KATADATA - Keinginan Presiden Joko Widodo membawa Indonesia bergabung dalam kerjasama perdagangan bebas Trans Pacific Partnership (TPP), sempat menuai pro-kontra. Di satu sisi, kerjasama yang diprakarsai oleh Amerika Serikat itu dinilai hanya menjadikan Indonesia sebagai pasar bagi barang dan jasa dari mancanegara. Selain itu, sebagian pihak menganggap perekonomian negara ini akan semakin liberal dan terbuka bagi investor asing.
Menurut Menteri Perdagangan Thomas Trikasih Lembong, kerjasama perdagangan bebas dibutuhkan untuk membuka pasar yang lebih luas bagi produk-produk ekspor Indonesia di tengah perlambatan ekonomi global. Karena itu, selain TPP, pemerintah tengah menjajaki perjanjian kerjasama sejenis antara lain dengan Uni Eropa, empat negara di Eropa, dan Australia. “Tahun ini target saya dengan empat negara Eropa dan Australia,” katanya dalam wawancara khusus dengan Tim Katadata di sela-sela acara “The Economist Event Indonesia Summit 2016” di Jakarta, Kamis dua pekan lalu (25/2).
Selain rencana sejumlah kerjasama perdagangan bebas, pria yang kerap disapa Tom Lembong dan pendiri perusahaan investasi Quvat ini mengungkapkan potensi ekspornonmigas di saat meredupnya harga komoditas. Berikut petikan wawancaranya.
Bagaimana peluang masuk kerjasama TPP?
Sebetulnya kita mungkin harus sedikit mengalihkan topik dari TPP ke topik lain. Karena, jujur saja, proses TPP itu masih panjang dan lama. Dua belas negara pendirinya saja belum meratifikasi perjanjian dan Amerika Serikat (AS) masih tergantung, apakah akan meratifikasi tahun ini atau setelah pemilu. Jadi, menurut saya keputusan TPP masih lama.
Yang akan jadi sebelum itu tentunya reaktivasi (perjanjian perdagangan) dengan Uni Eropa. Mungkin kita akan banyak diskusi publik mengenai EU-CEPA (Comprehensive Economic Partnership Agreement), kemudian juga ada beberapa perjanjian seperti dengan Australia dan satu lagi European Free Trade Association (EFTA) dengan empat negara Eropa (Swiss, Norwegia, Islandia, dan Liechtenstein). Jadi kita bisa bicara soal itu terlebih dahulu.
Mengapa pemerintah ingin bergabung ke dalam TPP?
Ada beberapa hal yang menjadi alasan. Pertama, ada aspek persaingan global. Kalau kita lihat Malaysia, Singapura, Brunei sudah masuk (TPP). Filipina dan Thailand juga akan masuk. Maka akan sulit untuk kita kalau tidak masuk karena banyak hal kita akan ketinggalan. Dari sisi akses pasar menuju Jepang, Kanada, AS, bahkan Australia. Contoh sederhananya untuk tarif, negara anggota TPP akan menikmati tarif nol persen ke AS, sementara kita kena 12 sampai 17 persen. Saya kira kita tahu profit margin korporasi kita di bawah 10 persen. Bagaimana bersaing kalau selisih tarifnya lebih dari 10 persen sementara margin keuntungan tidak sampai 10 persen, Jadi, itu contoh sederhananya.
(Baca: Jokowi Akan Putuskan Indonesia Gabung TPP Tiga Tahun Lagi)
Apa manfaat lainnya?
Dari sisi harmonisasi prosedur, dikatakan semua negara TPP menggunakan formulir yang sama sehingga perdagangan antarnegara lebih lancar. Sementara kita menggunakan formulir sendiri, sehingga itu menghambat ekspor. Jadi ada aspek persaingan regional di situ. Makanya Pak Presiden bilang, kita tidak punya pilihan (selain masuk TPP).
Alasan kedua yang penting, Presiden memerintahkan saya untuk bernegosiasi secara benar karena semua kontrak merupakan hasil negosiasi. Saya ingin menegaskan, ada salah persepsi bahwa TPP itu merupakan hal yang baku serta telah selesai dimasak oleh pendirinya. Sehingga yang bergabung belakangan tinggal “take it or leave it”. Padahal, kenyataannya tidak seperti itu. Saya sudah bicara dengan Menteri Perdagangan AS dan menteri perdagangan negara lain. Pada kenyatannya masih ada fleksibilitas dan penyesuaian untuk anggota yang bergabung selanjutnya. Bahkan, di antara 12 negara pembentuk TPP saja masih banyak pengecualian dan penyesuaian khusus untuk negara tertentu.
Berarti masih ada ruang untuk bernegosiasi ?
Masih.
Mengapa harus dikaji terlebih dahulu hingga tingkat Kemenko Perekonomian?
Betul, ini trade agreement dengan Eropa dan AS serta TPP punya dampak luas. Sebab, mencakup banyak aspek. Mulai dari hortikultura, investasi, lingkungan hidup hingga perburuhan. Jadi selayaknya perlu dikoordinasikan di tingkat menteri koordinator, itu hanya aspek teknis. Belum lagi upaya kita mempersiapkan diri untuk meningkatkan daya saing. Kita harus meningkatkan pendidikan dan kesehatan agar sumber daya manusia (SDM) bersaing. Itu kenapa harus dikoordinasikan dan yang paling layak berada di Kemenko Perekonomian.
(Baca: DPR Minta Pemerintah Kaji Ulang Rencana Gabung ke TPP)
Apakah penyebab lainnya karena kementerian belum sepakat dengan konsep TPP?
Itu juga (salah satu alasan), karena harus diakui orientasi kita adalah perubahan haluan yang cukup drastis. Sebelumnya kita cenderung defensif dan protektif, sekarang kita mau mengakses pasar internasional. Saya selalu tekankan agar azas resiprokal berlaku, jadi kalau kita minta negara lain terbuka kita juga terbuka sama mereka. Tidak masuk akal kalau kita minta mereka terbuka sementara kita tidak mau terbuka.