 µg/m3 untuk tahunan. Jauh dari standar WHO yang berpedoman pada maksimal 15 µg/m3 untuk harian dan 5 µg/m3 untuk rata-rata.

Namun, Presiden Joko Widodo dan KLHK melanjutkan ke tingkat kasasi. "Ketimbang fokus mengajukan kasasi yang justru menunda perbaikan, pemerintah lebih baik fokus pada upaya konkrit untuk menangani," kata dia.