Sistem pemilihan umum (pemilu) di Indonesia mengenal kebijakan afirmasi terhadap perempuan. Tujuannya untuk menjaga tingkat keterwakilan perempuan di parlemen. Konstitusi mengamanatkan kuota minimal perempuan menjadi calon legislatif (caleg) setiap partai politik di tiap daerah pemilihan (dapil) sebesar 30%.
Persoalannya, sejak pertama kali diatur dalam UU Nomor 12 tahun 2003, batas minimal keterwakilan perempuan di parlemen masih rendah. Data Badan Pusat Statistik (BPS), porsi perempuan di DPR tak pernah mencapai persentase 30%. Meski mengalami kenaikan, persentase hanya menyentuh 21,7% pada 2022.
Dikutip dari VOA, anggota dewan pembina Perludem Titi Anggraini memaparkan, salah satu rendahnya keterpilihan caleg perempuan karena mereka tidak terdaftar di nomor urut satu. Meskipun, kata dia, posisi nomor urut teratas tidak selalu berarti akan berujung seorang caleg akan terpilih.
Namun, pada Pemilu 2019 tercatat bahwa 64% caleg terpilih merupakan calon yang bernomor urut satu. Riset Perludem pada Pemilu 2019 juga merekam bahwa pola penempatan caleg perempuan paling banyak berada di nomor urut bawah. Paling banyak ada di nomor urut tiga, kemudian enam, dan lima. Penempatan tersebut menurunkan peluang perempuan untuk terpilih dalam pemilu.
Pada Pemilu 2024, jika melihat daftar calon tetap (DCT) yang dikeluarkan Komisi Pemilihan Umum (KPU), hanya terdapat 7,1% caleg perempuan yang menempati posisi pertama. Tiga nomor urut yang paling banyak didapatkan caleg DPR RI perempuan di pesta demokrasi mendatang adalah nomor urut tiga dengan persentase 26,3%, nomor urut enam sebanyak 19,5%, dan nomor urut lima sebesar 10,2%.