Transparansi merupakan syarat penting dalam memperbaiki tata kelola industri ekstraktif atau yang juga dikenal dengan pertambangan. Untuk mewujudkannya, sebuah gerakan Extractive Industries Transparency Initiative (EITI), dibentuk di Indonesia. EITI merupakan kolaborasi antara pemerintah, pelaku industri, dan masyarakat sipil yang mendorong terwujudnya diskusi publik terkait pengelolaan tambang di Tanah Air.
Inisiatif transparansi yang digagas oleh Perdana Menteri Inggris Tony Blair pada 2002 ini resmi diadopsi di Indonesia pada era Presiden Susilo Bambang Yudhoyono melalui Peraturan Presiden No. 26 Tahun 2010 tentang Transparansi Pendapatan Negara dan Pendapatan Daerah yang Diperoleh dari Industri Ekstraktif. Pada perkembangannya, Indonesia merilis laporan EITI pertama pada 2013 yang mencakup penerimaan 2009 dan mendapat status taat EITI setahun setelahnya. Indonesia juga merupakan negara ASEAN pertama yang menerapkan EITI.
Prinsip keterbukaan yang digagas EITI merupakan upaya mengatasi kecurigaan yang terjadi antar para pemangku kepentingan. EITI mendorong dibukanya pembayaran perusahaan pertambangan dan penerimaan negara untuk kemudian direkonsiliasi dan diverifikasi secara independen. Dengan transparansi, diharapkan dapat mendorong partisipasi publik dan pemerintahan akuntabel untuk mendukung upaya pembangunan berkelanjutan.