Pemilihan presiden 2024 kurang dari satu setengah bulan lagi. Komisi Pemilihan Umum juga sudah dua kali menyelenggarakan debat capres-cawapres. Beberapa survei memperlihatkan, hasil debat cukup berdampak pada keputusan publik. Hal ini terutama pada kelompok swing vooters atau juga mereka yang belum menentukan pilihan.
Hasil sigi termutakhir beberapa lembaga survei menunjukkan bahwa elektabilitas Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka cukup melejit. Survei Indikator Politik memaparkan keterpilihan pasangan ini setelah debat kedua pada 22 Desember sebesar 46,7 %. Sementara sigi CSIS menempatkan Prabowo-Gibran di peringkat pertama dengan nilai 43,7 %.
Di posisi kedua dan ketiga, hasil survei Indikator dan CSIS berbeda. Sigi Indikator masih memperlihatkan bahwa Ganjar Pranowo-Mahfud MD di nomor dua. Adapun di survei CSIS, Anies Baswedan-Muhaimin Iskandar sudah menyalip menjadi runner up.
Dalam analisis Founder Cyrus Network, Hasan Nasbi, mulai akhir Desember ini tingkat keterpilihan para capres mulai stabil dengan Prabowo-Gibran terus memimpin hingga pencoblosan di 14 Februari 2024. “Ganjar mungkin 20-an persen, sebesar PDIP. Anies paling tinggi 22 atau 23 persen,” kata Hasan dalam podcast Gultik -Pergulatan Politik- yang tayang di Youtube Katadata setiap Jumat pukul 19:00.
Dalam obrolan sekitra sejam yang dipandu host Wahyu Muryadi, pemilik akun Om Why, Hasan bercerita banyak hal. Selain kalkulasi elektabilitas para capres, Juru Bicara Tim Kampanye Nasional Prabowo-Gibran ini berkisah tentang kedekatannya dengan Presiden Joko Widodo dan Prabowo. Kisah lama mantan Komandan Jenderal Komando Pasukan Khusus TNI ini terkait huru-hara 1998 ini juga dikupas.
Anda pendukung Jokowi dalam pilpres yang lalu dan mengkritik sangat keras Prabowo Subianto, hingga sampai terjadi perang di dunia maya. Apa yang kemudian membuat Anda sekarang mendukung Prabowo?
Saya masih pendukung Pak Jokowi. Kita tahu Pak Jokowi sebagai pribadi bersama Pak Prabowo. Jadi, saya percaya dengan pilihan-pilihan politik Pak Jokowi. Sejauh ini pilihan-pilihan politiknya diperhitungkan dengan sangat matang. Makanya menang terus, di Solo, Jakarta, jadi presiden. Itu bukan satu-satunya jaminan, tapi saya melihat beliau cermat sekali dalam membuat perhitungan politik.
Jadi Anda berguru atau kagum sekali sama Pak Jokowi?
Jokowi itu guru buat banyak orang. Kadang-kadang, kita yang bergulat di ilmu politik, di political sains, merasa sudah pinter. Tapi secara praktis, Pak Jokowi itu guru besar ilmu politik. Beliau sangat cermat membaca data. Kalau ada kritik terhadap kebijakan, dia pelajari, termasuk untuk memprediksi siapa yang paling layak melanjutkan dia.
Anda sering bertemu Jokowi?
Sering banget sih enggak, tapi cukup lumayan. Untuk berdiskusi panjang, untuk tahu cara berpikir dan jalan berpikir. Bisa satu jam, satu setengah jam.
Selain Anda, apa ada lagi ahli riset politik atau polling lain yang ikut bertemu Jokowi?
Saya yakin bukan cuman kami. Kan dia mengambil sudut pandang dari beragam perspektif. Bukan ketemu satu orang kemudian langsung percaya. Pasti beliau cek lagi datanya.
Bertemunya itu dikontrak atau bagaimana?
Enggak. Kalau dalam rangka bercerita data segala macam, Pak Jokowi tidak menyeleksi lagi. Dia panggil kami semua, kontrak atau enggak kontrak. Pak Jokowi kan bos kami semua.
Sebelum ini, ketika beliau periode pertama?
Tahun 2012, saya konsultan Pak Jokowi. Tahun 2014 saya terlibat membantu, untuk Pilpres 2019 juga begitu. Tapi 2019 ke sini, ya, sebagai teman diskusi, sebagai partner diskusi. Pak Jokowi itu tidak secara resmi, tapi kita tahu pasti dukung Pak Prabowo dan Mas Gibran. Itu juga pasti dengan perhitungan yang cermat.
Kenapa Anda tekankan dengan secara tidak resmi? Kenapa Pak Jokowi tidak pernah memberikan statemen yang resmi?
Harus dipisah-pisah. Sebagai bapak pasti mendukung Mas Gibran. Tapi sebagai presiden, ada tanggung jawab lagi yang lebih besar, harus menjamin pemilu berjalan dengan baik, jurdil.
Kalau ukuran Anda adalah pilihan politik Jokowi, misal, waktu itu pasangan yang didukung adalah Ganjar-Mahfud, Anda juga bisa ke sana?
Iya. Kalaupun berbeda, pasti dengan kesadaran bahwa kami kalah. Karena perhitungan beliau biasanya cermat sekali, bukan hanya memilih siapa yang tepat tapi orang ini bisa menang. Ketika Pak Jokowi mendukung bukan hanya sebagai pribadi. Dia punya gerbong pengikut yang luar biasa. Yang melihat ke mana arah Pak Jokowi, mereka bisa pindah. Itu yang terjadi sekarang, migrasi.
Direktur Eksekutif Indo Barometer Muhammad Qodari juga bilang bahwa yang terjadi adalah perebutan kolam suara Jokowi.
Betul. Sekarang, kolam suaranya Pak Jokowi ini migrasi ke Pak Prabowo atau ke tempat Mas Ganjar. Tapi pasti terbelah. Cuman, mungkin Pak Prabowo enggak butuh banyak. Butuh separuh lebih sedikit untuk bisa memenangkan.
Justru Mas Ganjar-Mahfud yang lebih butuh dukungan bulat-bulat?
Ya, karena mungkin suaranya full suara Pak Jokowi 2019. Sekarang, pembelahannya adalah pemilih yang masih stay dengan PDIP dan Mas Ganjar atau yang ikut pilihan Pak Jokowi.
Proposal Pak Jokowi kan akhirnya ke Prabowo-Gibran bukan lagi itu ke Ganjar Mahfud. Anda sendiri punya proposal seperti apa waktu itu?
Sebenernya enggak punya usulan apa-apa. Bulan Juli 2023 saya menghadap Pak Jokowi. Saya bilang setelah membanding-bandingkan tiga kandidat. “Pak Presiden, izin, boleh enggak saya bantu Pak Prabowo.”
Terus Pak Jokowi bilang, “Saya sudah tahu kamu mau ke situ. Itu pilihan yang bagus,” katanya. Ada pembicara-pembicara lain yang saya tidak bisa buka, tapi itu menguatkan saya untuk berada di pilihan ini.
Alasannya apa waktu itu?
Pak Jokowi dari awal 2023 selalu menekankan kita butuh yang berani. Kalau mau jadi negara industri maju, pasti ditekan oleh negara luar. Baru hilirisasi nikel, kita ditekan luar biasa. Soal sawit, kita ditekan Uni Eropa. Kan enggak cuman ini yang harus di-hilirisasi. Bisa sepuluh komoditas, bagaimana tuh tekanan-tekanan dari Uni Eropa. Saya lihat, berarti yang dimaksud berani, bisa berhadapan dengan negara-negara asing kayaknya Pak Prabowo.
Kalau ngomong soal pemberani dan paling mengerti negara ini, Anies Baswedan kurang apa? Ganjar juga kurang paham dan kurang berani?
Mengerti dan berani itu bukan sesimpel tahu textbook. Kalau melihat jejak karier, jagat berpikir Pak Prabowo itu Indonesia di tengah percaturan dunia. Mohon maaf, jagat berpikirnya Mas Ganjar itu Jawa Tengah di tengah-tengah Indonesia. Mas Anies, berpikirnya mungkin Indonesia, atau spesialnya DKI, tapi juga masih di konteks Indonesia.
Tapi Anies manusia global, ke mana-mana.
Bukan masalah ke mana-mananya. Mungkin Mas Anis ke mana-mana, tapi networking globalnya bukan decision maker, mungkin pusat studi, akademia. Cara melihat dunia akan sangat berbeda. Dengan pusat studi di Cina, Amerika, Eropa, enggak ada rasa keterancaman. Interest mereka tidak akan terbuka dengan terus terang. Tapi ketika bertemu dengan decision maker, akan kelihatan kepentingan nasional mereka, kepentingan nasional kita.
Kalau Ganjar juga tidak punya networking seperti itu?
Menurut saya belum. Ruang berpikirnya, alam experience dia Jawa Tengah di tengah-tengah Indonesia.
Prabowo memenuhi semua itu?
Iya, dan networking-nya decision maker, apalagi ketika dia jadi menteri pertahanan. Level-level yang menyambut dia kadang-kadang bukan hanya menteri pertahanan tapi prime minister, presiden. Menteri-menteri lain juga punya networking ini, cuman enggak jadi capres seperti Erick Tohir, Airlangga.
Tapi Anda mungkin tidak tahu Anies juga punya jaringan decision maker?
Ya enggak tahu. Ini kan anggapan saya. Sekarang kita lihat, kunjungan-kunjungannya ke mana.
Anda dengan Pak Prabowo juga intens obrolnya?
Lumayan. Sekali ketemu bisa dua jam, dua setengah jam untuk bicara banyak hal. Dan mengubah pandangan saya sama dia itu 180 derajat. Saya pertama ketemu dan diskusi panjang dengan Pak Prabowo itu baru Februari atau Maret 2023, sekitar dua setengah jam. Saya pikir, mungkin 15 menit sudah bubar, gebrak-gebrak meja. Eh, tapi enggak. Dia melayani baik. Duduk dua setengah jam kan tidak bisa pura-pura.
Apa saja yang ditanyakan?
Macam-macam. “Izin Pak, saya ke sini dengan banyak sekali pertanyaan”. Dia bilang boleh. Saya bilang, “Pak, walaupun ini digoreng-goreng ulang sampai gosong, tapi pertanyaannya tetap ada soal penculikan, kerusuhan, diberhentikan dari tentara.”
Tidak marah?
Tidak marah. Dia bilang soal penculikan, “Ada sembilan orang yang diamankan pada waktu itu, dan semua saya kirim pulang. Ada tanda terima keluarga, ada tanda terima polda, ada yang menyambut. Enggak dilepas keluar dari markas. Kalau dilepas dari markas, pada saat itu bahaya, bisa diambil orang lain, hilang. Kami yang dituduh karena kesatuan-kesatuan lain juga melakukan tindakan-tindakan untuk mengamankan pemerintahan.”
Jadi tanggung jawab Prabowo yang sembilan orang itu?
Sembilan orang yang pulang. Dan empatnya jadi anggota Gerindra: Pius, Desmond, Aan Rusdianto, dan Haryanto Taslam.
Saya tanya juga tentang kerusuhan Mei 1998. Tidak ada urusan sama dia. Bukan dia yang buat PAM Swakarsa. Ketika butuh orang yang ditumbalkan untuk menyelamatkan institusi, menurut pandangan saya, itu Pak Prabowo karena keterkaitan dengan Soeharto.
Tapi Anda juga dengar kalau dia dituding-tuding oleh keluarga Soeharto sebagai pengkhianat?
Dia dituduh menjadi antek tapi di saat yang sama keluarga Cendana memusuhi dia, tidak dipercaya oleh kedua belah pihak. Jadi, paling mudah untuk dikorban. Menurut saya, dia sadar betul dikorban.
Atau kecurigaan bahwa Prabowo mau melakukan kudeta?
Saya disuruh baca bukunya Pak Habibie, “Detik-detik yang Menentukan”. Ada kalimat di buku itu. “Saya percaya apa yang dilakukan oleh Prabowo waktu itu untuk melindungi saya adalah tulus, ikhlas, sesuatu yang baik dan tepat.”
Tapi Pak Habibie tidak bisa terima Pak Prabowo melakukan tindakan yang tidak diketahui oleh panglima. Kenapa Pak Prabowo diberhentikan? Dalam buku itu, bukan karena kudeta tapi karena tindakan dia dalam mengamankan Presiden Habibie tidak diketahui oleh panglima. Ini sebuah subordinasi.
Tapi ada satu potongan video yang kemudian jadi viral, ngomong, “wah tahu begitu, saya kudeta beneran?
Itu luapan sesaat. Kita enggak menganggap orang sempurna. Di masa orde baru, masa cuman satu jendral yang bersalah, jenderal-jenderal lain bersih semua. Ketika itu logikanya logika aparatur negara, tidak cuman tentara minusnya, polisi juga, mungkin begitu PNS, hansip. Ketika sudah zaman demokrasi, jenderal-jenderal ini berdemokrasi. Pak Susilo Bambang Yudhoyono bikin partai politik.
Ironisnya, jenderal-jenderal yang memecat dia, sekarang malah mendukung. Apa yang terjadi?
Saya tidak tahu persis. Saya coba tanya, apa enggak pahit mendatangi orang-orang yang dulu memusuhi. Dia bertanya, “Memang kenapa? Kan saya tidak kenapa-napa hari ini. Saya Menteri Pertahanan, saya Ketua Umum Gerindra.” Juga tanya apa marah atau benci. “Saya enggak nemu, lupa naruh marah di mana. Benci, sakit hati, kecewa saya lupa.”
Anda percaya apa yang diucapkan beliau itu tulus betul?
Karena di belakang sama dengan di depan, nyaris sama. Dia ngomong, “Saya sekali anak buah, bapak komandan. Mohon maaf, saya waktu jadi anak buah agak nakal dikit.” Di Hambalang begitu dia bilang, di depan kami juga begitu. “Pak Wiranto kan komandan saya, jadi harus saya yang datang. Sekalinya komandan tetap komandan.”
Apa kesan kepada Pak Prabowo dulu dan sekarang?
Pikiran saya dulu dan sekarang berubah 180 derajat dengan Pak Prabowo. Dia juga bilang, di depan duta-duta besar, “Saya belajar dari Pak Jokowi kebijaksanaan, kesabaran. Agak terlambat memang. Coba kalau saya begini 20 tahun yang lalu, biografi saya pasti beda. Saya belajar dengan cara dan perjalanan yang berat, tidak gampang.”
Jadi Anda sudah sangat mantap mendukungnya?
Secara hati juga nyambung hari ini. Dan Pak Jokowi juga mengkonfirmasi apa yang dalam pikiran kami. Bukan berarti Mas Anies, Mas Ganjar enggak baik. Orang yang sudah sampai level ini tidak mungkin bukan orang hebat. Sampai dua periode jadi Gubernur Jawa Tengah, tidak mungkin bukan orang hebat. Orang yang pernah jadi Gubernur DKI enggak mungkin bukan orang hebat.
Maka, saya agak beda dengan Romo Magnis (Franz Magnis Suseno) yang bilang pilpres itu untuk mencegah yang terburuk berkuasa, berarti menganggap mereka buruk-buruk. Sebaliknya, saya menganggap ini orang-orang hebat, tapi saya mau cari per hari ini yang paling hebat. Bisa jadi lima tahun lagi Mas Anies yang paling hebat.
Yang terbaik-terbaik ini ada sequence waktunya. Tahun 2014, buat saya yang terbaik Pak Jokowi, ada Pak Prabowo di situ. Tahun 2019, buat saya Pak Jokowi yang terbaik, ada Pak Prabowo di situ.
Atau sekalian, 2024 yang terbaik juga Pak Jokowi?
Tapi kan tidak bisa. Kekuasaan harus dibatasi. Itu doktrin ilmu politik. Makanya, untuk tiga periode saya selalu bilang tidak setuju karena kami sayang Pak Jokowi. Kalau tidak, nanti foto Pak Jokowi disandingkan dengan foto Erdogan, Xi Jinping, atau kepala-kepala negara di Afrika, yang mengamandemen konstitusi untuk menambah periode.
Tapi kemudian muncul Gibran yang banyak dikritiki. Menurut Anda masih oke?
Calon presidennya Pak Prabowo, bukan Pak Jokowi. Sama seperti di Filipina, Presidennya Bongbong Marcos bukan Duterte. Anaknya Duterte jadi wakil presiden di Filipina. Tapi presidennya bukan Duterte. Jadi, sangat berbeda dengan tiga periode.
Anda mau bilang bahwa faktor Jokowi tidak bisa masuk lewat Gibran untuk mempengaruhi Prabowo?
Kalau mempengaruhi, Pak Jokowi tanpa Gibran bisa mempengaruhi Pak Prabowo. Tanpa ada Gibran pun bayang-bayang Pak Jokowi akan ada. Ini kan keberlanjutan. Pak Prabowo menggaransi yang dilakukan Pak Jokowi akan dilanjutkan, terutama Ibu Kota Nusantara. Dan ada bayang-bayang Pak Jokowi itu bukan sesuatu hal yang memalukan.
Meurut Anda, bagaimana elektabilitas para kandidat capres-cawapres dengan kondisi yang paling mutakhir?
Data tidak cuma satu. Kita bisa saling intip. Mungkin dua-tiga minggu lagi (akhir Desember) migrasi pendukung Pak Jokowi yang ingin eksodus sudah selesai, atau mereka tetap stay bersama PDIP dan Ganjar. Jadi, setelah minggu ketiga Desember, hasil survei tidak akan banyak berubah lagi.
Beberapa poling besar mengatakan suara Prabowo-Gibran yang tertinggi?
Menanjak tajam setelah diumumkan berpasangan. Pak Prabowo sebelum berpasangan terkunci di 38, 39, 40 persen. Sekarang sudah jauh di atas itu.
Mau bilang satu putaran?
Ada kemungkinan sangat besar untuk satu putaran. Cuman saya ingin yang lain fair. Satu putaran ini kan konsensus bertiga. Maksudnya, Pak Arsyad, Ketua TPN Ganjar-Mahfud pada bulan Agustus atau September bilang dapat target satu putaran. Kemudian ketika Anies-Cak Imin dapat nomor urut satu, mereka bilang satu ini untuk satu putaran.
Kami senang-senang aja mereka punya target satu putaran. Tapi tiba-tiba, ketika kami punya target satu putaran muncul macam-macam, ini mau curang katanya. Kenapa kalian boleh satu putaran kami tidak boleh satu putaran.
Sekarang, elektabilitas Prabowo-Gibran di atas 40 persen?
Ya. Sementara Ganjar-Mahfud di bawah 30 persen. Anies-Imin sekitar 20-an persen. Pollster-pollster yang selama ini mengglorifikasi Ganjar, dua bulan ke depan saya yakin tidak akan rilis. Kenapa? Data mereka tidak memungkinkan untuk dirilis, ha ha ha. Padahal dulu sampai Juli, kira-kira rilis setiap dua minggu. Karena angkanya sedang bagus-bagusnya, ya dirilis terus untuk pembentukan opini. Merilis itu bagian dari mengkonfirmasi atau mengafirmasi, biar masyarakat nyambung perasaannya.
Lalu apa yang jadi faktor suara Prabowo-Gibran terus melejit?
Itu Pak Jokowi. Sebelumnya orang masih anggap Jokowi netral, pasti dukung Ganjar, dukung Prabowo. Kita bebas pilih yang mana ketika Gibran belum masuk. Begitu Gibran masuk, sudah mulai pindah. Begitu ditetapkan pindah lagi, begitu sudah ada nomor urut pindah lagi.
Kalau di atas kertas begitu, hitung-itungannya sudah santai?
Enggak dong. Kan hari ini angkanya belum satu putaran. Kita harus fair juga. Trennya menuju ke arah sana, tapi angka per hari ini belum.
Anda optimistis sampai berapa persen untuk bisa satu putaran?
Menurut saya 52, 53 persen sudah cukup masuk akal, enggak usah mimpi 56, 57 persen. Strong voter Pak Prabowo itu 25 persen di 2014 dan 2019, mau pakai jurus agama atau non-agama. Ketika 2019, dari 45 persen, 20 persen lari ke Anis, dia 25 persen. Strong voter Pak Jokowi tentu itu minimal, kalau enggak sama, ya lebih besar. Approvale rating di atas 70, kalau sama 25 + 25, sudah 50 persen. Kita belum menghitung faktor Pak SBY.
Pak Susilo Bambang Yudhoyono ini kan Demokrat, tapi dukungannya kayaknya cuman Demokrat untuk Prabowo, enggak pernah di-mention Gibran.
Enggak tahu kalau itu. Teman-teman di Demokrat yang bisa jelaskan, tapi mungkin dari awal setingannya Demokrat untuk Prabowo. Ketika memberikan dukungan kan belum ada Gibran.
Jadi faktor terbesar itu tetap Pak Jokowi?
Di atas kertas begitu. Orang melihatnya koalisi Gerindra, Golkar, Demokrat, PAN. Tapi ada bayangannya. Koalisi Pak Prabowo, Pak Jokowi, PSBY, jagoan-jagoan semua, yang enggak bisa apply di koalisi lain. Belum lagi kekuatan politik partai pengusung Prabowo secara suara sekitar 43 persen, secara kursi 44 persen.
Anda bergabung karena sudah ada kalkulasi Pak Prabowo begitu kuat dengan bayangan tiga pemimpin besar tadi?
Ya, tapi enggak cuman itu. Bulan Juli, elektabilitas Pak Prabowo masih di bawah Mas Ganjar.
Ini diuntungkan karena Pak Jokowi masih menjadi presiden?
Kami akui itu. Buat saya, efek Jokowi terhadap suara Prabowo signifikan.
Walhasil, kalkulasinya suara Prabowo-Gibran kalau satu putaran itu 52 persen?
Iya. Ganjar mungkin 20-an persen, sebesar PDIP. Anies mungkin paling tinggi 22, 23 persen.
Kalau dua putaran, kira-kira siapa yang tersisih?
Kalau melihat tren angka, di dua putaran kemungkinan Mas Ganjar yang tersisa, karena suaranya mendekati suara PDIP
Jika dua putaran, suara Ganjar-Mahfud ke mana?
Kalau polanya hari ini, enggak akan geser ke Anies. Elitnya bisa saja ke Anies, tapi suara massanya, kedekatan massanya, enggak akan ke sana. Yang ekstrem kiri, kalau dia mau pindah, ke tengah dulu. Yang ekstrim kanan juga begitu, kalau pindah ke tengah dulu, bukan ke ekstrem kiri.
Apa salah satu kekuatan dari pasangan Prabowo-Gibran resources-nya, logistiknya? Ada topangan dari oligarki yang luar biasa. Bener?
Saya enggak tahu secara persis, tapi kalau orang menyumbang bisa siapa aja. Dalam pilpres ini, enggak mungkin ada satupun capres yang bebas dari oligarki. Emang Mas Ganjar pergi keliling daerah pakai pesawat komersil, kan enggak. Mas Anies keliling-keliling itu pakai pesawat private, punya siapa? Oligarki kan
Kasihan oligarki ini dijelek-jelekin di satu sisi, tapi dipakai juga. Kalau Pak Prabowo punya private jet sendiri, enggak perlu pinjem.
Kalau menyewa bisa kan?
Ya tidak apa-apa, tapi disumbang pesawat juga boleh. Kalau menyewa, duit buat bayarnya dari siapa? Emang dari tabungannya Mas Ganjar, Mas Anies, kan tiak mungkin. Dari tabungannya oligarki juga.
Terkait dengan geopolitik internasional, seberapa besar pengaruhnya? Prabowo-Gibran lebih dekat dengan Amerika atau Cina?
Saya tidak berani mendefinisikan paling dekat dengan mana. Kayaknya, beliau berusaha seperti doktrin politik luar negeri Indonesia, bebas aktif. Tidak mungkin ngeblok secara militer, pertahanan, dengan negara manapun. Tapi kita bisa berhubungan dagang, bisnis, ekonomi dengan negara manapun. Makanya, Pak Prabowo berapa kali lawatan ke Cina, tapi terakhir ke Amerika. Beberapa kali ke negara ASEAN, juga ke middle east. Jadi keseimbangan itu penting.