ESG, Kunci Unggul dalam Persaingan Baterai Kendaraan Listrik

123RF.com/malp
Ilustrasi baterai lithium-ion, salah satunya digunakan untuk baterai kendaraan listrik. Telaah.
Penulis: Dini Pramita
Editor: Sorta Tobing
27/9/2023, 08.00 WIB
  • Baterai kendaraan listrik jenis lithium iron phosphate (LiFePO4/LFP) kian kompetitif dibandingkan baterai berbasis nikel seperti lithium nickel cobalt aluminum oxide (NMA) dan lithium nickel manganese cobalt oxide (NMC).
  • Minimnya penggunaan mineral kritis membuat harga LFP berada di kisaran US$ 131/kWh, lebih murah sekitar US$ 22/kWh daripada NMC532. 
  • Isu etik seperti pelaksanaan ESG dan responsible mining mewarnai pasar baterai kendaraan listrik. 

Studi terbaru yang dilakukan Rocky Mountain Institute (RMI), organisasi nirlaba asal Amerika Serikat, yang berkolaborasi dengan Bezos Earth Fund menunjukkan kendaraan listrik segera merajai pasar kendaraan penumpang atau kendaraan pribadi. Laporan itu menyebutkan, penjualan kendaraan listrik akan mengambil porsi dua pertiga dari total penjualan kendaraan secara global pada 2030 mendatang.

Studi itu juga menyebut penjualan kendaraan listrik (EV) tumbuh mengikuti kurva S. "Terdapat pola pertumbuhan eksponensial yang jelas untuk penjualan EV, yang didominasi oleh Tiongkok dan Eropa Utara dan didorong oleh kebijakan," dikutip dari laporan yang dipublikasikan pada Senin (18/9).

Salah satu yang disorot dari studi tersebut adalah harga paket baterai lithium-ion yang kian kompetitif setelah pengembangan baterai berbasis lithium iron phosphate (LiFePO4/LFP). Di pasar kendaraan listrik, baterai lithium yang sudah masuk ke dalam pasar adalah lithium nickel cobalt aluminum oxide (NMA), lithium nickel manganese cobalt oxide (NMC) dan lithium iron phosphate (LFP).

Laporan itu menyebutkan apabila tantangan soal baterai - mencakup harga, daur ulang dan ketersediaan bahan bakunya - dapat teratasi, maka prediksinya kendaraan listrik akan mencapai 62% sampai 86% penjualan kendaraan secara global pada 2030.

Berdasarkan perhitungan Badan Energi Internasional (IEA), sampai 2022 penggunaan NMC tetap dominan dengan pangsa pasar mencapai 60%, disusul LFP sebesar 30% dan NCA sekitar 8%. IEA memproyeksikan penggunaan LFP terus meningkat.

Kontribusi Kendaraan Listrik Kurangi Emisi Transportasi (Katadata)

Keunggulan LFP Menurut Pasar Global

Dalam laporan Global EV Outlook 2023, IEA menyebutkan permintaan baterai LFP mencapai titik tertinggi yang pernah ada, dipimpin oleh Tiongkok. "Sekitar 95% baterai LFP digunakan kendaraan yang diproduksi di Cina dengan permintaan dari Tesla menyumbang 15% dari seluruh pasar," bunyi laporan yang dipublikasikan pada April 2023 itu.

Adapun permintaan Tesla terhadap baterai LFP meningkat dari 20% pada 2021 menjadi 30% pada 2022. Selain itu, sekitar 85% mobil Tesa yang ditanamkan teknologi baterai LFP diproduksi di Cina, sisanya diproduksi di Amerika Serikat dengan sel yang diimpor dari Tiongkok. Ini sejalan dengan komitmen Tesla pada 2021 yang akan menanamkan LFP pada semua jenis kendaraannya di segala level.

Diperkirakan lebih dari 95% heavy-duty trucks yang diproduksi di Tiongkok menggunakan baterai LFP. Tak hanya Tesla, beberapa produsen kendaraan listrik berjenis truk yang diproduksi di Eropa dan Amerika seperti Daimler Truck --anak usaha Mercedes-Benz Trucks, Motiv, dan Volvo Trucks juga mulai meninggalkan NMC dan beralih ke LFP.

Tren Penggunaan LFP dalam Kendaraan Semi Berat 2018-2020 (IEA)

Menurut CEO Mercedes-Benz Trucks (Daimler Truck) Karin Rådström, peningkatan teknologi LFP yang dapat mengatasi persoalan densitas energi membuatnya dapat mengandalkan LFP untuk kendaraan seperti truk. Truk listrik keluaran Daimler yang siap meluncur ke pasar pada 2024, eActros 300, sepenuhnya menggunakan LFP dan disebut dapat menempuh jarak 300 mil (482,803 km) dalam satu kali pengisian daya selama 30 menit.

Direktur Contemporary Amperex Technology Co. (CATL) Neil Yang mengatakan jika dibandingkan dengan NMC atau NCA, LFP memiliki densitas yang relatif rendah. "Tetapi cukup tahan lama untuk bertahan selama 10 ribu siklus dan jauh lebih aman untuk menggunakan 100% kapasitas baterainya," kata dia dikutip dari Reuters.

CATL merupakan produsen utama baterai LFP dari Tiongkok yang menguasai 49% pasar baterai kendaraan listrik global menurut Bloomberg. Klien CATL adalah Tesla, Volkswagen, BMW (BMWG.DE), Ford, Daimler dan Phoenix Motor.

LFP memiliki keunggulan dari segi harga karena tidak banyak menggunakan mineral kritis. Berbeda dengan kobalt dan nikel yang digunakan sebagai pembentuk NMC, yang merupakan golongan mineral kritis dengan ketersediaan yang semakin terbatas di dunia. Adapun komposisi LFP dalam presentase digambarkan dalam diagram di bawah ini.

Laporan IEA menyebutkan harga nikel melonjak pesat hingga mencapai dua kali lipat dari rata-rata tahun 2015-2020 pada 2022. Sedangkan harga kobalt sangat fluktiatif karena dipengaruhi berbagai sentimen mengenai pelanggaran hak asasi manusia di Rusia dan Republik Demokratik Kongo.

Harga lithium pada 2022 ikut meningkat enam kali lipat dibandingkan harga rata-rata sepanjang 2015-2020. Namun, karena LFP nihil mineral kritis seperti nikel atau kobalt, harganya per unit kapasitas energi relatif lebih murah daripada NMC yang mencatat kenaikan rata-rata 15% pada 2022.

Menurut data Fastmarkets, pada Maret 2023 harga LFP sebesar US$ 131 per kilo-Watt jam (kWh), lebih murah sekitar US$ 22 per kWh daripada NMC532. Sedangkan sepanjang 2022, tren harga menunjukkan harga LFP cenderung stabil sementara harga NMC dan NCA cenderung terus menanjak.

Proyeksi Harga Baterai Lithium setelah Penetrasi LFP ke Pasar (IEA, BNEF)

Mengutip Forbes, baterai LFP dianggap lebih aman daripada NMC yang sangat rentan terbakar dan meledak. Berbagai penarikan dilakukan oleh produsen-produsen kendaraan listrik yang menyematkan teknologi baterai NMC, salah satunya karena rawan terbakar ketika terkena suhu tinggi atau pengisian daya yang berlebihan.

Salah satu yang melakukan penarikan besar-besaran adalah Chevrolet Bolt yang menggunakan NMC622 (Nikel 60%; Mangan 20%; Kobalt 20%). Mengutip dari Reuters, penarikan ini dilakukan karena baterai yang mudah terbakar dan meledak pada suhu tinggi dan menimbulkan risiko bagi penggunanya.

Menurut Founder dan CEO Trontek, Samrath Kochar, mengutip dari The Times, baterai LFP memiliki toleransi temperatur yang lebih tinggi dibandingkan NMC. "Baterai ini dapat bekerja pada suhu minus 4,4 derajat Celcius sampai 70 derajat Celcius," kata dia.

Selain itu, riset yang dilakukan oleh Yuliya Preger dan timnya yang dipublikasikan dalam Journal of the Electrochemical Society 2020, menyebutkan LFP memiliki daya pakai (lifespan) yang lebih panjang daripada NMC atau NCA. Dalam riset itu, Yuliya menggunakan satuan equivalent full cycle (EFC).

Hasilnya, baterai LFP memiliki rentang lifespan antara 2.500 sampai 9.000 EFC. Sedangkan NCA memiliki rentang lifespan 250 sampai 1.500 EFC, dan NMC memiliki rentang 200 hingga 2.500 EFC. Menurut Samrath, ini menunjukkan daya tahan LFP yang lebih kuat dan berpengaruh pula terhadap harga.

Tantangan ESG dalam Ekstraksi Nikel dan Kobalt

Produsen besar seperti Ford dan Volvo menyinggung persoalan etik lingkungan dan nilai-nilai kemanusiaan dalam transisi ke LFP. Ford dalam pengumuman investasi untuk membangun pabrik LFP senilai US$ 3,5 miliar di Michigan, Amerika Serikat, misalnya, menyinggung soal komitmen terhadap keberlanjutan dan hak-hak asasi manusia.

Hal ini diyakini berkaitan erat dengan sejumlah pelanggaran hak asasi manusia dalam pertambangan kobalt di Republik Demokratik Kongo dan invasi Rusia terhadap Ukraina yang belum berkesudahan. Kedua negara ini merupakan produsen utama kobalt.

Sebuah studi yang dipublikasikan dalam The International Journal of Life Cycle Assessment pada 11 Agustus 2022 menyatakan tingkat kematian di pertambangan kobalt di Kongo paling rendah adalah 65 kematian per tahun dan diperkirakan dapat mencapai 2.000 kematian per tahun.

Berdasarkan penelusuran Katadata.co.id dari berbagai pemberitaan, berbagai kecelakaan fatal kerap terjadi di tambang-tambang kobalt dan tembaga di Kongo. Salah satunya tragedi pada Juni 2019 di tambang milik Glencore, perusahaan asal Swedia, yang menewaskan sekitar 43 pekerjanya, 14 di antaranya anak-anak.

Tragedi itu bukan satu-satunya, mengutip Reuters, setidaknya ada 19 kejadian fatal di tambang kobalt sepanjang beroperasinya tambang Glencore di Kongo. Kecelakaan demi kecelakaan yang menewaskan ratusan pekerja tambang kobalt di Kongo tak hanya tercatat di tambang yang dioperasikan oleh Glencore saja.

Pada 2016, tujuh pekerja tambang tewas tertimbun reruntuhan material di dalam lubang KOV. Pada Februari 2019, sekitar 20 pekerja tewas dalam kecelakaan yang melibatkan truk pembawa cairan asam. Pada September 2015, terdapat dua kecelakaan berbeda di desa Mbaya yang menewaskan 15 dan 18 pekerja tambang.

Laporan Amnesty International, di empat wilayah tambang di Kongo yang dipublikasikan pada 12 September 2023, menyebutkan berbagai praktik pelanggaran hak asasi manusia yang dilakukan perusahaan tambang kobalt dan tembaga. Mulai dari penggusuran sepihak tanpa kompensasi, mempekerjakan anak di bawah umur, kerusakan lingkungan yang massif, hingga kecelakaan kerja fatal yang keluarganya tak diberikan santunan yang layak.

Di Indonesia, catatan kecelakaan kerja terbanyak di tambang nikel disumbang salah satunya oleh PT Gunbuster Nickel Industry (PT GNI) di Morowalo, Sulawesi Tengah, yang berujung pada aksi mogok kerja yang diikuti bentrokan antara pekerja Indonesia dengan tenaga kerja asing pada 14 Januari 2023. Dua pekerja meninggal dunia dalam bentrokan tersebut.

Mengutip data Trend Asia, terdapat delapan insiden fatal di kawasan tersebut sepanjang 2020-2022 dengan lima korban meninggal dunia, tiga orang terluka, dan dua orang diduga bunuh diri.

Pada 22 Desember 2022, terjadi ledakan di Smelter 2 Tungku 17 yang menewaskan dua pekerja. Disusul kematian seorang pekerja karena truk yang dikemudikannya tergelincir. Setelah itu, pada 27 Juni 2023 sebanyak tujuh karyawan terkena semburan api saat memasang saringan filter yang menewaskan seorang pekerja.

Trend Asia mengumpulkan data insiden di kawasan smelter nikel di Indonesia sejak 2015 hingga 2022. Menurut data tersebut, terdapat 68 insiden dengan korban meninggal dunia sebanyak 47 pekerja, 76 pekerja terluka dan dugaan bunuh diri sebanyak 10 pekerja.

Dari jumlah tersebut, 13 korban meninggal dunia dan 15 korban luka merupakan tenaga kerja asing (TKA). Menurut Novita Indri, Campaigner Trend Asia, tingginya kecelakaan kerja di smelter menunjukkan kurangnya pengawasan terhadap kepatuhan atas kesehatan dan keselamatan kerja (K3) yang sudah diatur oleh berbagai regulasi.

Selain itu, menurut Novita, meskipun investasi di sektor smelter nikel sangat tinggi, kontras dengan kondisi perburuhannya. "Jaminan kesehatan dan keselamatan kerjanya buruk, upah rendah, hingga jam kerja yang panjang kerap menjadi isu yang mengemuka di kawasan smelter nikel di Indonesia," kata dia.

Ketua Umum Gabungan Serikat Buruh Indonesia Rudi HB Daman mengatakan berbagai pelanggaran aturan ketenagakerjaan kerap ditemukan. "Mulai dari tidak adanya Peraturan Perusahaan (PP), memberlakukan status kontrak bagi pekerjaan yang bersifat tetap, pemotongan upah, melanggar aturan K3, serta Pemutusan Hubungan Kerja secara sepihak," kata dia.

Menurut Direktur Eksekutif Institute for Essential Services Reform (IESR) Fabby Tumiwa dengan semakin pekanya produsen dan konsumen kendaraan listrik terhadap isu lingkungan, HAM dan keberlanjutan, sudah seharusnya Indonesia segera membenahi Environmental, Social, and Governance (ESG) dalam industri nikel dari hulu hingga hilir.

Adapun ESG adalah konsep pembangunan dan investasi yang mengedepankan keberlanjutan tiga aspek yaitu lingkungan, sosial dan tata kelola. "Sudah saatnya pemerintah mendorong investasi yang mengedepankan ESG untuk responsible mining, bukan hanya sustainable mining. Kita bisa merefleksikan dengan merelaksasi dan mengompromikan ESG, nikel kita ternyata tidak kompetitif untuk kendaraan listrik karena pasar menimbang ESG juga," kata dia.

Menurut Fabby, berbagai protokol untuk menerapkan responsible mining telah ada dan dapat diadopsi segera di Indonesia. Selain itu, kata dia, untuk memaksimalkan pelaksanaan ESG, pemerintah dapat mendorong pengusaha untuk segera menggunakan EBT 25% dan mengurangi ketergantungan energi pada batu bara.

Cara termudah untuk mengimplementasikannya, menurut Fabby, dengan menerbitkan instruksi presiden dan memberlakukan skema reward-punishment. "Ini semua dapat dilakukan bertahap, dengan memberikan rambu-rambu sejak sekarang untuk pelaksanaan lima tahun yang akan datang bahwa kita akan mengetatkan ESG," kata dia.