Pandemi sudah terjadi ketika Anda menjabat sebagai menteri kesehatan. Pelajaran apa yang bisa dipetik dari pandemi Covid-19 terhadap sistem kesehatan nasional?
Pandemi berbeda dengan krisis keuangan atau ekonomi yang siklusnya pendek. Jadi orang yang pernah mengalami masih ingat kebijakan apa yang dia bikin. Kalau pandemi siklusnya panjang, terkadang orang yang pernah mengalami pandemi besar di dunia itu sudah wafat. Kita terpaksa membaca buku atau mencoba sendiri tanpa ada gurunya.
Yang saya lihat bukan hanya sistem kesehatan Indonesia. Arsitektur sistem kesehatan dunia itu lemah. Pertama, sistem kesehatan itu sangat nasionalis, sektoral, fragmented. Berbeda dengan sistem keuangan dunia. Misalnya ada satu negara mengalami krisis fiskal atau moneter, dalam hitungan minggu ada institusi dunia yang masuk dan membantu balance sheet negara itu. Namanya IMF (International Monetary Fund). Indonesia pernah diobati oleh institusi ini dulu saat terjadi krisis moneter dan fiskal.
Nah, kalau institusi kesehatan seperti itu enggak ada. Kalau meledak (masalah kesehatan) di satu negara, yang dikirim paling bantuan atau tenaga ahli. Tapi bukan benar-benar yang membuat negara itu bisa kembali bangun.
Kedua, masalah kesehatan itu dilihat oleh banyak negara sebagai masalah nasional. Jarang yang melihatnya sebagai masalah internasional. Lihatlah Indonesia, stunting kita beresin di dalam. Kita enggak pernah mengurusi stunting di Australia, atau berpikir masalah malaria di Papua Nugini, atau masalah TBC di Filipina. Jadi begitu keluar penyakit yang sifatnya global, orang bingung semua karena tidak terbiasa berkoordinasi.
Itu sebabnya di Presidensi G20 Indonesia sekarang, Presiden Joko Widodo itu bilang agendanya tiga saja, yaitu arsitektur kesehatan global, transisi energi, dan ekonomi digital. Kita masuk di arsitektur kesehatan global ini karena semua negara sadar sistem kesehatannya tidak siap begitu digempur pandemi. Bukan hanya di Indonesia.
Seperti apa arah pembahasan arsitektur kesehatan dunia di forum G20 nanti? Apakah akan ada lembaga khusus yang mengurusinya, seperti halnya IMF di sektor keuangan?
Ada beberapa milestone yang mau dicapai secara konkret di Presidensi G20 Indonesia kali ini. Terkait arsitektur kesehatan global, terbagi menjadi tiga topik utama, yaitu ketahanan sistem kesehatan global (global health system resiliency), protokol kesehatan global (global health protocols), dan redistribusi kemampuan manufaktur dan riset medis global (redistributions of global manufacturing and global research).
Barang-barang kesehatan yang sangat dibutuhkan pada saat pandemi biasanya terbagi tiga, yaitu vaksin, therapeutic, dan diagnostic. Vaksin itu kita tahu semua. Therapeutic itu obat-obatan. Diagnostic itu kayak PCR, reagent, dan lainnya. Ketiganya adalah emergency health countermeasures yang dibutuhkan saat terjadi pandemi.
Untuk topik global health system resiliency ada tiga target. Pertama, membentuk financial intermediary fund for health. Kalau IMF untuk balance sheet satu negara. Kami ingin membuat seperti itu, dana khusus untuk masalah kesehatan. Didiskusikan dananya mau ditaruh di mana. Apakah di World Bank, badan sendiri, atau seperti apa. Tapi kami ingin konkret membentuk fund khusus untuk health emergency.
Kedua, kita sadar punya uang saja tidak cukup. Kalau masalah ekonomi, fiskal dan moneternya rusak, dikasih uang sama IMF bisa sembuh balance sheet-nya. Kalau masalah kesehatan enggak begitu. Indonesia punya uang tapi tidak bisa beli vaksin, Indonesia punya uang tidak bisa beli masker, punya uang tidak bisa beli ventilator. Jadinya sama saja.
Kita harus membuat mekanisme akses untuk emergency medical countermeasures yang bisa diterapkan secara adil. Jadi tidak negara kaya saja yang bisa beli masker, ventilator, obat paxlovid atau molnupravir. Negara-negara lain pun harus bisa dan dan itu ada mekanisme global. Uangnya dari yang pertama tadi.
Untuk global healthcare system, kita perlu integrated global surveillance. Kayak radar tapi bukan untuk alien dari luar. Kalau alien menyerang bumi, Amerika, Rusia, dan Ukraina masih bisa bersatu. Sekarang kalau musuhnya dari dalam, berupa pandemi, Amerika, Russia, Ukraina, Jerman, Jepang, Cina harus bersatu.
Kebetulan waktu (Covid-19) meledak di Wuhan, ilmuwan Cina dalam dua minggu mengunggah genome sequence virusnya ke GISAID. Itu perusahaan swasta, kayak paguyuban ilmuwaan, tidak formal. Kebetulan di GISAID semua ilmuwannya percaya dan mengakses sehingga data dari Cina bisa dibaca oleh peneliti Moderna dan BioNTech. Jadilah vaksin Moderna dan Pfizer. Jadi kita perlu formalisasi yang namanya global surveillance laboratory network itu.
Bagaimana dengan topik lainnya?
Mengenai global health protocol, kami ingin meniru orang imigrasi. Supaya yang namanya dokumen perjalanan, paspor dan visa, prosedur imigrasi sama di semua negara. Kalau dokumen perjalanan ada testing, vaksin, prosedur karantina. Itu mau diharmonisasi.
Kemudian, redistribusi global manufacturing and research, terutama ke negara-negara berkembang di belahan bumi bagian selatan. Selatan itu pasti selalu ketinggalan. Di Indonesia juga kayak begitu, kan, ada Pantai Utara, Pantai Selatan. Yang kaya di utara, yang di selatan biasanya lebih susah hidupnya.
Begitu juga negara-negara di selatan lebih terbelakang dibanding yang di utara. Kami ingin bikin di sisi selatan, di Afrika ada satu negara yang kuat. Di Amerika ada satu. Di Asia, karena besar, ada dua negara yang bisa jadi global manufacturing dan research.
Untuk implementasi pendanaan kesehatan ini payungnya G20 atau lebih besar lagi, misalnya Perserikatan Bangsa-Bangsa?
Kita tetap menggunakan WHO sebagai pilar utamanya. Memang WHO harus dilengkapi dengan struktur pendukung lainnya. Sekarang untuk vaksinasi, WHO bekerja sama dengan GAVI (Global Alliance for Vaccines and Immunization atau GAVI the Vaccince Alliance). Untuk diagnostik dengan FIND (Foundation for Innovative New Diagnostics). Pendanaannya banyak dari global fund, misal dari Bill and Melinda Gates Foundation.
Itu nanti yang mau ditata, supaya yang ada sekarang bisa dimaksimalkan. Juga menciptakan peluang baru untuk mengatasi pandemi yang akan datang dengan lebih baik.
Negara-negara kaya selama ini lebih memprioritaskan mereka sendiri. Bagaimana peluang mendapatkan kesepakatan tentang arsitektur kesehatan global di forum G20 nanti?
G20 ini adalah perkumpulan informal negara-negara dengan status ekonomi terbesar.
Tidak ada charter resminya, ini benar-benar paguyuban. Jadi harus dengan persetujuan seluruh anggota kalau mau mengeluarkan sesuatu keputusan.
Memang sekarang masih dalam taraf diskusi. Baru jalan working group yang pertama dilihat mana yang setuju dan yang tidak. Yang setujunya bagaimana, yang enggak setujunya bagaimana. Saya harap nanti itu bisa terus dibawa sehingga di pertemuan para menteri kesehatan Juni nanti bisa dirapikan. Kemudian diteruskan lagi kalau bisa di Oktober, akan ada pertemuan para menteri kesehatan bersama menteri keuangan. Sehingga pada leaders meeting November nanti sudah bisa selesai.
Kementerian Kesehatan menyusun pilar transformasi kesehatan Indonesia. Apa saja fokus-fokusnya?
Ada enam transformasi sektor kesehatan di layanan primer, sekunder, sistem ketahanan kesehatan, sistem pembiayaan kesehatan, SDM kesehatan, dan teknologi kesehatan. Transformasi teknologi kesehatan dibagi dua, yaitu teknologi informasi dan bioteknologi. Sudah kami buat programnya masing-masing dan dieksekusi tahun ini.
Teknologi digital dimanfaatkan di banyak sektor. Bagaimana mengintegrasikannya dengan pembenahan sistem pelayanan kesehatan di Indonesia?
Transformasi sistem informasi kesehatan itu terutama terkait sistem teknologi informasi. Kami ingin bikin platform semua data digitalnya di Indonesia yang bisa digunakan oleh fasilitas kesehatan, tenaga kesehata, laboratorium. Kami mengeluarkan cetak birunya Desember lalu. Kami akan buat standardisasi formatnya yang diterima secara global dan dipastikan bisa bertukar.
Jadi seperti perbankan. Saya punya rekening di BCA, pergi ke ATM BNI bisa saya pakai. Saya punya kartu kredit dari Mandiri, saya ke Amerika bisa gesek kartunya di Citibank Amerika. Data keuangan interconnected karena ada formatnya.
Data kesehatan akan dibikin seperti itu. Kalau Budi Sadikin check-up di MMC, cek darah tiga bulan sekali di Prodia, satu tahun sekali di MMC, beli obatnya sebulan sekali karena saya punya kolesterol di apotek Senopati, pakai (aplikasi) Garmin tiap hari jalan, lari, atau berenang supaya ada datanya. Nah, data itu akan diintegrasikan dan dikoneksikan. Nanti ketemu dokter saya tinggal bilang NIK sekian, dia bisa langsung lihat data cek darah, obat, aktivitasnya seperti apa.
kedua, kami minta data digital itu akan menjadi milik pasien. Sekarang data digital yang kita miliki cuma dari Garmin, sisanya milik faskes.
Ketiga, kami ingin data itu, atas izin pemiliknya, ditutup identitasnya. Kemudian ditaruh dalam pool database besar di mana para peneliti, start-up, bisa menggunakan machine learning, AI, big data analytics untuk mempelajarinya dan mengeluarkan produk layanan berbasis data.
Nanti kita akan punya data lima juta hasil USG ibu hamil dalam setahun, satu juga data hasil x-ray per tahun, CT Scan dari penderita kanker. Datanya bisa dilihat, tinggal nanti kita bisa membangun obat-obatan, perawatan, dan cara diagnostik yang lebih precise karena berbasis banyak data tadi.
Bisa diwujudkan dalam waktu yang tidak lama?
Cetak birunya sudah keluar, supaya disebarkan ke semua stakeholder. Mereka bisa lihat. Diluncurkan April ini format datanya. Kami kasih waktu satu tahun untuk mengikuti format itu sehingga interkonektivitasnya akan terjadi.
Pandemi menunjukkan betapa rapuhnya insfrastruktur kesehatan di Indonesia. Seperti apa rencana yang akan dilakukan untuk memperkuatnya dan mengantisipasi jika ada pandemi?
Ada tiga hal fundamental yang akan dilakukan di transformasi sistem ketahanan kesehatan Indonesia. Pertama, kami ingin memastikan infrastruktur penelitian dan produksi semua obat, vaksin, terapeutik, dibangun di dalam negeri. Sudah mulai sekarang. Kalau ada produksi dalam negeri, produk impor kami tutup di katalog.
Government procurement diarahkan ke produk dalam negeri, sehingga memaksa orang bikin pabriknya di sini. Enggak kayak dulu, kita ingin bikinobat oseltamivir, bahan bakunya harus impor dari Cina. Begitu Cina mengeblok, enggak bisa terbang, kita pusing. Kami sudah identifikasi top 20 obat yang dibutuhkan di Indonesia dan bahan bakunya apa saja. Itu kami kejar.
Kedua, hal yang sama akan dilakukan untuk alat kesehatan. Terutama alat kesehatan yang banyak digunakan saat pandemi seperti ventilator, diagnostic tools, PCR lab.
Ketiga, yang banyak orang lupa, adalah tenaga kesehatan. Ketika kita kekurangan vaksinator dan tracer, minta tolong TNI, Polri.
Kami berpikir bagaimana caranya membangun reserved health army. Di dunia, konsep reserved army atau tentara cadangan sudah ada. Begitu ada perang, bisa dipanggil mereka. Padahal perang dunia paling besar adalah perang dengan virus yang membunuh jutaan orang. Kenapa enggak dibikin tentara cadangan kesehatan?
Menurut saya, paling cocok pakai pramuka. Ada 25 juta anggota pramuka, mungkin yang lima juta penegak penggalang bisa diajari kecakapan khusus kesehatan seperti tracing, testing, data entry kesehatan, atau nanti jika diizinkan bisa menyuntik. Sehingga nanti kita punya jutaan, anytime bisa dipakai, tapi tak terlalu memberatkan anggaran negara.
Dalam rangka mendukung kampanye penyelenggaraan G20 di Indonesia, Katadata menyajikan beragam konten informatif terkait berbagai aktivitas dan agenda G20 hingga berpuncak pada KTT G20 November 2022 nanti. Simak rangkaian lengkapnya di sini.