Indonesia Punya Target yang Cukup Ambisius dalam Mitigasi Iklim

Katadata/Bintan Insani
Nani Hendiarti, Deputi Bidang Koordinasi Pengelolaan Lingkungan dan Kehutanan, Kementerian Koordinator Maritim dan Investasi
Penulis: Hari Widowati
5/1/2024, 10.56 WIB

Konferensi Tingkat Tinggi Perubahan Iklim PBB atau Conference of the Parties ke-28 (COP28) di Dubai, Uni Emirat Arab (UEA) telah berakhir pada 13 Desember 2023 dengan kesepakatan negara-negara untuk mengurangi penggunaan energi fosil. Indonesia sebagai salah satu negara peserta COP28 memiliki agenda besar transisi energi lewat Just Energy Transition Program (JETP). Indonesia juga memasang target Enhanced National Determined Contributions (E-NDC) yang ambisius di regional.

Hanna Farah Vania, Hari Widowati, dan Ezra Damara dari Katadata.co.id mewawancarai Nani Hendiarti, Deputi Bidang Koordinasi Pengelolaan Lingkungan dan Kehutanan, Kementerian Koordinator Maritim dan Investasi untuk mengetahui lebih detail mengenai agenda besar Indonesia dalam percepatan transisi energi serta mitigasi iklim pasca COP28.

Menurut Nani, pemerintah telah menyiapkan Comprehensive Investment and Policy Plan (CIPP) untuk strategi transisi energi Indonesia. "Untuk bisa achieve (target itu), kita perlu US$97,3 miliar. Dengan JETP dan dukungan internasional, kita bisa mengurangi 250 juta ton emisi karbon," ujar Nani kepada Katadata.co.id di ruang kerjanya, pekan lalu. Berikut ini cuplikannya.

Apa agenda besar Indonesia dalam bidang investasi hijau, percepatan transisi energi, dan mitigasi iklim pasca COP28?

Kalau kita lihat sebenarnya hasil COP28 di Dubai itu ada UAE Consensus. Ada upaya percepatan transisi energi. Di situ mereka membahas cukup banyak dalam berbagai sesi, termasuk di sesi presidensi. Komitmen transisi dari semua energi fosil perlu dilakukan dengan langkah yang adil, terukur, dan merata. Negara-negara harus meningkatkan upayanya untuk mencapai net zero emission (NZE) pada 2050 sesuai perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi.

Pada COP28 tidak ada rujukan yang eksklusif untuk phase down fossil fuel. Mereka membuat semacam roadmap menuju 1,5C. Negara tuan rumah COP29 Azerbaijan dan COP30 Brasil akan memastikan kerja sama internasionalnya. UAE sudah menyiapkan itu, nanti gongnya di Brasil.

Semua negara harus berkomitmen mengurangi gas rumah kaca (GRK) 42% pada 2030. Kita di Enhanced National Determined Contributions (E-NDC) sudah dengan upaya nasional mencapai 32% tapi ada 43% untuk yang dengan dukungan internasional. Ini termasuk target NDC yang ambisius di regional.

Agenda besar Indonesia terkait transisi energi adalah Just Energy Transition Partnership (JETP). Ada komitmen dari International Partners Group (IPG) US$11,5 miliar dan Glasgow Financial Alliance for Net Zero (GFANZ) US$10 miliar.

Kita sudah siapkan Comprehensive Investment and Policy Plan (CIPP) untuk strategi transisi energi Indonesia. Untuk bisa achieve (target itu), kita perlu US$97,3 miliar. Dengan JETP dan dukungan internasional, kita bisa mengurangi 250 juta ton emisi karbon.

Kita sudah siapkan US$66,9 miliar investment opportunity untuk 449 proyek. Implementasi dari Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) Green karena kita punya target 21,9 Gigawatt (GW). Kita juga sudah punya roadmap net zero emission pada 2060. Kawasan Industri Kaltara adalah kawasan industri hijau pertama dan targetnya menjadi yang terbesar.

Pusat industri electric vehicle (EV) akan menggunakan green energy dengan hidro dari Sungai Kayan dengan potensi 9.000 MW. Itu butuh waktu untuk persiapan Pembangkit Listrik Tenaga Air (PLTA) selama sepuluh tahun.

Indonesia juga merujuk pada Perpres 112 Tahun 2022 mengenai Percepatan Energi Terbarukan. Salah satu pasal menjelaskan Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) baru dilarang dibangun tapi ada pengecualian, yang pertama sudah ada di dalam RUPTL. Ada catatan untuk mendukung program nasional lainnya.

PLTU yang terintegrasi dengan industri untuk added value sumber daya alam dan lapangan pekerjaan. Setelah sepuluh tahun berdiri, mereka harus kurangi emisi GRK 35% dengan teknologi dan carbon offset dan co-firing. 

Investasi hijau berjalan dan transisi energi juga ada. Indonesia Timur seperti Papua, masih banyak menggunakan diesel tapi untuk mempercepat transisi akan dibangun mikro hidro dengan kapasitas 3 MW untuk setiap pembangkitnya.

Bagaimana strategi Indonesia mengharmonisasikan investasi dengan pengelolaan lingkungan lestari dalam rangka memenuhi target-target penurunan emisi dan melakukan mitigasi iklim?

Tugas Kemenko Marves adalah mengkoordinasikan dan mensinkronisasikan dalam konteks kebijakan. Harmonisasi dari sisi investasi. Kita sudah punya Undang-Undang Cipta Kerja yang memfasilitasi kemudahan proses perizinan lingkungan. Kalau dalam semangatnya untuk menyederhanakan perizinan lingkungan, tetapi harus tetap diperhatikan analisis risikonya, misalnya AMDAL.

Kewajiban terhadap lingkungan dapat didorong tapi tetap terintegrasi. Ada fasilitas itu tetapi harus seimbang. Pemerintah juga melakukan monitoring dan evaluasi. Pemerintah melaksanakan program PROPER untuk melihat ketaatan industri dalam bidang lingkungan, bagaimana mereka berkontribusi dalam penurunan gas rumah kaca (GRK) industri.

Ada empat instrumen ekonomi karbon pada Perpres 28/2021 yang sudah bisa diimplementasikan. Misalnya, finalisasi perdagangan karbon untuk internasional. Perdagangan karbon bisa langsung atau tidak langsung.

Result based payments yang banyak digunakan di sektor Forests and Other Land Uses (FOLU). Yang didorong sektor energi dengan ETS (emission trading systems). Sudah sejalan dengan Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJMN) 2020-2024 sudah ada komponen perubahan iklim. Pada RPJMN 2025-2029 juga akan ada dan diselaraskan dengan pembangunan rendah karbon. 

Bagaimana respons industri dan swasta terkait kebijakan-kebijakan ini?

Sebenarnya pada waktu menyusun regulasi itu industri sudah dilibatkan juga, terutama dalam hal ini Kementerian Perindustrian karena kementerian perindustrian ini salah satu dari sektor NDC. Industrinya masih selected. Strateginya tergantung sektornya, mau bergerak ke mana dulu. Yang penting adalah mereka perlu menyiapkan roadmap-nya, itu perlu disiapkan oleh sektornya.

Sebagai salah satu negara yang berkomitmen tinggi terhadap penurunan emisi karbon secara nasional, bagaimana capaian NDC kita per sektor hingga saat ini? Sektor mana yang masih belum mencapai target dan sektor mana yang menyumbang emisi tertinggi?

Target kita cukup ambisius, yang nomor dua terbesar itu adalah FOLU. Energi targetnya lebih dari 11%. Kalau melihat dari laporan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), upaya dari sektor FOLU bagus, tinggi. Tahun lalu ada El Nino yg berpotensi menyebabkan kekeringan dan kebakaran hutan dan itu bisa ditekan.

Upaya preventif terhadap hot spot dari citra satelit, juga dilakukan berbagai upaya termasuk teknologi modifikasi cuaca. Dari situ kita bisa berkontribusi terhadap penurunan emisi. Pada 2019 penurunan emisi 62 juta ton kemudian 2020 bisa diturunkan emisi sebesar 945 juta ton. Tahun 2021 sebanyak 821 juta ton dan 2022 emisi yg diturunkan 822 juta ton. Kalau dihitung sudah 42% dari target business as usual.

Sektor energi kontributor kedua yang diharapkan bisa berkontribusi dalam penurunan emisi 715 juta ton. Selanjutnya, kita fokus kepada transisi energi, tetapi ini high cost sehingga carbon pricing bisa dilakukan di sektor energi ini. Penurunan emisi di sektor limbah dan pertanian juga kita dorong.

Indonesia saat ini juga sedang menyusun Second NDC yang memiliki target lebih tajam dan selaras dengan Long Term Strategy Low Carbon and Climate Resilience 2050. Seperti apa rancangan yang akan disampaikan 2024 tersebut?

Second NDC sudah disiapkan oleh KLHK dan masih terus dikoordinasikan. Second NDC ini akan memasukkan sektor kelautan. Sebelumnya sudah kita masukkan dalam konteks resilience. Yang selanjutnya adalah mitigasi, kemudian upaya pengurangan metana kalau upaya pengurangannya berhasil itu akan berkontribusi agar kenaikan suhu Bumi tidak lebih dari 1,5C.

Dengan tekanan yang semakin tinggi, menyusul gagalnya negara-negara di dunia menahan laju kenaikan suhu Bumi 1,5C, apa skenario mitigasi dan adaptasi yang lebih progresif, yang akan ditempuh pemerintah?

Kita mendorong adaptasi dan komitmen pendanaan terhadap transisi energi. Kalau ada negara-negara yang tidak berhasil menahan kenaikan 1,5C Indonesia fokus dalam leading by example, seperti disampaikan Presiden Joko Widodo. Kita punya program mangrove untuk mitigasi perubahan iklim. 

Indonesia berkomitmen dengan target rehabilitasi 600 ribu hektare mangrove itu sangat diapresiasi di COP28. Di UEA ada Mangrove Alliance for Climate (MAC). Kita mendapatkan penghargaan dan apresiasi dari negara-negara lain.

Kita juga perlu mendorong atau memastikan bahwa komitmen negara-negara maju dalam memobilisasi pendanaan untuk negara-negara berkembang bisa dilaksanakan. Indonesia punya inisiatif Global Blended Finance Alliance (GBFA) yang bisa digunakan untuk merealisasikan dan memobilisasi pendanaan untuk aksi iklim terutama di negara-negara berkembang. 

Indonesia memiliki potensi blue economy yang besar mencapai US$ 1,33 miliar atau setara Rp 19 triliun per tahun dan menyerap 45 juta tenaga kerja. Bagaimana mengoptimalkan potensi blue economy tersebut dan mengharmonisasikannya ke dalam aksi-aksi mitigasi dan adaptasi iklim Indonesia?

Blue carbon bukan hanya mangrove, ada seagrass (padang lamun), dan rumput laut (seaweed). Mangrove yg termasuk paling di depan dalam konteks database. Kita punya yang namanya Mangrove Data National sudah dilaunching 2022 dan harapannya 2024 ada rilis baru sehingga bisa dilihat perkembangannya.

Luasan Mangrove 3,36 juta hektare. Itu berkontribusi (menyerap emisi karbon) 3,14 giga ton dan itu sekitar 17% dari cadangan blue carbon dunia.

Dalam konteks blue economy Indonesia, kita harus siapkan skenario yang jelas seperti apa. Yang masuk di dalam skenario NDC masih dalam kanopinya, yang below belum masuk. (Ekosistem di laut) bisa menyimpan karbon 5-8 kali lipat dibandingkan dengan hutan. 

Dalam konteks blue carbon ini bukan hanya menanam tapi jug konservasi dan intensifikasi untuk meningkatkan nilai ekonomi yang bisa dirasakan oleh masyarakat. Oleh karena itu, ada program ecotourism dan pemberdayaan masyarakat. Ibu-ibu bisa diberdayakan di sana.

Silvofisheries itu tambak yang sudah mati digabungkan dengan mangrove, itu bisa meningkatkan kesejahteraan masyarakat pesisir. Rehabilitasi yang kami lakukan dalam konteks luas.

Program seagrass dan seaweed sedang disiapkan oleh Kementerian Kelautan dan Perikanan agar investasi masuk. Manfaat ekonomi akan muncul dari produk turunan dari rumput laut, misalnya pupuk, biofuel, dan lain-lain. Di Kalimantan Utara (Kaltara) ada pilot project blue carbon mangrove untuk sertifikasi kredit karbon. Kalau proyek ini selesai pada 2024 maka pada 2025 sudah bisa disertifikasi. 

Bagaimana cetak biru pembangunan blue economy dan blue carbon untuk memperkuat upaya Indonesia memitigasi perubahan iklim dalam RPJPN 2045? Apa saja inovasi-inovasi yang dihadirkan pemerintah dalam cetak biru tersebut?

Pemerintah Indonesia sudah meluncurkan peta jalan blue economy pada Juli 2023 dan roadmap ini bukan hanya fokus pada sektor yang ada, kita juga fokus pada pengembangan sumber ekonomi baru misalnya perikanan tangkap. Lalu, juga ada perikanan budidaya, pariwisata, dan manufaktur.

Kita juga mengeksplorasi di dalam peta jalan tersebut mengenai sumber pertumbuhan ekonomi baru. Beberapa inovasi ini dalam pengembang pembangunan blue economy dan pengelolaan blue carbon ini dapat diterapkan, antara lain energi terbarukan dan aquaculture berkelanjutan.

Jadi inovasinya itu mengarah kepada keberlanjutan. Misalnya, pariwisata berkelanjutan, pengolahan sampah laut, juga monitoring dan pengolahan datanya. Salah satunya dengan melibatkan masyarakat supaya bisa berkelanjutan.

Kalau kita lihat di RPJPN 2025-2024 yang sedang berproses menuju penetapan melalui undang-undang ini tercantum beberapa target pembangunan kemaritiman dan target yang relevan juga dengan ekonomi biru. Jadi, lebih kepada inovasinya ke arah keberlanjutan, misalnya dalam penanganan sampah laut.

Bagaimana potensi blue carbon dalam pelaksanaan perdagangan karbon?

Kalau potensi blue carbon yang ada 3,41 giga ton carbon itu sekitar US$47-145 miliar. Itu tergantung dari density carbon-nya. Teknologi dengan geospasial dan drone itu membantu.

Perdagangan karbon itu yang sedang kita lakukan mencakup konservasi 3,36 juta ha mangrove, yang direhabilitasi 600.000 ha. Dari upaya itu bisa dinilai berapa karbonnya. Itu ada sembilan provinsi dengan potensi serapan 613 juta ton karbon dan periodenya dalam 5-10 tahun ke depan untuk rehabilitasinya. Kita harus cek area-area yang sudah baik, untuk dilakukan konservasi ini bisa melalui RBP juga.

KLHK koordinasi dari sisi FOLU, hutan di Kalimantan Timur (Kaltim) dan Jambi itu udah ada pembayarannya dari World Bank. Opsinya bisa dua: RBP dan perdagangan karbon untuk domestik maupun internasional. Pasti akan melibatkan pemerintah daerah.

Pak Menko Marinves Luhut Binsar Pandjaitan sebagai Ketua Dewan Pengarah Nilai Ekonomi Karbon. Ada menteri dalam negeri dan menteri keuangan juga. Harus ada pembahasan mengenai sharing benefit dari pemerintah pusat kepada pemerintah daerah. Kalau pilot project di Kaltara selesai, bisa bagus ini. Harga karbon di mangrove lebih tinggi, bisa US$25 per ton. Ini sudah satu langkah ke depan.