Sunan Ampel, putra Syaikh Ibrahim As-Samarkandi, berperan dalam menyebarkan Islam di Jawa dan sekitarnya. Selain mendirikan Pesantren Ampeldenta untuk melatih kader dakwah seperti Sunan Giri, Raden Patah, Raden Kusen, Sunan Bonang, dan Sunan Drajat.
Sunan Ampel juga membentuk jaringan keluarga Muslim dengan menjodohkan juru dakwah Islam dengan putri penguasa bawahan Majapahit. Melalui strategi ini, Islam dapat tersebar lebih luas.
Sunan Ampel menikahi putri Arya Teja, Bupati Tuban, yang juga cucu Arya Lembu Sura, Raja Surabaya yang beragama Islam. Dakwahnya tidak hanya terbatas di Surabaya dan ibu kota Majapahit, tetapi juga mencapai daerah Sukadana di Kalimantan. Simak biografi Sunan Ampel berikut untuk mengenalnya lebih jauh.
Biografi Sunan Ampel
Sunan Ampel, alias Raden Rahmat, berangkat ke Jawa bersama ayahnya, saudara Ali Musada, dan temannya Abu Hurairah untuk menyebarkan Islam, tiba di Tuban. Dia berasal dari keluarga terhormat dengan ayah bernama Syekh Ibrahim Zainuddin As-Samarqandy dan ibunya Dewi Candrawulan, yang memiliki hubungan dengan istri Bhre Kertabhumi, raja Majapahit.
Mereka tinggal di Tuban hingga ayahnya meninggal, lalu Raden Rahmat pergi ke Majapahit untuk bertemu bibinya, yang menikah dengan Raja Majapahit yang beragama Buddha. Menurut Babad Ngampeldenta, Raden Rahmat diangkat menjadi imam di Surabaya oleh Raja Majapahit dengan gelar Sunan Ampel.
Dia juga ditunjuk sebagai imam Masjid Surabaya oleh Arya Sena. Karena hubungannya yang baik dengan Raja Majapahit, Raden Rahmat diizinkan tinggal di Ampel dengan keluarga-keluarga yang diberikan oleh Raja Majapahit. Selama perjalanan menuju Ampel, Raden Rahmat bertemu dengan Ki Bang Kuning atau Mbah Karimah, yang kemudian menjadi pengikutnya.
Raden Rahmat menikahi putri Ki Bang Kuning, Mas Karimah, dan memiliki dua putri. Selama tinggal di rumah Ki Bang Kuning, Raden Rahmat aktif dalam menyebarkan dakwah Islam, terutama melalui pembangunan masjid.
Menurut Serat Walisana, Raja Majapahit tidak langsung menunjuk Raden Rahmat sebagai pemimpin di Ampeldenta. Sebagai gantinya, Raden Rahmat diserahkan kepada Adipati Surabaya bernama Arya Lembu Sura, yang juga beragama Islam.
Sunan Ampel, yang juga dikenal sebagai Raden Rahmat, diberi jabatan imam di Surabaya oleh Arya Lembu Sura, setelah itu, dia menjadi penguasa Surabaya. Sunan Ampel terkenal efektif dalam dakwah, menjalin ikatan pernikahan untuk memperkuat hubungan keluarga dalam komunitas Muslim, dan strategi politik dengan menjodohkan anggota keluarganya dengan keluarga penguasa lainnya.
Putri Sunan Ampel, Mas Murtosiyah, dinikahkan dengan muridnya, Raden Paku atau Sunan Giri, sementara adiknya, Mas Murtosimah, menikahi Raden Patah yang kemudian menjadi Adipati Demak.
Sunan Ampel mengajarkan murid-muridnya membaca Al-Qur'an dan kitab-kitab tentang ilmu syariat, tarekat, serta ilmu hakikat. Raden Rahmat juga memperlihatkan kehidupan yang sederhana, berdiam diri dalam riyadhah, menahan hawa nafsu, dan menjalankan ibadah fardhu dan sunnah dengan sungguh-sungguh.
Sunan Ampel memberi ajaran esoteris kepada Sunan Giri, khususnya dalam ilmu tasawuf, dengan fokus pada pemahaman hati. Ajarannya, menurut Babad Demak, terdiri dari tiga kata kunci: bi nashrih, tubadil, dan daim, yang mengajarkan untuk mencari wajah Allah dalam segala aspek kehidupan, percaya bahwa pengalaman spiritual hanya dapat dipahami melalui penglihatan batin.
Sunan Ampel dianggap setara dengan guru suci Syiwais yang memberikan baiat, dikenal dengan gelar 'susuhunan'. Dalam menyebarkan Islam, dia menggunakan pendekatan persuasif yang ramah dan empatik, meskipun seringkali sulit diterima masyarakat. Meski dihadapkan pada tantangan seperti penolakan terhadap praktik shalat dan konsumsi makanan tertentu, Sunan Ampel tetap teguh dalam keyakinannya.
Pengaruh Champa di Wilayah Dakwah Sunan Ampel
Sunan Ampel berasal dari Negeri Champa, dan tradisi keagamaan muslim Champa tercermin dalam praktik keagamaan masyarakat muslim di pesisir utara Jawa yang menjadi wilayah dakwahnya. Beberapa tradisi keagamaan Champa Muslim yang diadopsi oleh masyarakat di wilayah tersebut adalah:
- Mentradisikan pengajian untuk orang yang meninggal dengan mengadakan kenduri dan mengenang kematian pada hari-hari tertentu setelah kematian, seperti hari ke-3, ke-7, ke-10, ke-30, ke-40, ke-100, dan ke-1000.
- Merayakan hari ke-1 dan ke-10 bulan Syuro dengan penyajian bubur syuro, serta menahan diri dari mengadakan upacara pernikahan, khitanan, atau pindah rumah selama bulan Syuro.
- Mengadakan tradisi Rebo Wekasan atau Arba'a Akhir pada bulan Safar.
- Memperingati Nisfu Sya'ban dengan pemahaman tentang wahdatul wujud.
- Merayakan Maulid Nabi Muhammad SAW dengan pembacaan kasidah yang memuji Nabi dan ahlul bait, serta membaca wirid-wirid tertentu.
- Menggunakan sebutan 'mak' untuk ibu, 'kak' atau 'kang' untuk kakak atau orang yang lebih tua, dan 'adhy' untuk adik. Anak laki-laki kecil disebut 'kachoa' atau 'kachong'.
- Percaya pada berbagai makhluk halus seperti gandarwa, kuntilanak, jin Islam, hantu penunggu pohon, dan lainnya.
- Mempercayai kekuatan suara tokek, tabu mengambil padi di lumbung pada malam hari, dan menyebut harimau dengan sebutan 'Yang' atau 'Ong'.
- Seiring berjalannya waktu, mazhab Champa Muslim beralih ke aliran Syiah, yang mempengaruhi beberapa tradisi di atas dengan paham Syiah Zaidiyah.
Sunan Ampel dan para penyebar Islam pada abad ke-15 dan ke-16 membawa Islam ke Jawa dengan menggabungkan budaya pra-Islam dengan Islam melalui akulturasi. Sunan Ampel dikenal sebagai tokoh paling dinamis dalam sejarah Islam di Jawa karena berhasil menyatukan tradisi keagamaan Muslim Champa melalui pendekatan sufisme, diterima oleh masyarakat Jawa.
Meskipun tahun meninggalnya Sunan Ampel tidak pasti, Babad ing Gresik mencatat dengan candrasengkala 'Ngulama Ngampel lena masjid' yang mencerminkan tahun 1401 Saka atau 1479 Masehi, sementara Serat Kandha mencatat dengan 'Awak kalih guna iku', menunjukkan tahun 1328 Saka atau 1406 Masehi. Makamnya terletak di samping Masjid Agung Ampel Surabaya, menjadi tempat ziarah umat Islam di Nusantara.