Harus Cukup Insentif untuk Menekan Emisi

Ilustrator: Joshua Siringo Ringo | Katadata
Wakil Direktur Utama dan CEO Grup Indika Energy Azis Armand
28/9/2022, 07.00 WIB

Industrialisasi dalam tiga abad terakhir memacu pemanasan global seiring makin besarnya emisi yang tercipta. Pada 2021, emisi karbon dunia kembali naik hingga 36,3 gigaton CO2 dan menembus rekor tertinggi sepanjang sejarah.

International Energy Agency menyebutkan, emisi karbon global pada tahun lalu paling banyak berasal dari pembakaran batu bara dan gas alam. Sedangkan polutan dari asap BBM kendaraan menurun, bahkan lebih rendah 8 % dari level pra-pandemi corona.

Memikul beban sebagai penyumbang besar emisi dunia, banyak perusahaan mulai bergerak untuk mengatasinya. Indika Energy, misalnya, yang memiliki usaha utama dalam penambangan batu bara perlahan mengubah arah bisnisnya.

“Kami diversifikasi portofolio, dari berinvestasi di high carbon business ke low carbon business. Kemudian divestasi di perusahaan yang menghasilkan karbon lebih tinggi,” kata Wakil Direktur Utama dan CEO Grup Indika Energy Azis Armand dalam wawancara khusus dengan Katadata.co.id.

Baca Juga ARTIKEL EDISI KHUSUS TERKAIT:

Sejak empat tahun lalu, perusahaan dengan kode emiten INDY ini pun memasang target pendapatan konsolidasi pada 2025 akan seimbang dari sektor batu bara dan non-emas hitam. Karena itu, mereka mulai masuk ke perdagangan nikel dan sektor infrastruktur, seperti di konsorsium Pelabuhan Patimban.

Di kendaraan bermotor, Indika telah meluncurkan motor listrik. Sementara di sektor kehutanan membangun land use management untuk perhutanan energi, dan sedang mengembangkan proyek karbon atau restorasi ekosistem.

Apa saja yang sudah dilakukan Indika dalam berkontribusi nol emisi karbon? Juga harapannya kepada pemerintah dalam transisi energi seperti terkait pendanaan? Berikut ini wawancara lengkap Katadata.co.id dengan Azis Armand pada pekan lalu.

Secara internal, seperti apa target yang dipatok Indika Energy dalam net zero emission?

Indika Energy merupakan investment holding company. Indika memiliki investasi di beberapa anak usaha, salah satunya perusahaan tambang. Di Indika, emisi yang dihasilkan secara konsolidasi dari anak-anak usaha dari kegiatan operasinya.

Aspirasi kami untuk mencapai net zero pada 2050 atau lebih awal itu adalah konsolidasi tersebut, untuk scope satu dan scope dua. Untuk scope tiga tentu ada perhitungan lagi, akan lebih complicated karena ada supply chain dan lainnya.

Lalu, apa saja yang sedang dan hendak dilakukan?

Kami akan diversifikasi portofolio, dengan berinvestasi dari high carbon business ke low carbon business. Kemudian divestasi di perusahaan yang menghasilkan karbon lebih tinggi.

Kedua, kami minta operasi anak-anak usaha melakukan dekarbonisasi. Hitungan carbon accounting sudah dilakukan: kegiatan apa yang menghasilkan karbon, berapa, dan inisiatif yang harus dilakukan berkaitan dengan penurunan karbon dari sisi operasional.

Ketiga, peranan teknologi atau digitalisasi untuk improvement dari operasional yang berkaitan dengan penurunan emisi karbon. Pada akhirnya, esensi dekarbonisasi sangat erat dengan kegiatan efisiensi karena terkait dengan pertambangan. Sebagian besar emisi dari transportasi, mobility. Kalau konsumsi bahan bakar turun dengan efisiensi, emisinya pun turun.

Keempat, bagaimana kami juga memikirkan offset dari keseluruhan portofolio Indika Energy. Ini yang sedang kami eksplor.

Indika dikenal sebagai industri batu bara, bahkan salah satu yang paling banyak disorot soal net zero emission. Seperti apa detail diversifikasi yang sedang dilakukan?

Kami sudah mulai sejak awal 2018 dengan mencanangkan target pada 2025 pendapatan konsolidasi akan balance dari sektor batu bara dan bukan batu bara, 50:50. Itu akan drive aktivitas kami, yaitu investasi-investasi pada sektor low carbon economy atau divestasi di sektor yang high carbon economy.

Di dalam low carbon economy, kami mulai identifikasi beberapa sektor yang menjadi prioritas. DNA kami sebagai grup itu sudah ada tambang emas. Kami mulai masuk ke pertambangan nikel tetapi dari sisi perdagangannya. Kemudian sektor infrastruktur dengan involvement di konsorsium Pelabuhan Patimban. Kami juga mulai mengoperasikan tank firm di Balikpapan. Itu contoh-contoh investasi di logistik.

Ketiga di sektor kendaraan bermotor berbasis listrik. Sebulan yang lalu kami meluncurkan motor listrik perdana dengan merek Alva One. Kemudian kami masuk ke sektor kehutanan. Kami sebut nature based solution ataupun land use management. Kami ingin mengembangkan agroforestry, perhutanan energi, dan sedang eksplor pengembangan proyek karbon atau restorasi ekosistem.

Di saat yang sama, kami juga melakukan divestasi di sektor-sektor yang high carbon economy. Di Oktober lalu kami mendivestasi kepemilikan 51 % di transportasi batu bara. Kemudian akhir Juli divestasi di kontraktor batu bara. Kami tidak menutup semua strategic option untuk aset-aset yang di bawah Indika yang high carbon economy.

Motor listrik hadir di GIIAS 2022 (ANTARA FOTO/Muhammad Iqbal/wsj.)

Target pendapatan konsolidasi pada 2025 seimbang akan 50:50. Sekarang kondisinya seperti apa?

Pendapatan itu volume kali harga. Dengan harga batu bara yang meningkat, tentu saja tantangan itu semakin berat karena kurang lebih berkisar 85 %. Ketika harga batu bara rendah di 2020, itu kurang lebih 70 atau sedikit di bawah 70. Tapi harga kan tidak di dalam kontrol kami.

Bagaimana strategi diversifikasi dan divestasi ini? Apa dalam net zero emission perlu banyak investasi di awal atau akan sangat menguntungkan secara bisnis kalau diversifikasi?

Tentu saja ini akan membuka peluang baru. Bukan hanya sektor yang baru, tapi model bisnisnya berbeda, penerapan teknologi yang dibutuhkan. Dan transformasi-transformasi yang dibutuhkan masing-masing sektor itu membuka kesempatan yang besar sekali buat dunia bisnis.

Jadi jangan patah arang bahwa net zero emission menurunkan potensi untuk berkembang, justru sebaliknya. Hanya memang harus diperhatikan masa transisi itu tidak mudah. Perubahan itu diasosiasikan dengan transisi, itu yang harus kita jaga berkaitan dengan pendanaan, teknologi, human resources, dan akhirnya mindset.

Anda sempat menyebutkan juga land management hutan. Apakah itu salah satu strategi masuk carbon offset atau carbon trading?

Ka­mi memiliki empat konsesi hutan di bawah Indika dengan total kurang lebih 16 ribu hektare. Kami sudah menganalisis di konsesi-konsesi tersebut, salah satu yang ingin kami coba lakukan adalah hutan energi.

Salah satu HTI yang kami miliki ditanami pohon yang cycle-nya cepat, setelah sampai umur tertentu kita convert menjadi wood pallet, biomassa. Biomassa sendiri dianggap sebagai salah satu solusi intermediate untuk clean energy. Renewable energy ini benar-benar akan sangat menantang. Yang kedua adalah agroforestry karena potensinya besar di Indonesia untuk dikembangkan lebih jauh. Ketiga, carbon credit, restorasi ekosistem.

Pengembangan konsesi hutan itu yang saya sebut land use management, tidak semata-mata carbon credit project. Sekarang sudah ada beberapa carbon credit yang didasarkan dengan satu standar tertentu, misalnya improve forest management. Itu yang kami coba kembangkan, yaitu pengembangan sektor kehutanan dengan pendekatan yang berbeda. Bukan hanya pemotongan kayu, tapi menjadi mixed use yang tidak hanya menghasilkan secara ekonomi tetapi juga baik untuk komunitas dan lingkungan hidup.

Baca Juga ARTIKEL EDISI KHUSUS TERKAIT:

Ini cerita yang menarik karena Indika tambang beralih ke kehutanan. Apa tantangan dari pergeseran tambang ke forestry dan biomassa ini?

Stakeholders sektor tambang dan kehutanan yang berbeda, termasuk human resources yang paling menantang. Cara berpikir kami secara internal, bagaimana menilai satu proposal investasi, size-nya beda, tantangannya beda. Masa transisi ada implikasi transformasi dari sisi human capital, financing, hal-hal itu mengalami perbedaan.

Berarti ada hal yang harus dibangun sejak awal lagi untuk menyesuaikan ke forestry?

Tentu saja, apalagi di bagian human capital. Tambang itu mengambil sesuatu dari perut bumi, kalau kehutanan malah menaruh sesuatu di dalam perut bumi, jadi pendekatannya berbeda. Tapi dalam meng-approach satu bisnis, Indika selalu memegang nilai-nilai perusahaan, karena kultur pertambangan dan kehutanan pasti berbeda.

Dalam diversifikasi Indika Energy ini ada cukup banyak yang di luar core utama tambang. Bagaimana mengintegrasikannya?

Kami semaksimal mungkin akan coba sinergi. Misalnya, instalasi solar panel di operasional tambang dikerjakan oleh perusahaan PLTS kami. Apalagi kegiatan perusahaan tambang yang butuh dukunngan dari beberapa anak usaha lainnya. Hal itu sudah kami praktekkan dari lama soal sinergi ini.

Soal kedua integrasi, ada kultur berbeda yang tidak bisa kami paksakan antara penambang dan kontraktor. Kami akan menerapkan value yang lebih universal dalam perusahaan semacam integrity, bahwa mereka harus memiliki kerja sama yang baik. Kami menyebutnya unity in diversity, agile, dan harus socially responsible.

Pemerintah juga makin aktif mendorong net zero. Ada beberapa peraturan yang disiapkan. Juli kemarin keluar aturan pajak karbon walaupun ditunda implementasinya. Anda melihat kita kurang di regulasi mana atau insentif apa yang diinginkan industri?

Dalam climate change akan ada beberapa hal penting yang harus terjadi. Salah satunya pendanaan untuk pengembangan energi low carbon economy. Salah satu sumber pendanaan adalah restorasi ekosistem yang bisa menghasilkan carbon credit. Carbon credit sebenarnya side product, karena utamanya kita membangun atau melestarikan hutan baru.

Untuk hal tersebut, butuh pendanaan yang perlu regulasi. Misalnya, apakah pajak karbon yang ingin ditetapkan oleh pemerintah pada saat itu cukup insentif untuk melakukan dekarbonisasi, atau ya sudah, bayar pajak karbon saja.

Kedua, investor yang ingin melakukan renewable power plant, apakah cukup harganya secara ekonomi? Hal-hal ini butuh regulasi pengembangannya, karena ini suatu inisiatif yang mentransisikan satu titik ke titik lain. Untuk mempercepat itu, bisa saja terjadi secara natural tanpa regulasi, tapi saya rasa kita membutuhkan regulasi untuk mendorong percepatan ini.

Jadi salah satunya perlu regulasi yang mendorong pendanaan?

Betul. Harus ada cukup insentif bahwa itu bisa dikembangkan. Karena pendanaan bisa saja dari pemerintah atau swasta. Pemerintah pun harus punya justifikasi kenapa mereka mengalokasikan dana tertentu di bidang tertentu. Ini kan semua dari sisi ekonomi, harus justified juga.

Bentuk insentif yang tepat seperti apa? Apakah dalam bentuk tax holiday atau yang lain?

Saya rasa yang paling penting yakni emisi. Kenapa ada carbon price dan carbon credit, itu intinya meng-internalized harga karbon. Dalam teori ekonomi ada faktor eksternal yang di-internalized, jadi ada biaya yang harus dimasukkan dalam kegiatan ekonomi tertentu. Orang harus punya pilihan, apakah mereka membayar saja atau memilih insentif yang cukup buat dia mengalihkan alokasi dan ataupun capital resource-nya kepada yang tidak ada emisinya.

Aturan-aturan ini bisa diregulasi, karena pada akhirnya itu insentif. Apakah harga yang ditetapkan pemerintah adalah benar, apakah insentifnya cukup? Menurut saya, pasar yang akan menentukan. Misalnya, untuk menurunkan emisi, saya harus mengeluarkan biaya US$ 3 tapi kalau pajak US$ 2, ya sudah saya bayar pajak saja tidak usah kurangi emisi.

Salah satu yang penting dan belum diregulasikan terkait carbon capture tiap industri. Apa Indika Energy sudah ada diskusi dengan pemerintah atau asosiasi pertambangan soal ini?

Sudah dibicarakan karena kebetulan direktur utama kami juga ketua umum Kadin. Jadi kami ikut aktif berpartisipasi dalam diskusi-diskusi antara Kadin dan pihak-pihak terkait agar nilai ekonomi karbon bisa diterapkan di Indonesia.

Indika sudah bangun beberapa PLTS. Itu bagian dari program PLTS Atap yang dicanangkan pemerintah atau program berbeda?

PLTS kami saat ini terfokus pada komersial dan industri. Banyak sekali perusahaan yang melakukan tender untuk memasang rooftop solar panel untuk kemudian operasional mereka di-fuel oleh solar power. Itu lebih ke B2B.

Dengan PLN pun sudah mulai melakukan tender-tender untuk de-dieselisasi. Kami ikut berpartisipasi. Kami sudah instal di daerah operasional. Contoh di area tambang, kami sudah instal solar panel dan akan dikembangkan terus sebanyak mungkin, dan menggantikan kebutuhan listrik kami dengan renewable energy solar panel.

Terkait dengan PLN yang membatasi 15 % listrik dari kapasitas terpasang PLTS itu juga menjadi persoalan. Apa yang terjadi di lapangan?

Sebenarnya PLN punya tantangan berbeda. Kami harus appreciate tantangan itu sehingga bisa renegosiasi dengan para pengguna. Tadinya mereka kami pasangkan 10 sehingga sisa 2-3 yang dipakai. Pada akhirnya ada keekonomian yang terpengaruh.

Hal-hal ini harus didiskusikan, tapi intensi Indika Energy sebagai developer dan sebagai joint venture antara kami dan fourth partner salah satu developer solar panel terbesar di India. Kami memberikan solusi, tidak hanya pasang 10 kemudian selesai. Saya rasa, kami dan klien punya ide yang sama untuk meningkatkan penggunaan renewable energy untuk operasional.

Beberapa pelaku bisnis yang menggunakan PLTS menyatakan ada skema pembiayaan baru, PLTS tidak dijadikan capex yang besar tapi di opex. Apa dari sisi provider menguntungkan?

Pada akhirnya ada hitungan ekonomi berapa yang harus dibayarkan per kWh-nya. Ini yang baik capex dan opex. Beberapa usaha portofolio kami ada yang mix antara capex dan opex.


Berapa kapasitas yang telah terpasang?

Pipeline-nya hampir 50 mW. Ada yang sudah terpasang, sedang diproses, sedang di-install. Ada yang sudah di site di Sumatera, di beberapa perusahaan pulp and paper. Untuk perusahaan kayu juga ada di fasilitas pabrik mereka, kami pasangkan hal-hal ini.

Rencana kapasitas 50 mW sampai akhir tahun ini?

Kurang lebih, tergantung pengembang. Portofolio yang kami miliki sekarang kurang lebih seperti itu. Apakah nanti terpasang akhir tahun atau carry forward sampai tahun depan, saya tidak tahu.

Indika Energy telah meluncurkan motor listrik. Apa latar belakangnya bermain ke bisnis ini?

Penghasil emisi terbesar di Indonesia atau dunia salah satunya dari sektor transportasi. Jadi, solusi climate change adalah menurunkan emisi dari sektor transportasi. Kami lihat dan tertarik memulainya dari transportasi roda dua. Untuk itu, ekosistem harus terbentuk, dari pertambangan nikel, baterai, manufaktur, hingga distribusi.

Kita berfokus pada product development, kemudian branding, marketing, dan pada akhirnya akan memiliki manufacturing. Kita lihat rekrutmen untuk orang-orang manufacturing banyak banget, sehingga transisi di bidang human capital sangat menantang. Di Indonesia, butuh brand-brand yang tidak terbatas dengan pasar yang berbeda-beda untuk pengembangan tersebut.

Di bisnis trading nikel, Indika Energy masuk dari hulu hingga hilir?

Betul karena itu masih sektor yang baru dan familiaritas kami. Kami ingin membuat mafhum dulu dengan cara mengatur komitmen ke dalam sektor tersebut.

Indika Energy berani melompat dari tambang diversifikasi ke sektor-sektor lain. Apa tantangan sektor tambang secara umum dan bagaimana masa depan tambang batu bara yang sering dikambinghitamkan dalam polusi dan emisi karbon?

Semua berkaitan dengan transisi energi yang tidak bisa hanya loncat dari A ke B. Ada variabel ataupun parameter multi stakeholder yang berkaitan dengan penambangan batu bara. Ini harus bersama-sama bertransisi, bukan hanya Indika Energy sebagai investor atau sebagai pengembang.

Kedua, dari sisi produk, availability, affordability karena pengaruhnya ke pertumbuhan ekonommi-lingkungan dan masyarakat sekitar operasional. Transisi ini mencakup multi stakeholders, yang tidak hanya pengembang, human resources, pemerintah, pendanaan, juga perubahan teknologi.

Tantangannya, bagaimana kita bisa berkolaborasi untuk mencapai transisi tersebut. Kalaupun sektor pertambangan batu bara sudah dianggap tidak realistis, kita bersama-sama, no one left behind dari transisi ini. Sebagai penambang batu bara pun punya tanggungjawab sosial kepada masyarakat, pekerja, pemegang saham, pemerintah, dan multi stakeholder.

Pemerintah sedang berencana mempensiunkan dini PLTU. Tentunya sangat berpengaruh ke batu bara. Bagaiaman Indika melihat ini?

Saya melihatnya sebagai salah satu solusi. Di pertengahan tahun lalu dan di COP 26, pembicaraan mengenai energy transition mechanism itu sangat gencar. Tapi pada akhirnya di implementasi dan eksekusinya.

Pemerintah pun mengatakan ayo sama-sama, karena masalahnya bukan hanya Indonesia tapi dunia. Kalau hanya bertumpu pada kita, kita sudah komitmen, cuma hasil level komitmennya berbeda.

Setelah COP26, nanti pada November tahun ini ada COP 27. Kira-kira, pembahasan apa yang akan menjadi hot issu di sana?

Terkait komitmen semua negara yang harus diingatkan kembali. Setahun sekali harus diingatkan akan dampak climate change yang semakin, yang dalam satu tahun terakhir terjadi kekeringan di mana-mana. Tentu tantangannya berbeda-beda. Setelah komitmen-komitmen tersebut diingatkan lalu harus dilakukan implementasinya.

Reporter: Intan Nirmala Sari, Amelia Yesidora