Wacana Subsidi Pupuk Mau Dinolkan dan Diubah Jadi Pemangkasan 50%

Katadata
Wakil Menteri Pertanian Harvick Hasnul Qolbi (Ilsutrasi: Joshua Siringo-Ringo)
Penulis: Pingit Aria
14/2/2021, 09.30 WIB

Baru sebulan menjabat Wakil Menteri Pertanian, Harvick Hasnul Qolbi langsung menghadapi banyak masalah di kementeriannya. Padahal, latar belakangnya bukan ahli pertanian. Harvick merupakan kader NU dengan jabatan terakhir sebagai Bendahara Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU).

Setelah Presiden Joko Widodo melantiknya pada 23 Desember 2020, tiga hari kemudian Istana kembali menghubunginya untuk membahas subsidi pupuk. Perkara ini baru keluar ke publik setelah Jokowi mengungkapkannya pada 11 Januari 2021.

Kemudian, ada kelangkaan kedelai hingga para perajin tahu tempe mogok produksi. Baru-baru ini, pedagang daging sapi juga mengeluhkan tingginya harga dari rumah potong hewan.

Di tengah pandemi dan bencana alam di berbagai daerah, pemerintah kini juga mulai intensif mengantisipasi datangnya Ramadan hingga Lebaran. Momen hari raya tersebut normalnya akan diiringi oleh kenaikan harga bahan pangan.

“Menjelang bulan puasa, hampir setiap hari kami bahas bahan pokok,” katanya dalam wawancara dengan Pingit Aria dan Muhammad Ahsan Ridhoi, Kamis (4/2). Berikut kutipannya:

Bagaimana ceritanya sampai Anda terpilih menjadi Wakil Menteri Pertanian?

Saya sendiri tidak tahu. Sehari sebelum pelantikan itu saya baru dihubungi, meski masalah reshuffle kan sudah cukup lama beritanya. Setelah dihubungi oleh Pak Jokowi, lalu diminta tes swab, saya juga tidak banya tanya.

Apa yang diamanahkan oleh Pak Jokowi kepada Anda sebagai Wakil Menteri Pertanian?

Pak Presiden menitipkan beberapa hal. Yang pasti, beliau concern masalah pangan, korporasi petani, sampai akselerasi birokrasi. Pak Menteri Pertanian Syahrul Yasin Limpo kan 24 tahun di birokrasi, dari lurah, camat, sampai gubernur. Saya diminta bantu mempercepat birokrasi.

Jadi apa yang Anda lakukan begitu menjabat sebagai Wakil Menteri Pertanian?

Saya menjumpai Pak Menteri untuk menyamakan visi dan misi. Itu tanggal 24 Desember 2020, sehari sehari sebelum Natal. Kemudian dengan para pejabat eselon satu untuk membahas rencana kerja 2021-2024.

Setelah rapat pimpinan itu, semua direktur perusahaan pupuk saya panggil. Itu karena pada 26 Desember 2020, ada kontak dari Istana, Presiden menaruh perhatian pada masalah subsidi pupuk.

Masalah pupuk ini harus diselesaikan sama-sama. Bukan hanya Kementerian Pertanian dan holding Pupuk Indonesia saja.

Jadi jalan keluarnya seperti apa? Apakah subsidi pupuk masih akan dilanjutkan?

Ini masih dibahas karena ada hal-hal yang cukup sensitif. Kemarin sempat mau dinolkan tapi kemudian diubah jadi 50%. Jadi sementara ini masih kami bantu subsidi pupuk.

Sebenarnya kalau mau persaingan sehat memang tidak disubsidi lagi. Tapi bagaimana lagi, kalau tidak disubsidi, belum tentu petani sanggup beli. Sementara kalau disubsidi, banyak temuan penyimpangan di lapangan.

Bagaimana dengan opsi subsidi tunai?

Menurut saya susah juga karena belum tentu dibelikan pupuk. Dulu pernah ada program pengembangan ternak sapi. Setelah diberikan, dua bulan kemudian kami kembali, sapinya tidak ada, sudah dijual. Jadi mengedukasi petani juga tidak mudah.

Jadi ini final, subsidi pupuk akan dipangkas 50%?

Rencananya, tapi belum tahu juga. Masih dirundingkan.

Setelah ramai-ramai soal pupuk bersubsidi, ada lagi masalah kelangkaan kedelai. Apa yang sebenarnya terjadi?

Jadi tanggal 3 Januari 2021, Pak Pratikno (Menteri Sekretaris Negara) kontak saya lagi. Beliau bilang, “Pak Wamen, Senin kita enggak makan tahu tempe lagi.”

Saya juga baru paham masalah kedelai. Saya Panggil Kepala Badan Ketahanan Pangan untuk komparasi data. Ternyata kebutuhan kedelai pada 2020 itu sekitar 3,1 juta ton. Dari jumlah itu, 2,7 juta ton bisa disediakan, tapi masih ada defisit 400 ribu ton. Dari 2,7 juta ton, itu pun yang 2,1 juta ton dipenuhi lewat impor.

Jadi saya sampaikan ke Pak Pratikno, tegaskan dulu apakah kita mau jadi bangsa pengimpor atau bangsa yang berproduksi. Ini harus dibicarakan di level pimpinan tertinggi.

Jadi apa jalan keluarnya menurut Anda?

Untuk food estate ini tidak usah terlalu kita kembangkan dulu kedelai. Secukupnya saja.

Kalau lihat data, dari 600 ribu ton kedelai lokal itu lahan produksi yang bagus itu ada di lokasi seperti Grobogan dan Lampung. Lainnya, di Aceh, Sumatera Utara, Sulawesi, itu lahan kritis semua.

Kenapa Tiongkok bisa maju, bahkan ekspor bawang? Karena mereka tidak berhenti melakukan penelitian dan pengembangannya. Begitu mendapati kesulitan di satu daerah, mereka coba di provinsi lain.

Di sini, kita temukan lahan tidak cocok untuk kedelai, kita berhenti, impor aja deh. Enggak apa-apa juga sih. Malaysia yakin sawitnya bagus, mereka fokus saja. Yang lain impor.

Tapi rentan juga kan menggantungkan diri pada impor…

Saya sampaikan, kalau produksi kedelai lokal itu bisa kita tingkatkan dari 600 ribu ton menjadi 1 juta ton, berarti masih ada kekosongan 2,1 juta ton. Itu data 2020. Maka, minta BUMN impor sebagian, misalnya 500 ribu ton. Jadi pemerintah punya cadangan.

Tadi Bapak menyinggung tentang food estate. Bagaimana kemajuannya sekarang?

Food estate ini program Presiden, harus berjalan. Di Kalimantan Tengah ada sebagian kecil sudah hampir panen. Ini perjuangannya tidak mudah karena masyarakat terbiasa tambang. Sekarang mereka beralih ke pertanian, jauh lah income-nya.

Food estate ini kan bukan hal baru. Dulu sempat ada wacana di Papua tapi gagal. Bagaimana memastikan kali ini akan berhasil?

Jangankan di Indonesia, food estate di seluruh dunia hampir tidak ada yang berhasil. Di situ kelebihan Presiden kita membuat terobosan. The show must go on. Kalau berdebat terus, tidak akan selesai.

Memasuki puncak musim hujan, bencana banjir dan longsor terjadi di berbagai daerah. Bagaimana dampaknya terhadap pertanian?

Namanya bencana kan tidak mudah diprediksi. Di Kalimantan Selatan itu 18 ribu hektare lahan pertanian rusak, alat-alatnya terendam juga.

Bagaimana Kementerian Pertanian memitigasi dampak bencana terhadap petani?

Kami terus berkoordinasi, melakukan pemetaan. Kami identifikasi masalah dan berbagai kebutuhan seperti tanam ulang dan penggantian peralatan. Nanti juga akan dimonitor realisasi penyaluran bantuannya seperti apa.

Selain kedelai, harga daging sapi juga tinggi. Bagaimana pemerintah menangani masalah ini, terutama menjelang Ramadan?

Ini kan mekanisme pasar. Kalau bicara impor sapi, panjang lah. Persis kedelai.

Jadi apa solusi jangka pendek jelang puasa?

Kami sudah rapatkan. Selasa lalu itu para menteri dipanggil Presiden untuk membahas persiapan menjelang Ramadan-Lebaran.

Intinya adalah bagaimana mengetatkan pengawasan, sebab tidak ada gangguan stok. Yang terjadi biasanya ada pihak-pihak yang menginginkan keuntungan lebih tinggi, sehingga menimbun barang.

Ini bukan di sini saja. Di Amerika Serikat pun harga kalkun akan naik menjelang Thanksgiving.

Masalahnya, kalau di sini harga naik menjelang lebaran, setelah lebaran belum tentu kembali turun. Ini kenaikannya bisa berseri karena pandemi. Ini harus diantisipasi betul, terutama dalam pengawasan distribusinya.

Reporter: Muhammad Ahsan Ridhoi