Bank Indonesia (BI) menjadi pemegang Surat Berharga Negara (SBN) terbesar. Posisi ini terjadi sejak Juni 2024. Tingginya porsi kepemilikan surat utang pemerintah oleh bank sentral terjadi sejak krisis Covid-19 pada 2020-2021 sebagai bagian kebijakan berbagi beban atau burden sharing dengan Kementerian Keuangan.

Per Desember 2019, porsi kepemilikan SBN oleh BI masih 9,54% atau sekitar Rp262,5 triliun. BI gencar membeli SBN di pasar perdana hingga porsi kepemilikannya menjadi yang terbesar per Juni 2024 yaitu mencapai 23,07%, mengalahkan kepemilikan oleh bank konvensional, bank syariah, dan asing (nonresiden) yang sebelumnya mendominasi.

Hingga 21 Maret 2025, porsi kepemilikan SBN oleh BI mencapai 25,79% atau sekitar Rp1.607,9 triliun dari total SBN yang dapat diperdagangkan.

Laporan “OECD Economic Surveys: Indonesia 2024” menyebut, meski pembelian SBN oleh BI dari pasar perdana saat krisis pandemi Covid-19 sudah berakhir, porsi kepemilikan SBN oleh BI tetap signifikan seiring dengan pembelian di pasar sekunder dan diluncurkannya Sertifikat Rupiah Bank Indonesia (SRBI) pada September 2023.

BI menyebut pembelian SBN diperlukan untuk debt switching atau penukaran utang atas burden sharing yang sudah jatuh tempo. Selain itu, SBN bakal digunakan untuk mendukung pendanaan salah satu program unggulan Presiden Prabowo Subianto, program tiga juta rumah.

Terbaru, BI menyebut telah membeli SBN mencapai Rp70,7 triliun. Gubernur BI Perry Warjiyo beralasan, gencarnya pembelian SBN dari pasar primer maupun sekunder ini diperlukan untuk ekspansi likuiditas sebagai langkah stabilisasi nilai tukar rupiah.

“Supaya rupiahnya kembali lagi ke sistem keuangan, kami beli SBN. Kami pastikan itu sesuai dengan arah kebijakan moneter. Arah kebijakan moneter memang kami perlu ada ekspansi,” kata Perry, Rabu, 19 Maret.

Penguasaan SBN oleh BI menuai sorotan sejumlah ekonom karena menimbulkan risiko, mulai dari risiko mengganggu independensi BI, membebani neraca keuangan BI, hingga memicu kenaikan inflasi.

“Ini kebijakan yang sangat berisiko, apalagi fiskal kita sedang buruk. Sebaiknya pemerintah cooling down dulu. Jika salah perhitungan, perekonomian bisa makin terpuruk,” kata ekonom Universitas Paramadina Wijayanto Samirin kepada Katadata.co.id, Jumat, 21 Februari.

Baca artikel ini lewat aplikasi mobile.

Dapatkan pengalaman membaca lebih nyaman dan nikmati fitur menarik lainnya lewat aplikasi mobile Katadata.

Reporter: Antoineta Amosella