Pemerintah Provinsi Jawa Barat berencana mengembangkan Kota Raya Walini sebagai pusat pertumbuhan baru. Proyek ini rencananya didirikan di atas lahan seluas 10.000 hektare dengan fokus utama untuk memindahkan pusat pemerintahan. Pembangunan Walini awalnya sejalan dengan rencana pengembangan kawasan transit-oriented development oleh PT Kereta Cepat Indonesia China (KCIC).
Namun KCIC terkendala dana. Pengembangan kawasan terintegrasi berorientasi transit (TOD) Walini pun tertunda. Kini, perusahaan konsorsium itu hanya berfokus pada konstruksi jalur kereta cepat. Perubahan ini akan mempengaruhi prospek pengembangan wilayah Provinsi Jawa Barat untuk menumbuhkan kantong-kantong ekonomi baru.
Gubernur Jawa Barat Ridwan Kamil mengatakan pengembangan TOD di sejumlah kawasan memang tidak lagi menjadi prioritas. Kendati demikian, hal ini tidak mematikan ambisi Pemprov untuk membangun wilayah TOD di beberapa wilayah seperti Stasiun Bandung dan Walini.
Untuk pengembangan Walini ada sekitar 1.000 hektare. "Itu akan dibagi empat zona. Saya akan mencari empat investor," kata Ridwan Kamil, Sabtu dua pekan lalu. "Pengalaman saya, kalau lahan terlalu besar dikasih ke satu investor, sekalinya macet, macet keseluruhan."
Jadi, apakah pengembangan TOD kereta cepat sejalan dengan rencana Pemprov Jawa Barat? Bagaimana strategi Pemprov menggaet investor untuk mendorong pertumbuhan? Beriku ini wawancara khusus Katadata.co.id dengan Gubernur Jawa Barat Ridwan Kamil.
Ikuti Liputan Khusus Kereta Cepat Lainnya:
Sejumlah TOD akan dikembangkan di beberapa titik di Jawa Barat, apakah sejalan dengan rencana Pemprov?
Waktu Ibu Rini Soemarno menjadi Menteri BUMN, saya bertanya konsep kereta cepat itu apa? Konsepnya dua. Pertama sebagai alat transportasi publik, kedua sebagai alat untuk membuat pusat pertumbuhan baru. Jadi tanpa kereta cepat, jangan mimpi ada kota di Walini, kota di Tegalluar karena tidak ada orang yang datang ke sana.
Jadi, kalau melihat kereta cepat jangan membahas satu dimensi sebatas mengangkut orang jadi cepat doang. Namun juga menjadi alasan kami membuat pusat-pusat pertumbuhan baru.
Nah, pusat pertumbuhannya itu semua ada di Jawa Barat, kita sebut transit oriented development. TOD pertama ada di Karawang, TOD kedua di Walini, TOD ketiga ada di Tegalluar. Semua harus legal.
Bagaimana peran Pemprov di proyek ini?
Kami upayakan melegalkannya lewat Rencana Tata Ruang dan Tata Wilayah (RTRW). Nanti turunannya banyak, dari Perda menjadi Pergub, dari Pergub ada RDTR level Bupati, dari Perda RDTR ada Pergub dan sebagainya.
Pihak KCIC mengonfirmasi TOD ditunda pengembangannya, bagaimana tanggapan Pemprov?
Memang ada dinamika, misalnya karena membengkaknya anggaran. Saya juga kurang paham karena bukan wilayah yang saya kuasai dari sisi informasinya. Maka ditundalah TOD Tegalluar. Apalagi sekarang ada stasiun baru di Padalarang.
Untuk kasus Tegalluar, gambar TOD-nya sudah saya approve. Saya sudah ikut review baik sebagai Walikota, Gubernur, dan arsitek. Tapi memang tidak ada rencana jangka pendek pembangunan TOD di sana.
Bagaimana dengan Walini?
Karena diputuskan tidak ada stasiun di Walini, berarti tidak ada alasan untuk membangun TOD. Bagaimana bangun TOD kalau tidak ada pemberhentian? Ini bukan tidak ada, tetapi ditunda.
Kereta cepat dari Halim akan berhenti di Karawang, kemudian di Padalarang. Maka TOD yang kemungkinan berkembang adalah TOD di Karawang.
Dengan penundaan stasiun Walini, bagaimana rencana Pemprov mengembangkan kota mandiri di kawasan itu?
Kita bicara apa adanya. KCIC ini kan konsorsium dari BUMN. Dulu, komitmen PTPN VIII itu adalah menyetor tanah di Walini untuk dinilai sebagai saham. Ternyata KCIC lebih butuh modal uang ketimbang tanah. Akhirnya PTPN VIII mundur, walaupun masih punya setoran modal dalam bentuk uang. Nah, tanahnya akhirnya tidak ada hubungan lagi dengan KCIC.
Ini artinya visi kota baru Walini menunggu terobosan. Saya sebagai Gubernur ingin kota baru Walini berkembang. Caranya bagaimana? Saya mengusulkan ada pintu keluar tol. Jadi nanti alasan Walini hidup bukan karena stasiun kereta api yang belum ada, tetapi kota baru Walini hidup karena ada akses tol.
Artinya rencana membangun Kota Raya Walini tetap berjalan?
Jalan terus. Tapi tidak dalam skenario sebagai akibat dari kereta cepat. Lebih pada plan B yaitu dihidupkan oleh rencana akses tol exit-nya. Visi kami memang butuh pusat pertumbuhan baru. Jawa Barat itu besar dan Bandung Raya sudah macet. Sehingga butuh kota-kota baru tetapi yang nempel tol, nempel rel kereta. Itu basisnya tetap TOD.
Bagaimana dengan pengembangan Padalarang?
Karena Padalarang kecil, jadi enggak dikembangkan sebagai TOD, jadi betul-betul tempat berhenti terus ribuan orang geser ke kereta reguler untuk melanjutkan perjalanan ke Bandung. Nah, justru menurut saya yang punya peluang TOD itu sebenarnya Stasiun Bandung.
Jadi ada rencana mengembangkan TOD di Stasiun Bandung?
Tanah-tanah di sekitar Stasiun Bandung milik PT Kereta Api Indonesia itu tidak ada nilai tambah ekonominya. Dengan kemungkinan ada arus penumpang kereta cepat, ada potensi dikembangkan lebih lanjut. Direksi KAI juga sudah membuka diri dengan rencana ini.
Kalau KAI tertarik, apakah ini perannya di luar konsorsium KCIC?
Di luar konsorsium.
Bagaimana konsep TOD yang cocok untuk masyarakat Jawa Barat?
Dulu, saya S2 tesisnya TOD. Jadi TOD itu prinsipnya 3D: density, design, diversity. Density harus ada kepadatan di situ, jumlah orang harus dihitung. Kemudian design artinya design-nya harus bagus membuat arus orang itu enggak naik turun. Kemudian diversity menunjukkan harus ada campuran fasilitasnya.
Contoh TOD terbaik yang bisa jadi referensi itu the International Financial Center (IFC) di Hong Kong. Ini sebuah kawasan TOD paling keren sedunia menurut saya. Di bawah ada kereta api. Lantai atasnya ada terminal bus dan taksi. Di atasnya lagi ada mal. Ada juga kafe di pinggir-pinggir jalannya. Jadi orang berbelanja di situ, beraktivitas di situ. Di atas mal ada kantor tertinggi di Hongkong dan Hotel Four Season. Itu di pusatnya.
Di luar titik yang padat, masuklah real estate. Ada perumahan yang jaraknya kalau bisa jalan kaki atau minimal naik bus. Jadi itu konsep TOD di mana ada ribuan orang tumplek. Kegiatannya beragam mulai dari belanja, perkantoran, penginapan, dan lain sebagainya. Makanya TOD yang paling realistis adalah Stasiun Bandung.
TOD Stasiun Bandung lebih potensial dari Karawang?
Stasiun Bandung itu penduduknya sudah ada jadi jauh lebih mudah. Kalau Karawang harus bertahap pengembangannya. Nunggu ramai dulu. Harus dipikirkan apa dulu yang mau dibuat. Nanti setelah jumlah orangnya memadai baru berkembang. Tidak bisa juga digeber membangun TOD yang multifungsi, ternyata jumlah manusianya belum memadai di skala ekonomi.
Terkait rencana pengembangan TOD Stasiun Bandung, apakah sudah ada MoU antara KAI dan Pemprov?
Tanahnya milik PT KAI, jadi saya hanya menawarkan. KAI secara prinsip setuju sebagai pemilik tanah. Terus KAI bertanya, apa yang di TOD-kan? Saya bilang, kita gabungkan antara visi saya sebagai pemimpin, baik saat masih jadi Walikota dan sekarang jadi Gubernur, dengan hasil studinya.
Nanti studinya saya challenge juga. Karena membangun TOD juga harus sinkron dengan visi jangka panjang. Intinya, TOD sudah harus mulai populer. Kalau orang bisa produktif tanpa harus naik mobil pribadi, itu keren.
Bayangkan IFC Hong Kong tadi ada di Stasiun Bandung, orang enggak ke mana-mana. Jadi tinggal di situ, ngantor di situ, mau ke Jakarta tinggal turun ke stasiun. Dia tidak pernah ketemu jalan raya karena hidupnya kumpul di TOD yang serba produktif, praktis, dalam jangkauan jalan kaki.
Itu sudah ada timeline rencana pengembangan?
Saya tidak bisa memprediksi sesuatu yang di luar kewenangan saya. Kalau itu tanah milik saya, misalnya, wah minggu depan sudah groundbreaking. Tapi karena pemiliknya KAI, saya tidak bisa maksa-maksa juga. Ya, mudah-mudahan di zaman saya masih ada groundbreaking lah.
Kalau di Karawang sudah ada pengembang yang tertarik?
Jujur saja di Karawang itu KCIC belum proaktif ke saya. Jadi buat saya belum jelas konsepnya seperti apa. Jadi, terus terang interaksi saya dengan Karawang itu sedikit sekali.
Artinya KCIC belum ada komunikasi intens dengan Pemprov soal TOD?
Saya terus terang agak ketinggalan. Kayak di Padalarang itu seperti apa. Di bawah stasiun mau didirikan apa. KCIC belum ada presentasi ke saya. Sebelumnya saya minta bikin stasiunnya itu di Kopo. Kalau di situ sudah padat jadi TOD-nya akan berkembang.
Selain itu di situ tanahnya sudah milik Ciputra. Kalau tanahnya sudah dikuasai developer, mengembangkan TOD akan lebih cepat. Tapi ide itu tidak dipilih karena masalah pendanaan.
Khusus pengembangan TOD, apakah Pemprov akan mengeluarkan regulasi khusus?
Sebenarnya batas regulasi kami hanya sampai RTRW saja. Tapi karena gubernurnya arsitek, tentulah saya punya personal interest untuk memastikan TOD ini keren dan sesuai kaidah 3D tadi.
Di Indonesia itu susah cari TOD yang keren. Sudirman Central Business District (SCBD) enggak ada transitnya. Orang ke sana naik mobil. Di Surabaya saya kurang tahu perkembangannya. Kalau di Bandung dan Yogyakarta enggak ada.
Pemprov DKI mengeluarkan regulasi pengelolaan TOD Kemayoran, apakah Pemprov Jabar akan menempuh langkah serupa?
Kalau Pemprov DKI Jakarta tidak bisa apple to apple sama Jabar. Kewenangan walikota dipegang oleh Pak Anies [Gubernur]. Kalau di Jabar kan kewenangan bupati saya tidak bisa ambil karena ada bupati pilihan rakyat yang sesuai perundang-undangan.
Oleh karena itu tadi saya gunakan personal interest saja. Jadi intervensi saya secara pribadi, bukan secara kewenangan karena semua orang juga paham saya punya ilmu di situ. Tapi tidak dalam batas kewenangan provinsi yang sifatnya mentok sampai RTRW.
Ada kabar KCIC akan fokus mengembangkan properti terutama di Halim Superblok, bagaimana tanggapan Pemprov?
Itu kan pilihan bisnis. Poinnya, kalau bikin TOD di Jawa Barat pasti sukses. Kenapa saya berani bilang begitu? Karena penduduknya banyak. Kalau konsep ini dibikin di provinsi yang penduduknya sedikit, skala ekonominya enggak sampai.
Tapi begini, kota itu kan berkembang puluhan tahun. Maaf ya, di SCBD saja masih ada lahan kosong. Padahal pengembangannya itu dilakukan sejak 1990-an waktu saya masih mahasiswa. Sekarang sudah 31 tahun masih ada kavling kosong. Itu di Jakarta loh pusat kota, apalagi Karawang. Jadi jangan mengira konsep TOD dalam lima tahun beres.
Pernah menghitung berapa sih kira-kira biaya pembangunan TOD itu idealnya? Misalnya di Stasiun Bandung?
Kalau menghitung properti tergantung meter persegi yang mau dibangun. Sederhana saja, misalnya luas 10 hektare. Misalnya KLB koefisien luas bangunan tiga artinya 150.000 meter persegi. Nah, 150.000 meter persegi itu kali saja misalnya Rp 20 juta biaya pembangunannya per meter, artinya sekitar Rp 3 triliun.
Ada pengembang lain menyatakan ketertarikan mengembangkan TOD?
Saya sekarang akan fokus dua saja. Karawang saya enggak ngerti karena belum ada presentasi. Kalau Walini, pemilik lahannya yaitu PTPN VIII sudah ketemu saya. TOD Walini nanti basisnya bukan TOD tapi exit toll kan.
Sekitar 1.000 hektare itu akan dibagi empat zona. Saya akan mencari empat investor. Pengalaman saya, kalau lahan terlalu besar dikasih ke satu investor, sekalinya macet, macet keseluruhan. Mungkin tahun ini akan ada beritanya, nanti akan saya sampaikan
Kedua, saya lagi dorong TOD di Stasiun Bandung bersama PT KAI. Gambarnya lagi disiapkan. Setelah itu saya bulan Mei akan keliling ke luar negeri untuk mencari investor-investor TOD itu bersama PTPN VIII dan PT KAI di negara-negara yang kapitalnya besar.
Proyek kereta cepat sudah mendapatkan dukungan APBN, apakah Pemprov tertarik mendukung TOD lewat APBD atau BUMD?
Belum jadi prioritas. Urusan dasar kami adalah infrastruktur jalan yang sedang jadi prioritas utama. Jalan di Jawa Barat masih banyak yang harus saya perbaiki. Jadi kalau ada pilihan, kami punya uang, masih fokus dulu memperbaiki hak dasar.
Hak dasar itu adalah kualitas infrastruktur. Tapi bukan tidak mungkin, karena kita punya BUMD yang urusannya infrastruktur dan properti [PT Jasa Sarana]. Tapi per hari ini, belum ya.