Sejak 2001, jumlah pemberian Izin Usaha Pertambangan (IUP) di sektor mineral dan batubara (minerba) melonjak tinggi. Dari hanya 750 izin pada 2001, per semester I-2017 jumlahnya telah mencapai 9.370 izin. Bahkan dari jumlah tersebut, sebanyak 3.312 izin belum memenuhi persyaratan Clean and Clear (C&C).
Obral IUP ini memiliki sejumlah dampak negatif. Dari segi lingkungan misalnya, ternyata ada lahan pertambangan yang berada di kawasan hutan konservasi dan hutan lindung. Luasnya mencapai 6,3 juta hektare atau 24 persen dari sekitar 26 juta hektare lahan pertambangan di kawasan hutan.
Penetapan sistem perizinan tambang dan wilayah pertambangan yang tidak beres ini, secara tidak langsung memperlihatkan karut-marutnya tata kelola minerba di Tanah Air. Efeknya berimbas pada macetnya penerimaan negara. Sampai Februari 2017, piutang negara dari PNBP minerba nilainya mencapai Rp 5 triliun, yang mayoritas berasal dari rezim IUP.
Pembenahan tata kelola pertambangan sektor minerba sudah mendesak. Pemerintah perlu memberikan perhatian dalam menata sistem perizinan serta pengawasan pertambangan. Ini agar dampak buruk terhadap lingkungan dan potensi korupsi dapat dicegah. Selain itu, negara dan masyarakat mendapatkan keuntungan manfaat yang optimal dari pertambangan minerba.