Telepon seluler (ponsel) pintar atau smartphone berpotensi meningkatkan kesejahteraan perempuan. Demikian temuan riset lembaga non-profit Global System for Mobile Communications Association (GSMA). Perempuan yang memiliki ponsel dan terjangkau internet membuat mereka lebih resilien terhadap tantangan dan krisis ekonomi, iklim, hingga politik.
Di negara-negara menengah ke bawah, sumber utama akses internet perempuan adalah melalui ponsel. Artinya, lewat kepemilikan ponsel, seluruh lapisan perempuan Indonesia, termasuk mereka yang tinggal di daerah terpencil, berpotensi lebih terjangkau internet. Mereka memiliki akses ke informasi yang lebih luas, kemudahan berkomunikasi, hingga mempermudah akses keuangan dan kegiatan bisnis.
Riset GSMA mencatat, adopsi ponsel perempuan di Indonesia mengalami peningkatan yang signifikan. Pada 2023, sebanyak 77% perempuan Indonesia memiliki ponsel dan sebanyak 63% sudah terhubung dengan internet.
“Kesenjangan (gender) kepemilikan mobile menurun 8% ini goodnews,” kata Asisten Deputi Keuangan Inklusif dan Keuangan Syariah Kemenko Bidang Perekonomian, Erdiriyo, dalam pelatihan lintas pemangku kepentingan yang diadakan oleh GSMA bertajuk “Bridging the Mobile Gender Gap Workshop” di Hotel Mandarin Oriental Jakarta pada Selasa, 30 Juli lalu.
Dampak pada Percepatan Inklusi Keuangan Perempuan
Lembaga non-profit Women’s World Banking (WWB) melalui risetnya menyebut bahwa selama ini selisih penggunaan ponsel dan internet antara laki-laki dan perempuan Indonesia merupakan salah satu tantangan besar dalam inklusi keuangan perempuan.
Padahal lewat konektivitas digital, pemberdayaan pelaku usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) Indonesia, misalnya yang didominasi oleh perempuan dapat ditingkatkan lagi. Per Agustus 2023, kontribusi UMKM terhadap produk domestik bruto (PDB) mencapai 61% atau setara Rp9.580 triliun. Dari total 65,5 juta UMKM di Indonesia, sebanyak 37 juta atau sekitar 64,5% dikelola oleh perempuan.
Pada saat pandemi Covid-19, perempuan UMKM cenderung memanfaatkan aplikasi dalam ponsel pintarnya untuk menjalankan usaha dibandingkan laki-laki. Hal ini menunjukkan bahwa akses internet memungkinkan para perempuan mengakses media sosial seperti WhatsApp dan Facebook, serta platform e-commerce, yang kemudian memperluas kesempatan para perempuan tetap bisa mendapatkan pemasukan di tengah pembatasan aktivitas sosial.
GSMA menyebut, memberdayakan UMKM perempuan memiliki dampak yang signifikan terhadap ekonomi dan sosial. Mulai dari meningkatkan pendapatan hingga membuka lapangan kerja untuk meningkatkan resiliensi rumah tangga.
Pandemi juga disebut telah mempercepat adopsi keuangan digital UMKM perempuan. Survei yang dilakukan pembayaran digital Visa pada 2023 di Indonesia menemukan bahwa 54% UKM yang dipimpin oleh perempuan mengalami pertumbuhan pendapatan setelah mengadopsi pembayaran digital. Memaksimalkan potensi ekonomi perempuan dapat menambah US$89 miliar per tahun bagi perekonomian Asia Pasifik, termasuk Indonesia.
Selain inklusi keuangan, konektivitas digital juga menjembatani proses literasi keuangan perempuan. Menurut Deputi Direktur Kebijakan Asia Tenggara WWB Vitasari Anggraeni, kepemilikan ponsel merupakan pintu masuk digitalisasi, serta akses literasi keuangan perempuan.
“Kalau kita bicara upaya dalam meningkatkan literasi keuangan pada UMKM, ketika modul keuangannya hanya bisa diakses melalui laptop atau komputer, menjadi tidak relevan. Karena perempuan UMKM hanya punya handphone,” kata Vitasari kepada Katadata.co.id pada Selasa, 6 Agustus.
Setelah melalui proses yang panjang, survei nasional literasi dan inklusi keuangan (SNLIK) 2024 yang dikeluarkan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) dan Badan Pusat Statistik (BPS) pada Jumat, 2 Agustus lalu menunjukkan, untuk pertama kalinya tingkat inklusi keuangan perempuan sebesar 76,08%. Angka ini melebihi indeks inklusi keuangan laki-laki sebesar 73,97%. Angka literasi keuangan perempuan juga mencapai 66,75%, melebihi laki-laki yang berada di angka 64,14%.
Potensi Menjembatani Adopsi Keuangan Digital
Skor indeks literasi digital yang dimiliki perempuan dan laki-laki Indonesia memang tidak jauh berbeda. Pada 2023 lalu, survei Kementerian Komunikasi dan Informatika bersama Katadata Insight Center (KIC) menunjukkan indeks literasi digital perempuan berada di angka 3,52. Hanya selisih 0,04 poin dari laki-laki yang sebesar 3,56.
Melihat kesenjangan yang semakin minim pada literasi digital serta literasi keuangan, seharusnya perempuan juga memiliki potensi yang sama seperti laki-laki dalam mengadopsi internet dan menggunakannya untuk mendukung kegiatan mereka. Namun nyatanya, perempuan Indonesia masih memiliki keterbatasan kapasitas keuangan dalam kepemilikan ponsel pintar dan paket data internet dibandingkan laki-laki.
“Masalah affordability kepemilikan ponsel dan paket data itu ujung-ujungnya kembali ke income, secara perempuan dan laki-laki masih ada gender pay gap. Buruh perempuan relatif lebih rendah pendapatannya dibanding laki-laki,” kata Vitasari.
Menurut International Labour Organization dan UN Women pada September 2020, perempuan Indonesia memiliki pendapatan 23% lebih rendah dibandingkan laki-laki. Pekerjaan bergaji tinggi juga masih didominasi oleh laki-laki.
Padahal, sekali perempuan menggunakan ponsel dan terakses internet, mereka memiliki potensi besar peningkatan berbagai aspek kehidupan menuju setara dengan laki-laki.
Data GSMA menunjukkan bahwa para perempuan yang sudah terakses ponsel pintar dan internet dalam beberapa aspek terlihat menggunakan ponsel mereka untuk mengatur keuangan dan menggunakan mobile banking. Pada 2023, sebesar 16% perempuan menggunakan ponselnya untuk menambah pemasukan mereka melebihi laki-laki yang porsinya 14%. Selisih antara laki-laki dan perempuan yang menggunakan ponselnya untuk mobile banking juga mengecil dari 6% pada 2022 menjadi hanya 2% pada 2023.
Hal ini juga terlihat lewat data kepemilikan ponsel yang terhubung internet oleh perempuan UMKM. Masalah terbesarnya adalah, masih ada 26% pelaku UMKM perempuan Indonesia yang tidak memiliki perangkat untuk ponsel. Sedangkan laki-laki yang tidak memiliki ponsel sama sekali hanya 17%. Masih ada ketimpangan penggunaan internet pula. Pelaku UMKM laki-laki 70% sudah menggunakan internet dalam ponselnya, sedangkan perempuan baru 58%. Artinya, masih ada gender gap sebesar 17%.
Namun bagi mereka yang sudah terkoneksi internet, nyatanya perempuan lebih menggunakan mobile money lewat ponselnya dibandingkan laki-laki. Perempuan UMKM sebesar 24% memiliki mobile money, sedangkan laki-laki hanya 23%.
Artinya, faktor kepemilikan ponsel dan akses internet memang membesarkan gender gap. Tapi ketika sudah terhubung internet dan memiliki ponsel, perempuan memiliki kapasitas serta literasi digital dan keuangan yang sama seperti laki-laki.
Data di atas menunjukkan perempuan UMKM 10% lebih banyak menggunakan ponsel mereka untuk mengiklankan atau mempromosikan bisnis masing-masing. Perempuan UMKM juga 5% lebih banyak menggunakan ponsel untuk membuat atau menerima pembayaran. Lebih banyak perempuan UMKM yang menggunakan ponsel untuk belajar kemampuan baru hingga mengakses kredit dibandingkan laki-laki.
Masih Ada Pekerjaan Rumah
Meski menunjukkan tingkat literasi dan inklusi keuangan yang membaik untuk perempuan, Indonesia masih memiliki pekerjaan rumah. Indonesia masih punya target mengejar capaian 90% inklusi keuangan hingga penghujung akhir 2024. Dalam mencapai target tersebut, akses ke perangkat ponsel dan infrastruktur internet perlu dikejar, khususnya lewat ekosistem yang ramah untuk perempuan.
Global Vice President, Research, and Advocacy WWB Sonja Kelly menulis pada Maret 2024 lalu bahwa jika pemangku kepentingan mendesain ekosistem digital untuk target yang paling susah dijangkau, maka desain itu pasti bisa berjalan untuk semua pihak.
“Dengan kata lain, jika kita mendesain ekosistem digital untuk perempuan, kita mendesain untuk semua pihak,” tulis Kelly.
Tingkat adopsi internet via ponsel perempuan Indonesia juga masih tertinggal dibandingkan negara-negara di Asia Timur dan Asia Pasifik lainnya. Pada 2023, walaupun adopsi mobile internet perempuan Indonesia mencapai 63%, angka ini masih di bawah rata-rata di Asia Timur dan Pasifik yang sebesar 83%.
Begitu pula dengan gender gap atau selisih antara laki-laki dan perempuan dalam mengadopsi mobile internet. Pada 2023, gender gap Indonesia masih lebih tinggi 4% dibandingkan rata-rata di Asia Timur dan Pasifik.
Dalam pelatihan yang diadakan GSMA pada Selasa, 30 Juli lalu bersama Senior Advocacy Manager Connected Women GSMA Pippa McDougall, disebutkan bahwa Indonesia masih memiliki pekerjaan rumah berupa pengumpulan gender-disaggregated data atau data terpilah berdasarkan gender dan riset terkait adopsi teknologi informasi perempuan yang mumpuni.
Asisten Deputi Keuangan Inklusif dan Keuangan Syariah Kemenko Bidang Perekonomian Erdiriyo, menyebutkan, pengumpulan data dan strategi yang dimiliki Indonesia untuk menjembatani selisih gender literasi dan inklusi keuangan memang sudah ada. Namun, datanya masih terlalu umum.
“Banyak program yang kurang optimal. Sekarang ini dibutuhkan treatment yang lebih spesifik, tidak bisa terlalu umum saja. Inklusi keuangan itu berbeda-beda demand-nya masing-masing segmen,” kata Erdiriyo.
Dia mencontohkan data yang ada perlu dibedah lagi berdasarkan usia, generasi, golongan pendapatan, jenis pekerjaan atau usaha, hingga lokasi tempat tinggal perempuan. Hal ini karena setiap golongan bakal memerlukan program intervensi yang berbeda.
“Misalnya, kalau perempuan petani, mungkin adaptasi digitalnya lebih rendah. Tapi kalau perempuan pedagang, itu beda lagi. Perempuan UMKM juga beda lagi,” tambah Erdiriyo.
Data GSMA 2023 menunjukkan, meskipun adopsi mobile internet perempuan Indonesia mengalami peningkatan, masih ada selisih yang besar jika dibedah berdasarkan lokasi tempat tinggal perempuan. Antara perempuan di kota dan di desa, masih memiliki selisih sebesar 12%.
Pekerjaan rumah berikutnya adalah kurangnya koordinasi antarpemangku kepentingan, strategi, dan target konkret yang sama. Hal ini termasuk tentang kurangnya mekanisme pemantauan dan evaluasi program-program yang selama ini sudah ada.
“Data memang menunjukkan pencapaian penurunan gender gap Indonesia bagus, tapi kita tidak bisa klaim (penurunan ini) karena apa, karena kita tidak punya data terpilah dan tidak melakukan monitoring evaluasi berdasarkan gender,” kata Deputi Direktur Kebijakan Asia Tenggara WWB Vitasari Anggraeni.
Terakhir yang tidak kalah penting, Indonesia masih memiliki pekerjaan rumah untuk membuat ruang digital yang aman untuk perempuan. Pada 2023, Komnas Perempuan menerima setidaknya 1.272 aduan kasus kekerasan siber berbasis gender.
Beberapa yang paling banyak dilaporkan adalah korban penyebaran konten porno hingga peretasan dan pemalsuan akun. Perempuan Indonesia juga acap kali menjadi sasaran penipuan secara daring, termasuk penipuan pinjaman online (pinjol).
Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KPPPA) pernah menyinggung pada 2023 bahwa korban pinjol ilegal mayoritas adalah perempuan karena literasi keuangannya yang relatif lebih rendah.
Menurut temuan GSMA, hanya 63% perempuan Indonesia pengguna mobile internet yang merasa percaya diri dengan kemampuan menggunakan perangkat digitalnya dengan tetap merasa aman secara daring. Alasan utama perempuan Indonesia enggan mengadopsi mobile internet adalah karena masalah keamanan data pribadi dan masalah penipuan.
Data yang sama menunjukkan sekurangnya 5% perempuan Indonesia yang menggunakan internet lewat ponsel pernah mengalami penipuan uang. Sedangkan 4% pernah mengalami data pribadinya, termasuk foto, diambil atau dibagikan tanpa izin.
“Digital security ini sama dengan literasi, di mana ketika memberikan akses ke layanan keuangan, juga dilengkapi dengan pengetahuan dan edukasi risiko-risikonya. Kalau risiko ini terjadi, apa yang harus dilakukan? Perlindungan konsumen juga perlu dipermudah dan disosialisasikan supaya pengguna baik perempuan maupun laki-laki thau cara menindaklanjuti ketika ada masalah,” kata Vitasari.
Pekerjaan rumah Indonesia untuk menciptakan inklusi dan literasi digital serta keuangan untuk perempuan memang masih panjang. Namun, utopia kesetaraan dan kesejahteraan perempuan dalam akses digital dan keuangan bukan tidak mungkin dicapai.
“Karena pada akhirnya peningkatan inklusi itu kan peningkatan kesejahteraan. Kita bicara inklusi keuangan perempuan itu bicara tentang kesejahteraan perempuan,” kata Vitasari.